Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Survey Abal-abal

27 Maret 2014   06:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:24 326 3
Biasa lah.. kalau sudah menjelang pemilu atau pilkada, kita bakal kebanjiran hasil survey. Saya sendiri termasuk pengguna survey dan tergolong orang yang suka mengikuti hasil-hasil survey. Kadang-kadang untuk kepentingan ilmiah (seperti survey yang saya lakukan untuk penelitian saya), kadang-kadang karena curious, kadang-kadang just for fun.

Tapi pada hakekatnya survey adalah suatu metode yang ilmiah sehingga apapun alasan melakukan survey, survey tersebut harus didasari oleh justifikasi ilmiah yang kuat. Sama halnya, apapun alasan untuk mengikuti hasil survey, kepercayaan kita terhadap hasil tersebut harus didasari oleh kemahfuman kita akan kuatnya dasar ilmiah yang dipakai dalam pelaksanaan survey tersebut.

Mengikuti hasil survey politik menjelang pemilu/pilkada buat saya paling pas buat kegiatan just for fun. Pasalnya, di waktu-waktu seperti ini kita bisa menonton dagelan survey. Ada survey yang mengatakan calon A menang mutlak, lalu disusul dengan survey tandingan yang mengatakan calon B akan menang mutlak. Karenanya, tidak heran kalau banyak survey dianggap abal-abal dan hasilnya adalah pesanan. Bicara tentang survey abal-abal, survey dari Gerakan Pemuda Keadilan yang dipublikasikan baru-baru ini tentang penolakan terhadap kepemimpinan Ahok rasanya sudah membawa abal-abalisme ke level yang tidak saya bayangkan sebelumnya.

Mengapa. Mengutip harian Merdeka, penyelenggara survey mengatakan kalau "...survei ini tidak memakai tingkat kepercayaan dan margin of error." Dan dengan demikian hasil survey tersebut diberitakan sebagai "93 persen warga tolak Ahok menjadi gubernur".

Yang salah dengan survey ini, seperti diakui oleh penyelenggaranya, tidak memakai tingkat kepercayaan dan margin of error. Dengan kata lain, survey ini memang asli sekedar dagelan, tidak ada unsur ilmiahnya sama sekali.

Perlu saya ungkapkan di sini kalau beberapa jenis survey, yang murni kualitatif, memang biasanya tidak memakai kedua hal tersebut. Tapi biasanya survey-survey kualitatif seperti itu punya tujuan yang sangat berbeda dengan survey kuantitatif, bukan untuk menghasilkan suatu angka yang bisa mewakili suatu penduduk. Angka yang biasa kita sebut sebagai "statistik".

Barangkali hal ini lebih tepat dijelaskan dengan sebuah contoh.

Misalkan saya ingin berjualan sebuah produk, katakan saya ingin mengisi hari Minggu saya dengan menjual lumpia basah di kelurahan tempat saya tinggal. Untuk memperkirakan berapa lumpia yang harus saya siapkan setiap hari Minggu, saya ingin mengetahui berapa orang penduduk kelurahan yang akan membeli lumpia pada hari itu.

Saya bisa mengetahui ini dengan, tentunya, menanyakan apakah seseoarang akan membeli lumpia di hari Minggu. Kalau kelurahan saya berpenduduk 100 ribu jiwa, saya bisa menanyakan hal tersebut kepada ke-100 ribu orang itu, istilahnya melakukan sensus. Tapi saya tidak yakin kalau saya punya cukup waktu, tenaga atau uang untuk mensensus 100 ribu orang, maka saya berpaling kepada cara lain yang disebut: survey.

Intinya sih, dengan melakukan survey, saya ingin mengetahui berapa warga kelurahan yang akan membeli lumpia di hari Minggu, tanpa harus bertanya ke seluruh warga kelurahan. Istilahnya, saya hanya perlu bertanya kepada sejumlah sample. Tapi ya itu, tujuan dari survey ini sejatinya adalah untuk mengetahui berapa orang dari seluruh warga kelurahan yang akan membeli lumpia saya di hari Minggu. Istilahnya, saya ingin melakukan statistical inference: menarik kesimpulan tentang semua warga kelurahan (populasi) berdasarkan informasi dari sebagian warga saja (sampel).

Tentunya, hasil yang saya peroleh tidak akan tepat betul. Bayangkan misalnya saya mengambil sampel sebanyak 1000 orang dan saya menyimpulkan 50 orang akan membeli lumpia saya setiap minggu. Kalau misalnya saya mengulang survey saya dan mengambil sampel 1000 orang yang berbeda dari survey pertama, mungkin saya akan mendapat hasil 45, bukan 50. Kalau saya ulangi lagi, mungkin hasilnya 52.

Namun demikian, jika saya melakukan survey dengan baik, fluktuasi dari angka yang saya peroleh tidak akan terlalu besar, katakan antara 45-52 orang. Dengan kata lain, margin of error dari survey yang saya lakukan tidak besar, survey saya bagus. Bandingkan kalau survey saya menghasilkan perkiraan angka antara 10 sampai 100. Dengan margin of error yang besar tersebut, sulit sekali merencanakan berapa lumpia yang harus saya siapkan tiap Minggu, tanpa berisiko membuang terlalu banyak lumpia atau kehilangan terlalu banyak pembeli.

Menentukan jumlah dan cara pengambilan sampel akan sangat mempengaruhi kualitas survey saya, dan saya harus merencanakan ini sebelum saya benar-benar pergi menanyakan pertanyaan saya. Intinya sih, saya ingin benar-benar yakin kalau sampel saya mewakili populasi yang menjadi target survey saya. Saya ingin kalau 1000 orang yang saya survey akan mewakili 100 ribu orang yang tinggal di kelurahan tersebut. Kalau saya melakukan survey saya lewat telefon, ada kemungkinan saya tidak memperoleh perwakilan dari warga yang tidak mempunyai telepon. Demikian juga dengan survey melalui internet, atau dengan cara-cara pengambilan sampel dengan alasan kemudahan saja, convenient sampling.

Oleh karenanya, pengambilan sampel harus dilakukan menurut metode yang valid secara statistik untuk memastikan keterwakilan tersebut. Malahan, survey-survey besar biasanya menggabungkan beberapa metode. Saya tidak akan membahas metode-metode apa itu, intinya sih, agar menghasilkan angka yang bisa dipercaya, survey harus dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah ilmiah tertentu. Kesalahan metodologi dalam pelaksanaan survey bisa menghasilkan hasil yang menyesatkan.

Apakah dagelan survey disebabkan oleh kualitas survey yang timpang antara satu dengan yang lain, atau kah karena satu survey disponsori oleh pihak berbeda dari survey yang lain? Sulit dikatakan karena jarang sekali kita mengetahui informasi lengkap tentang metodologi yang digunakan satu lembaga survey (sehingga, reputasi satu lembaga survey menjadi penting untuk menaruh kepercayaan terhadap satu survey dibanding yang lain).

Survey dari GPK, Gerakan Pemuda Keadilan, sebenarnya sah-sah saja jika hasilnya dipakai untuk menggambarkan sikap 1589 warga yang disurvey. Tapi kalau hasil tersebut digeneralisir sebagai suara seluruh populasi Jakarta (belum lagi, informasi yang dipublikasikan semua bersifat negatif, kok bisa?), saya rasa itu sangat merendahkan kapasitas intelektual pembaca survey. Be smart, please.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun