Secara kebetulan, ada tiga hal di minggu ini yang saya baca dan lihat ternyata saling berhubungan. Yang pertama adalah acara KickAndy minggu lalu yang membahas tentang beberapa orang yang menuntut keadilan dengan cara-caranya sendiri. Ada seorang bapak yang berjalan dari Malang ke Jakarta, ibu-ibu yang setiap hari Kamis berdiri di depan istana, seorang ibu yang menginginkan KTP seumur hidup, semuanya mencari keadilan yang selama ini tidak didapatkan. Hal kedua saya baca kemarin pagi ketika membuka halaman opini Kompas. Membaca opini dari seorang perwira TNI AU bernama Adjie Suradji, saya langsung berpikir ini pasti akan heboh. Yang ketiga adalah ketika
membaca tulisan Faisal Basri di blog Kompasiana kemarin siang. Apakah semuanya berhubungan? Tentu saja. Semua berhubungan dengan saluran komunikasi warga kepada pemerintah yang sudah macet. Ketika suara sudah tidak didengar, maka dicoba untuk disalurkan dengan caranya masing-masing. Ketiga hal di atas juga demikian, mencoba mencari cara yang berbeda agar didengar. Seorang bapak di acara Kick Andy berbicara dengan patung monyet, Kolonel Adjie memberanikan diri menabrak pakem dengan mengkritik panglima tertingginya sendiri dan seorang Faisal Basri yang mengajak untuk memboikot pajak sebagai langkah terakhir boikot nasional. Yang ingin saya bahas di sini adalah pemboikotan bayar pajak yang dicanangkan oleh Faisal Basri. Sebagai seorang ekonom handal, tentu saja Faisal Basri sangat mengerti bahwa tulang punggung penerimaan negara ini berasal dari pembayaran pajak warga negaranya. Semua ketentuan tentang pemungutan pajak juga telah diatur dalam undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya seperti peraturan pemerintah, peraturan menteri keuangan dan lain-lain. Semua peraturan biasanya diikuti dengan sanksi berupa denda, bunga bahkan pidana. Hal pertama yang terjadi ketika terdapat aksi boikot membayar pajak adalah dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan. Yang paling dirugikan tentunya adalah wajib pajak sendiri. Ketentuan ini ditetapkan dalam undang-undang dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku bagi semua wajib pajak. Hal yang kedua, bagi mereka yang belum terdaftar sebagai wajib pajak kemudian ikut serta memboikot pajak, maka mereka akan sangat menikmati kondisi ini sebagai free rider. Biasanya barisan ini paling depan dan bersemangat dalam menggerakkan gerakan anti pajak. Hal ini terjadi pada saat kasus Gayus Tambunan merebak beberapa waktu lalu. Mereka yang kencang bersuara biasanya adalah mereka yang belum berNPWP dan belum mengetahui tentang peraturan perpajakan. Hal yang ketiga adalah risiko gagalnya target penerimaan pajak yang pada akhirnya juga akan berdampak pada masyarakat secara keseluruhan. Dari gaji pegawai negeri sipil/ABRI/polisi sampai subsidi BBM bergantung dari penerimaan negara yang sebagian besar berasal dari pembayaran pajak. Menolak pembangunan gedung DPR dengan memboikot pajak ibarat hendak membunuh tikus dengan membakar lumbung padi. Saya yakin Faisal Basri sudah sangat paham dengan ketiga hal tersebut di atas. Ajakannya tentu dapat dipahami karena kebuntuan komunikasi rakyat terhadap pemerintah sudah pada titik yang parah sehingga banyak suara rakyat kecil yang tidak lagi didengar. Seorang Efendi Gazali bahkan pada acara KickAndy secara berkelakar hendak mengundurkan diri sebagai dosen komunikasi politik karena semua saluran komunikasi sudah buntu di negeri ini. Terlepas dari itu semua, memboikot pajak bukanlah pilihan terbaik. Aksi damai turun ke jalan atau melalui gerakan menolak pembangunan gedung melalui jaringan media sosial mungkin akan lebih efektif seperti pada kasus dukungan terhadap Prita (kasus RS Omni) dan Bibit Chandra (kasus cicak-buaya). Di lain sisi, terima kasih untuk pak Faisal Basri, tulisan tersebut tentunya meningkatkan kesadaran masyarakat atas peran penting pajak dalam penerimaan negara. Yang juga perlu diawasi adalah pengeluaran negara yang merupakan titik ujung/hilir dari pembayaran pajak oleh warga negara -Frans-
KEMBALI KE ARTIKEL