Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Artikel Utama

Belajar dari Handry Satriago, CEO Muda Indonesia

3 Februari 2012   00:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:08 12123 15

Hari Senin 30 Januari 2012, seorang CEO dari sebuah perusahaan terkemuka datang untuk berbagi pengalaman seputar mengelola perusahaan pada sebuah acara di kantor kami. Namanya Handri Satriago, yang berhasil mencapai puncak karir pada perusahaan General Electric Indonesia pada usia yang masih sangat muda, 41 tahun. Dengan duduk di kursi roda, beliau menjelaskan pengalamannya dengan intonasi yang jelas, gaya bicara yang menarik dan interaktif. Ya, beliau menderita lumpuh sejak bersekolah di bangku SMA.

Dalam usia yang masih remaja, Handry harus menerima kenyataan untuk tidak dapat berjalan sebagai akibat dari penyakit kanker yang dideritanya. Tentu saja, dia harus membuang semua keinginannya untuk mendaki lebih banyak gunung dan mengumpulkan lebih banyak kupu-kupu yang menjadi hobinya. Berhari-hari dia mengurung diri di kamar dan marah kepada Sang Pencipta akan derita yang dialaminya. Tentu saja hal ini membuat orang tuanya khawatir dengan anak satu-satunya tersebut. Sampai suatu pagi sang ayah datang ke kamarnya. Handri yang merasa lebih dekat kepada ibunya, tentu merasa bahwa apabila ayahnya datang maka akan ada hal penting yang akan dibicarakan.

Sambil membuka jendela kamar yang selama ini tertutup, sang ayah mengatakan bahwa Handry boleh memilih untuk tetap diam di kamar ini sampai sepanjang hayatnya dengan mengandalkan orang tuanya atau meneruskan hidup dengan segala kekurangannya. Sang ayah menambahkan, teman-teman Handry akan terus mendaki gunung dan tidak akan bisa membawa gunung itu ke kamar Handry, mereka akan juga tetap bersekolah setiap hari dan tidak bisa menengok Handry setiap hari, bahkan kupu-kupu pun tidak akan datang dengan sendirinya untuk dikoleksi Handry. Hidup adalah pilihan, silakan memilih sendiri mana yang terbaik. Setelah itu sang ayah pergi ke kantor. Beberapa jam setelah itu, Handry keluar kamar, menemui ibunya dan meminta tolong ibunya untuk memanggilkan taksi karena ia akan berangkat menuju sekolah. Dan jendela kehidupannya kembali terbuka lebar.

Setelah menamatkan SMA nya di Labs School Rawamangun pada tahun 1988, Handry melanjutkan kuliahnya di Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK. Kuliah di IPB sukses dilaluinya dengan menggondol nilai yang mengesankan. Tak hanya sampai di situ, dia juga berhasil menyelesaikan pasca sarjana dari Institut Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI) pada tahun 1996 dengan predikat cum laude. Tahun 2010, Handry berhasil menyandang gelar doktor dari Universitas Indonesia. Pada tahun itu juga dia terpilih menjadi CEO dari General Electric Indonesia setelah berkarir 13 tahun di perusahaan tersebut.

Selama puluhan tahun perusahaan multi nasional itu berdiri di Indonesia, Handry adalah orang Indonesia pertama yang menjadi CEO. Apa rahasianya? Dalam suatu kesempatan berbicara informal dengan pimpinan tertinggi GE dunia, Handry sempat menanyakan hal tersebut, apa yang salah dengan orang Indonesia sehingga membutuhkan waktu puluhan tahun untuk diberi kepercayaan memimpin GE Indonesia. Sang pimpinan berkata bahwa orang Indonesia pada dasarnya bagus dan pekerja keras namun punya masalah dalam mengatakan “tidak”.

Dengan mengatakan “tidak” pada suatu masalah atau pembahasan, tentu saja harus diimbangi dengan alasan atau argumen yang kuat. Alasan tersebut dimulai dengan “why/mengapa”. Setelah kita tahu dan mendalami masalah dengan pertanyaan “why”, kita bisa mengajukan alternatif bahkan inovasi dengan pertanyaan selanjutnya “why not”. Lalu setelah itu, kita baru memberikan caranya melalui pertanyaan “bagaimana/how”. Itu semua dimiliki oleh seorang Handry Satriago.

Dalam setiap rapat dengan para jajarannya, Handry berusaha untuk melibatkan mereka untuk terus bertanya “why” sehingga memotivasi mereka untuk terus maju. Dia memberikan suatu contoh kasus tentang unit bisnis kesehatan (GE Health Care) yang menjual peralatan USG (Ultra Sono Grafi), suatu alat yang digunakan untuk memeriksakan kandungan. Dalam penjualannya, alat yang diproduksi oleh GE ini dijual di banyak rumah sakit swasta. Tidak puas dengan itu, Handry mencoba untuk menantang jajarannya untuk meningkatkan volume penjualan USG tersebut dengan pertanyaan “mengapa” tingkat pertumbuhan penjualannya sangat rendah. Ternyata, karena harganya yang mahal, bentuknya yang besar serta memerlukan daya listrik yang besar mereka hanya dapat menjualnya di rumah sakit swasta yang sudah mapan dan bergengsi. Bentuk USG kira-kira seukuran sebuah meja dengan layar monitor berbentuk seperti sebuah televisi.

Seorang stafnya memunculkan ide “mengapa tidak” menjual saja USG tersebut ke Puskesmas atau bidan? Tentu saja hal ini membuat banyak orang tertawa sinis. Dia berargumen bahwa tingkat kematian paling besar di Indonesia adalah karena kematian pada ibu dan bayi pada saat melahirkan. Dengan menggunakan USG para dokter dan bidan di daerah terpencil dapat mendeteksi secara dini apabila terjadi masalah dalam kandungannya. Namun demikian, sebagaimana diketahui Puskesmas dan bidan tidak mempunya uang dalam jumlah banyak untuk membeli peralatan USG tersebut. Lalu bagaimana caranya? Tentu saja harga jualnya harus diturunkan dan bentuknya harus diperkecil. Setelah diperdalam oleh bagian Research and Development ternyata memungkinkan untuk itu. Harga dan bentuknya kemudian bisa diperkecil. Ternyata bentuknya masih kurang kecil dan harganya belum terlalu terjangkau. Setelah beberapa kali pembahasan, akhirnya diperoleh hasil dengan USG berukuran layar kecil seperti telpon selular, portable dan harga terjangkau. Inovasi tidak hanya sampai di situ, ada yang mengusulkan untuk bekerja sama dengan institusi keuangan sehingga pembayarannya bisa dapat dilakukan secara kredit. Betapa dahsyatnya pertanyaan awal “mengapa” tadi.

Namun itu semua tentunya tidak dilalui dengan proses yang mudah dan membutuhkan waktu yang lama untuk membangun budaya bertanya dan aktif dalam setiap rapat perusahaan. Selain itu, kemampuan Handry juga tidak dibangun dalam waktu yang singkat. Dalam perjalanan karirnya sebelum menjadi CEO, ia berhasil mengembangkan unit usaha GE Lighting mencapai penjualan sebesar 3 juta dolar dalam jangka waktu dua tahun. Setelah berkarir selama 13 tahun, pimpinan perusahaan memilihnya untuk menjadi CEO di Indonesia.

Kiat lain Handry adalah membangun kemampuan setiap pemimpin unit untuk membiasakan diri melakukan presentasi dalam waktu yang cepat, efektif dan efisien. Dengan waktunya sebagai CEO yang sangat terbatas, dia memberikan waktu yang sangat ketat kepada pemimpin unit untuk dapat memberikan presentasi dan segera mengambil keputusan dari alternatif solusi yang ada. Handry percaya betul bahwa sumber daya manusia adalah mesin utama dari sebuah perusahaan. Dalam menentukan strategi perusahaannya, dia merumuskan apa saja yang dapat membuat seorang pegawai bangga menjadi pegawai perusahaan GE. Rasa kebanggaan itu yang dia tanamkan betul kepada setiap motor utama perusahaannya. Di luar angka-angka yang menjadi targetnya, dia mencoba untuk membangkitkan motivasi para pegawai sehingga dengan sendirinya target penjualan menjadi lebih mudah untuk dicapai.

Setelah bangkit dari rasa putus asa dan amarah akan kelumpuhannya, seorang Handry berhasil bangkit menjadi kebangaan orang tua dan teman-temannya. Kini, dengan kursi rodanya dia juga menjadi motivator dan pembicara di banyak seminar untuk membangkitkan semangat kita semua untuk terus maju dan terus bertanya “mengapa” pada suatu hal yang tidak kita ketahui.

@Frans

2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun