Bulan Oktober lalu kita menyaksikan "audisi" para calon menteri untuk Kabinet Indonesia Bersatu jilid II yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono(SBY). Satu per satu para calon yang telah terpilih diwawancara oleh Presiden dan Wakil Presiden RI. [caption id="attachment_23978" align="alignnone" width="300" caption="Sumber foto: hariansumutpos.com"][/caption] Audisi ini sudah dilakukan ketika SBY terpilih menjadi presiden tahun 2004. SBY membuat konvensi baru dalam memilih menteri yang akan duduk di kabinetnya. Semua calon menteri dipanggil ke Cikeas untuk melakukan fit and proper test. Selain wawancara singkat, semua menteri yang terpilih juga diminta untuk menandatangani pakta integritas yang intinya agar mereka bekerja secara maksimal sesuai target yang diberikan serta siap diganti kapan saja apabila tidak memenuhi kinerja yang diinginkan. Untuk periode kedua ini, SBY menambah lagi konvensi tersebut dengan meminta para calon menteri mengikuti tes kesehatan. Tidak tanggung-tanggung, mereka yang telah dipanggil ke Cikeas diminta untuk mengikuti 14 tahap pemeriksaan kesehatan dan kejiwaan yang dikawal oleh 45 orang dokter dari RSPAD Gatot Subroto. Pemeriksaan kesehatan ini kemungkinan besar dilakukan mengingat pengalaman yang lalu dimana seorang menteri tidak bisa melanjutkan tugasnya karena terserang stroke. Walaupun terkesan informal, “audisi” calon menteri ini sangat menarik perhatian dan mendapat apresiasi yang bagus dari masyarakat. Kita bisa melihat dari banyaknya wartawan yang antusias meliput di Cikeas serta berbagai macam komentar di media dari pengamat politik pada setiap calon menteri yang dipanggil. Namun demikian, kegiatan audisi ini baru mencakup secara kompetensi serta kesehatan fisik dan mentalnya saja. Yang tidak kalah pentingnya, perlu ditambahkan lagi dengan pemeriksaan kondisi keuangan para calon menteri melalui pemeriksaan pajak yang dilaporkannya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kedudukan dan jabatan menteri sangat menjanjikan bagi penambahan penghasilan baik yang bersifat legal maupun ilegal. Beberapa mantan menteri sudah terkena kasus pidana karena tidak tahan menghadapi godaan keuangan dan rela menggadaikan jabatannya demi menambah penghasilan ilegal. Akan sangat berbahaya apabila tidak ada mekanisme pengawasan dari sisi keuangannya. Sebagai tambahan dari fit and proper test, pemeriksaan keuangan calon menteri layak dilakukan. Mengapa melalui pemeriksaan pajak? Secara naluri, semua orang tidak ingin untuk membayar pajak. Diperlukan keberanian sendiri bagi sesorang untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak (WP) untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), di lain pihak, semua orang yang sudah mendapatkan penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib mendaftarkan diri sebagai WP. Saat ini, PTKP yang berlaku adalah Rp. 1.320.000,- (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) per bulan. Diperkirakan, semua calon menteri adalah warga negara yang punya penghasilan di atas PTKP dan wajib memiliki NPWP. Bila tidak memiliki NPWP, loyalitas calon menteri sebagai warga negara patut dipertanyakan. Sistem pajak di Indonesia menganut sistem self assessment, di mana otoritas perpajakan (dalam hal ini Ditjen Pajak) memberikan keleluasaan bagi WP untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutangnya. Melalui sistem ini, penghitungan dan pembayaran pajak yang dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT) dapat menjadi cermin kejujuran dari seorang WP. Tentunya seorang calon pejabat publik setingkat menteri juga harus jujur dalam melaporkan pajaknya. Melalui pemeriksaan pajak pula, dapat diperoleh informasi mengenai harta dan penghasilan seseorang dalam kurun waktu tertentu. Data yang dilaporkan dalam SPT dapat diuji silang dengan kenyataan sebenarnya dari para calon menteri tersebut. Tidak sedikit WP yang menyembunyikan penghasilan serta hartanya dalam SPT, apabila calon menteri juga melakukan hal yang sama, maka kredibilitasnya perlu dipertanyakan. Tingkat kepatuhan pajak dari para calon menteri juga bisa diuji melalui mekanisme pemeriksaan pajak. Tingkat kepatuhan secara sederhana dapat dilihat dari ketepatan waktu dalam membayar dan melaporkan SPT. Walaupun terlihat sepele, hal ini sangat perlu karena sebagai pejabat publik, menteri akan menjadi pemimpin suatu kementrian yang akan menjadi panutan dan suri tauladan bagi banyak orang yang dipimpinnya. Informasi yang diperoleh dari pemeriksaan pajak juga dapat menjadi data awal bagi presiden untuk menguji apakah para menterinya memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi dengan menumpuk kekayaan. Bila dianggap perlu, pemeriksaan pajak dapat dilakukan setiap tahun selama masa jabatan menteri tersebut sehingga semua penghasilan yang diperolehnya dapat duji secara transparan. Banyak aspek positif yang layak menjadi bahan pertimbangan untuk mengadakan pememeriksaan pajak bagi calon menteri. Untuk melaksanakan mekanisme ini, tentunya diperlukan kesiapan pemeriksa pajak dalam jumlah yang memadai serta dapat bekerja dengan cepat agar hasilnya dapat menjadi pertimbangan presiden dalam waktu singkat. Selain itu, juga diperlukan penyesuaian terhadap peraturan pelaksanaan perpajakan yang ada. Saat ini, hasil pemeriksaan pajak adalah suatu hal yang bersifat rahasia dan hanya boleh diketahui oleh Ditjen Pajak dan WP yang diperiksa. Mengingat pemeriksaan ini bersifat khusus dan menjadi standar penilaian bagi presiden sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan, dapat dipertimbangkan untuk diadakan pengecualian.
KEMBALI KE ARTIKEL