Di Jepang, ada fenomena sosial yang dikenal sebagai hikikomori. Istilah ini merujuk
pada orang-orang yang memilih untuk mengisolasi diri sepenuhnya dari kehidupan sosial.
Mereka tinggal di rumah, sering kali hanya di kamar, selama berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun tanpa interaksi dengan dunia luar. Fenomena ini awalnya dianggap hanya terjadi di Jepang, tetapi kini ditemukan di berbagai negara lain, meskipun prevalensinya paling tinggi di
Jepang. Fenomena ini tidak hanya mempengaruhi individu, tetapi juga memberikan dampak
besar pada keluarga dan masyarakat.
Salah satu alasan utama munculnya hikikomori adalah tekanan sosial yang sangat
tinggi. Di Jepang, ada budaya yang menuntut kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan,
seperti pendidikan, pekerjaan, dan hubungan sosial. Gagal memenuhi ekspektasi ini sering kali
dianggap sebagai aib, sehingga banyak orang yang merasa tidak punya pilihan selain mundur
dari kehidupan sosial. Bagi sebagian orang, mengurung diri di kamar adalah cara untuk
melarikan diri dari tekanan yang terasa tak tertahankan.
Faktor lain yang memengaruhi adalah pola asuh keluarga. Banyak orang tua di Jepang cenderung membesarkan anak-anak mereka dengan sangat protektif. Hal ini membuat anak-
anak tidak terbiasa menghadapi tantangan dan kesulitan dunia nyata. Ketika mereka tumbuh dewasa dan harus menghadapi tekanan kehidupan, sebagian merasa tidak mampu dan memilih
untuk menghindarinya dengan menjadi hikikomori. Selain itu, peran keluarga yang terlalu
menekan juga dapat memicu rasa takut gagal, yang menjadi akar dari isolasi diri ini.
Masalah kesehatan mental juga sangat berkaitan dengan fenomena ini, banyak kaum
hikikomori yang mengalami depresi, kecemasan sosial, atau bahkan trauma. Mereka merasa
tidak mampu memenuhi standar masyarakat, sehingga lebih nyaman bersembunyi dari dunia
luar. Sayangnya, di Jepang, stigma terhadap kesehatan mental masih sangat kuat. Banyak orang
takut dianggap lemah jika mengakui bahwa mereka membutuhkan bantuan. Akibatnya, mereka
memilih diam dan terus terjebak dalam siklus isolasi.
Dampak dari hikikomori tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh keluarga
mereka. Orang tua yang memiliki anak hikikomori sering kali merasa bingung, frustrasi, dan
tidak tahu harus berbuat apa. Mereka harus menanggung beban finansial karena anak mereka
tidak bekerja, sementara tekanan emosional juga terus meningkat. Tidak jarang, keluarga juga menghadapi stigma dari masyarakat, yang sering kali memandang mereka sebagai penyebab
utama masalah ini.
Pemerintah Jepang telah mencoba berbagai cara untuk menangani fenomena ini.
Beberapa langkah yang diambil termasuk menyediakan layanan konseling, membangun pusat
rehabilitasi, dan melibatkan komunitas untuk mendukung para hikikomori. Namun, solusi ini
belum sepenuhnya efektif. Para ahli percaya bahwa pendekatan yang lebih komprehensif
diperlukan, termasuk upaya untuk mengubah pandangan masyarakat tentang hikikomori dan
memberikan dukungan yang lebih besar kepada keluarga mereka.
Hikikomori adalah gambaran nyata dari tantangan kehidupan modern, terutama di
masyarakat dengan tekanan sosial yang tinggi seperti Jepang. Mereka yang memilih
mengurung diri bukanlah orang malas atau egois, tetapi individu yang merasa tidak mampu
menghadapi dunia. Dengan lebih banyak pemahaman, dukungan, dan penerimaan, ada harapan
bagi mereka untuk kembali terhubung dengan masyarakat. Fenomena ini mengingatkan kita
semua akan pentingnya menciptakan lingkungan yang lebih ramah dan inklusif, di mana setiap
orang merasa diterima tanpa harus sempurna.
Referensi
Nonaka, S., & Sakai, M. (2021). Psychological factors associated with social withdrawal
(Hikikomori). Psychiatry investigation, 18(5), 463.