Suatu hari saat libur kuliah, aku seharian berada dirumah. Cukup punya banyak waktu untuk bersantai siang setelah lelah melarikan ke sepuluh jariku diatas keyboard laptop dari Paman untuk mengerjakan Tugas Pengantar Ilmu Hukum yang sudah Deadline ditunggu dosen. Tak lama kemudian Ibu datang, baru saja selesai mengajar dan memintaku untuk memasangkan modem dan menyambungkan koneksinya ke Internet, “Ibu mau Online Facebook” katanya sambil cengengesan. Ya! Ibuku memang Ibu gaul, berbeda dari Ibu-Ibu lainnya disini, meskipun kami tinggal di pelosok, tapi kami tidak Gagap Teknologi. Kalau boleh kubanggakan Ibuku, dilingkungan kami, Ibuku lah yang paling maju pemikirannya. Setelah itu ku tinggalkan Ibu bermain-main dengan akun Facebooknya untuk tidur siang, karena waktu berbuka puasa masih sangat jauh. Aku terbangun saat Adzan Ashar berkumandang, aku beranjak menuju Kamar mandi untuk mengambil wudhu, tapi saat melewati ruang tempat tadi aku mengerjakan tugas aku hanya melihat laptop tak bertuan, Ibu sudah tidak memakai laptop itu lagi, juga sudah tidak ada dirumah saat ku cari kesemua sudut rumah kami yang tidak terlalu besar. “Hmmm… lagi-lagi lupa Log-Out” gumamku saat melihat layar laptop masih menampakan facebook ibuku, karena tidak pernah berniat usil aku segera mengarahkan kursor kesudut layar dan mencari menu Log-Out, tapi tiba-tiba kolom Chattingnya terbuka karena ada seseorang yang mengirimkan pesan Online, isinya dari seorang wanita sebaya dengan ibuku, karena sudah terlanjur melihat, aku tak sengaja membacanya, “Hatur nuhun Bu Haji, uangnya sudah saya ambil di Kantor Pos, secepatnya akan saya ganti. Semoga pertolongan dari Bu Haji dibalas berlipat ganda oleh Allah Swt.” Setelah membaca pesan itu aku benar-benar melog-outnya dan berpendapat saat ini Ibu pasti sedang ke Kantor Pos untuk mengirim uang via Wesel kepada orang yang mengiriminya pesan facebook tadi. Saat sedang melipat mukena setelah sholat, terdengar suara ibu baru saja masuk rumah, “Dari mana Bu?” “Dari Kantor Pos, abis kirim Wesel” ternyata dugaanku benar, “Kirim buat siapa?” kali ini aku agak kepo, “Temen Facebook” saat aku mewawancarainya, sedari tadi Ibu sedang fokus membuka sepatu dan kaos kakinya, terlihat juga Ibu menggulung baju panjangnya sampai ke siku. “Temen kuliah?” tanyaku memastikan siapa orang di facebook itu. “Temen Facebook” Ibu menjawab tanpa menatap mataku, ia tetap bergerak, meletakan tasnya, membuka kerudungnya, lalu membuka kacamatanya lalu ke kamar mandi mengambil wudhu. Aku menunggunya sampai selesai membaca doa wudhu, sebelum menuju kamarnya untuk Sholat, aku menahan sebentar, “Temen SMA?” aku bertanya seperti itu karena penasaran, “Ya ampuuuuun, ya Temen Facebook lah, baru kenal minggu lalu. Udah, minggir dulu Ibu mau Sholat!” kali ini agak keras dan menatapku tapi tetap tidak marah.
Setelah sholatnya selesai, aku menahan diri untuk tidak langsung bertanya soal itu lagi, aku membiarkan ibu selesai dulu melipat mukena. “Apa? Gimana bisa ibu percaya sama temen facebook yang baru seminggu di confirm? 500ribu itu gede Bu, Ibu kan ngga tau dimana rumahnya, gimana kalau orang itu ngga menepati janji buat ganti uangnya? Ga tau juga kan itu facebook beneran apa Cuma account palsu?” aku tidak habis pikir, ibuku baru saja mentransfer uang pada orang yang meminta pertolongan padanya dari dunia maya, yang tidak jelas keberadaannya. Aku tidak marah, hanya saja aku diliputi keheranan level expert. “Ya, kalo nolong orang mah ya nolong aja, yang penting ikhlas karena Allah Lillahi ta’ala, ibu itu bilang anaknya perlu dibawa ke Rumah Sakit secepatnya, urusan uang itu bakal dikembaliin atau engga itu urusan belakangan, kalo itu akun palsu ya itu urusan dia sama Allah!” Ibu masih bisa menjelaskan dengan senyum-senyum disaat aku sedikit emosi, sama sekali tidak marah ketika aku keras bicara seperti itu.
Ke esokan harinya, Ibu membeli banyak sembako, ku pikir itu untuk kebutuhan kami selama sebulan, ternyata pada sore harinya Ibu pergi bersama tukang becak langganannya membawa semua sembako itu tanpa sisa, dan entah dibawa kemana. Pada malam harinya aku baru tau dari tetangga sebelah yang sholat tarawih disampingku di masjid dekat rumah, ternyata tetanggaku itu adalah pengurus panti asuhan yang tadi sore ibu datangi untuk menyedekahkan sembakonya. Selama ini, Ibu memang sering begitu, membagi-bagikan apa saja yang ia punya tanpa sepengetahuanku, akhirnya nanti aku akan tau dari orang lain. Aku semakin tidak mengerti kenapa Ibu bisa semudah itu mengeluarkan uangnya untuk disedekahkan, padahal diwaktu yang akan datang aku butuh uang untuk membayar biaya semesteran. Aku tau sedekah itu wajib, tapi bagaimana nanti Ibu bisa membayar uang kuliahku jika dari sekarang tabungan dari hasilnya mengajar sudah banyak ia keluarkan, aku tau tabungan ibu tidak pernah banyak, berapa sih gaji guru TK? Dari dulu sampai sekarang, penghasilan ibu hanya dari honor mengajar. Setiap malam aku selalu merisaukan hal itu, khawatir akan masa depan kuliahku.
Ternyata setelah umurku genap 20 tahun pada malam ke 27ramadhan Ibu baru mau menceritakan semuanya, aku sudah tau bahwa Ibuku adalah seorang mualaf saat ia masih menjadi Mahasiswi di sebuah Perguruan Tinggi Negri di Kota, tapi aku tidak pernah tau bahwa Ibu pernah punya cita-cita menjadi seorang Pendeta, maka dari itulah Ibu mengenyam pendidikan dengan baik sebagai Mahasiswi Sastra Jerman, karena sudah banyak tawaran padanya untuk ditempatkan di Jerman sebagai Pendeta di salah satu Gereja terkemuka disana, latar belakang pendidikannya itu nanti adalah bekal untuk hidup di Jerman, karena menguasai bahasanya akan memudahkan Ibu untuk berkarir. “Apa hubungannya dengan sedekah itu?” tanyaku disela ceritanya, “Ibu berpindah keyakinan, karena sedekah nak, ibu pernah mengalami sebuah masa sulit selama menjadi Mahasiswi rantauan!” Ya… ibuku orang sebrang pulau Jawa, dan selama ia menuntut ilmu di Perguruan Tinggi itu Ibu adalah anak Kost yang sederhana namun berprestasi sampai mendapatkan beasiswa. Tapi pada suatu malam, sakit Maag Ibu kambuh karena setiap hari hanya makan satu kali, Ibu merasakan sakit yang luar biasa sampai membangunkan Bu Haji pemilik kamar Kost yang tinggal tidak jauh dari Kamar Ibu, Ibu diantar ke Rumah Sakit, dirawat beberapa hari sampai pulih dan sejak itu setiap hari Bu Haji yang baik itu mengajak Ibu makan dirumahnya tiga kali sehari tanpa meminta bayaran, Bu Haji yang baik itu berbuat baik tanpa memandang perbedaan Agama diantara mereka, Bu Haji yang berdarah Sunda itu juga berbuat baik tidak memandang Suku bangsa. Dari situlah Ibu mendapatkan sebuah ketenangan hati dan hidayah, aku terdiam mendengar ceritanya. “tapi belum habis sampai disitu, waktu Ibu berpindah keyakinan, orang-orang yang menawari kehidupan mapan dengan menjadikan Ibu pendeta waktu itu serentak menjauhi dan memutuskan hubungan komunikasi, keluarga Ibu juga bersikap sama sampai akhirnya ibu benar-benar sendirian, impian untuk berkarir di Jerman pupuslah sudah, lalu kemudian Ibu bertemu dengan Ayahmu di teras masjid kampus!” aku terbuai mendengar rentetan ceritanya, Ibu baru mau membeberkan semuanya saat ini karena menurutnya, anak berumur 20tahun akan jauh lebih mengerti. “Ayahmu dulu adalah seorang pedagang buku Agama Islam, jadi sesama Mahasiswa yang hidup mandiri, kami berdua sering belajar bersama dilapak bukunya diluar kampus kalo jadwal sedang kosong, Ibu banyak belajar dari Ayahmu, terutama dalam memperdalam Agama Islam, sampai akhirnya kami menikah, Ayah diterima bekerja di sebuah Pabrik sebagai salah satu Insinyur mesin disana dan lapak beserta semua buku-bukunya di sedekahkan kepada adik angkatannya yang kurang mampu untuk di kelola agar ia bisa melanjutkan kuliah dari hasil menjual buku, kamu tau apa yang sekarang terjadi?” Tanya Ibu sambil menatap kearahku, sedari tadi aku tidur dipangkuannya mendengarkan ceritanya, Ibu sama sekali tidak menatapku. “Ya engga taulah Bu, aku kan bukan cenayang” candaku, Ibu tersenyum. “Kalo kamu datang ke kampus Ibu dulu, kamu akan liat sebuah toko buku besar di sebrangnya, Toko Buku Rinara namanya, nama itu diambil dari gabungan nama Ibu dan nama kamu Rina dan Ara!” kali ini aku dibuat terpukau level expert lagi oleh cerita Ibu, pemilik toko buku yang diceritakannya itu adalah orang yang menerima sedekah dari Ayah, berawal dari lapak sederhana orang itu sukses mengembangkan usahanya hingga kini menjadi sebuah toko besar, dan untuk membalas budi pada Ayah, orang itu menjadikan namaku dan nama Ibu sebagai nama Tokonya saat Ayah meninggal 5 tahun lalu dan orang itu ternyata adalah orang yang selama ini ku panggil Paman. Dan aku tidak pernah tau paman memiliki usaha itu, dan aku juga tidak pernah tau bahwa Paman menyisihkan sebagian besar keuntungan tokonya setiap bulan untuk diberikan kepada Ibu, uang itulah yang Ibu gunakan untuk membayar semua keperluanku semenjak Ayah tiada. “Jadi kamu ngga usah risau, uang kuliah kamu sampai lulus, Insya Allah sudah disiapkan sayang, dan kamu juga tidak perlu risau akan kehabisan harta karena disedekahkan…tidak ada sejarahnya orang sedekah akan miskin, semua yang kita bagi pasti akan kembali, meskipun tidak secara kontan dan tidak selamanya kembali dalam bentuk uang, kesehatan, ketentraman dan keselamatan juga merupakan balasan dari apa yang kita sedekahkan, kenapa Ibu baru menceritakan semuanya sekarang? Karena Ibu tidak mau kamu menjadi anak yang sombong ketika kamu tau bahwa sebenarnya kamu ini orang yang berkelebihan harta, Ibu juga tidak ingin kita menjadi Riya disaat berbagi…. Mengerti?”. “Maafin Ara Bu, sekarang Ara ngerti…”