Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga Pilihan

Brasil Telah Kalah Bahkan Sebelum Piala Dunia Dimulai

10 Juli 2014   03:50 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:49 526 1

ilustrasi/kompasiana (kompas.com)

Saya hampir tidak percaya ketika melihat papan skor di ujung televisi menunjukkan angka empat yang tercipta sebelum menit 25 pada pertandingan semifinal, Jerman v Brazil, dini hari tadi. Empat gol tersebut berpihak pada kubu Jerman dan dicetak oleh Mueller, Klose, dan Kroos (2). Pertandingan pun berakhir ‘sadis’ dengan kemenangan telak Jerman, 7-1, dimana tiga gol tambahan diciptakan oleh Khedira dan Schurlle (2), sedangkan pelipur lara Brazil oleh gelandang 22 tahun, Oscar dos Santos.

Kekalahan 7-1 tersebut mencetak rekor sebagai kekalahan terbesar yang tercipta pada fase gugur dalam sejarah Piala Dunia. Dan, yang mengejutkannya lagi, hal memalukan itu terjadi pada tim sekelas Brazil, negara yang paling banyak memenangi pagelaran tersebut—lima kali. Julukan Seleção, yang berarti ‘orang-orang terpilih’ pun terkesan seperti sindiran ketimbang sanjungan.

Sebenarnya, saya sudah memprediksi bahwa Jerman-lah yang akan maju ke final, tetapi tidak mengharapkan skor yang begitu telak tercipta. Absennya Neymar dan (terutama) Thiago Silva sangat terasa pada ­permainan inferior Brazil. Celotehan Mourinho atas peran penting Silva di garis pertahanan terbukti. Dante, yang dianggap lebih mengetahui atmosfer permainan Jerman, lebih dipilih Scolari ketimbang Henrique untuk mengganti posisi Silva. Hasilnya? Sebuah bencana. Garis pertahanan Brazil pun mampu diobrak-abrik pasukan Jagermeister. Hal itu dapat langsung terlihat pada gol pertama Jerman, dimana pemain-pemain Brazil justru sibuk ‘berkumpul’ sendiri, menyisakan Mueller yang sangat bebas untuk menerima bola sepakan corner. PSG pun mungkin merasa menyesal telah membeli David Luiz seharga 50 juta pounds. What a waste.

Adapun, kekalahan Brazil ini telah melengkapi premis yang saya percaya sebelumnya: Brazil telah kalah bahkan sebelum Piala Dunia dimulai. Penyelenggaraan Piala Dunia 2014 ini dikenal telah mengalami banyak kontroversi sejak masa persiapan. Sekitar 250.000 orang pada 12 kota tempat diselenggarakannya pertandingan telah kehilangan tempat tinggalnya, ribuan pedagang kecil Brazil dirugikan dengan aturan perimeter dua mil di sekeliling stadion, tewasnya beberapa pekerja dalam proyek pembangunan dan perbaikan stadion, serta harga tiket termurah (US$ 90) yang ternyata masih terlalu mahal untuk rakyat miskin Brazil.

Mengacu pada kementerian olahraga Brazil, budget yang dikeluarkan pemerintah untuk penyelenggaran Piala Dunia 2014 ini berjumlah R$25.6 miliar (Real Brazil) atau sekitar US$11.63 miliar. Jumlah tersebut meningkat dibanding Piala Dunia empat tahun silam di Afrika Selatan yang menghabiskan sekitar US$4 miliar.

Forbes pun membandingkan budget tersebut dengan alokasi dana pendidikan Brazil sebesar R$44.2 miliar. Hal itu menunjukkan bahwa usaha pemerintahan Roussef untuk menyelenggarakan Piala Dunia di Brazil bernilai 61% dari total alokasi dana untuk pendidikan. Sebuah hal yang mengejutkan bagi sebuah negara berkembang dengan tingkat kemiskinan 15.9% (menurut World Bank) untuk mengeluarkan dana sebesar itu. Alasan-alasan itulah yang memicu terjadinya banyak demonstrasi yang mengoposisi Piala Dunia 2014.

Sebuah polling sebelum 12 Juni menyatakan bahwa 55% responden dari warga Brazil menilai Piala Dunia akan membawa banyak kerugian dan justru mengharapkan Brazil untuk kalah. Bahkan banyak yang mengharapkan Brazil untuk tersingkir pada fase awal. Seorang street-vendor lokal, Maria, pun berujar satiris: “Brazil with all its problem, Rio with all its problem.

Bagaimana mungkin suatu tim nasional justru diharapkan untuk gagal oleh warganya sendiri?

Saya sendiri sempat tertegun begitu pertandingan semifinal ‘mengerikan’ tersebut usai. Para pemain terlihat lemas dan menjatuhkan diri, berbeda 180 derajat dengan punggawa Die Mannschaft yang meloncat kegirangan dan berangkulan untuk merayakan kemenangannya.

Beberapa pemain, seperti Luis Gustavo, terlihat mengangkat tangannya dan berdoa. Silva, dengan dandanan hip-hopnya, pun memasuki lapangan dan memeluk Oscar yang menangis. Scolari, banyak dikecam atas pemilihan skuadnya (termasuk Fred yang membuat banyak orang keheranan), kemudian, mengumpulkan para anak asuhnya dalam sebuah lingkaran dan menyampaikan suatu pep-talk yang sudah tak lagi berguna.

Mungkin hari ini adalah sekuel atas peristiwa Maracanazo yang terjadi 64 tahun silam, ketika euforia kolektif rakyat Brazil yang telah memuncak harus diakhiri dengan kekalahan menyakitkan di laga penentuan (bukan final) melawan Uruguay. Bedanya, edisi kedua ini terjadi di Estadio Mineirao, Belo Horizonte, dan euforia Piala Dunia bahkan tidak dirasakan oleh semua rakyat Brazil. Piala Dunia ini pun sarat dengan kepentingan politik, dimana pada Oktober nanti akan dilaksanakan pemilihan presiden dan Rousseff, presiden menjabat, akan kembali maju. Apabila Piala Dunia ini merupakan langkah politik Anda, Rousseff, sesungguhnya hal tersebut merupakan suatu blunder.

Brazil memang identik dengan sepak bola, bahkan telah menjadi gaya hidup, tetapi Brazil bukan ‘hanya’ sepak bola. Sungguh, pembantaian tersebut merupakan tamparan keras bagi Brazil setelah Maracanazo (Tamparan Maracana) tahun 1950. Hal itu juga menunjukkan perlunya introspeksi atas penampilan tim Samba. Kekalahan 7-1 bukan lah suatu hal yang pantas bagi negara sekelas Brazil, negara yang melahirkan nama-nama ‘dewa’—apabila bukan tuhan—seperti Pele, Garincha, Didi, Leonidas, Rivellino, Ronaldo, Rivaldo, dan Ronaldinho.

Sungguh, Brazil telah kalah bahkan sebelum Piala Dunia dimulai.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun