jika mudik itu hanya sebatas pulang kampung halaman,
melulu hanya dimaksudkan untuk mengadakan pertemuan fisik,
pertemuan dengan kerabat,
famili bahkan petemuan dengan mereka yang mungkin masih sedarah sedaging.
Mudik tersebut: mundur ke udik!
Mudik searti pulang kampung (merambah-melayari) lagi ke hulu,
itu versi Kamus Besar Bahasa Indonesia,
versi harus mempunyai dan diberi "isi".
Kini mestinya mudik perlu dimaknai secara 'lebih',
tak hanya sekedar anjang sana,
apalagi ganti busana:
menukar baju dan celana.
Mudik,
mengingatkan manusia punya muasal, punya asal.
Asal harafiah - lahiriah: dari orang tua,
asal rohaniah: yang illahi.
Mudik: mengingat-menyadari kembali akan bakti orang tua,
yang telah diutus oleh yang illahi melahirkan - generasi baru.
Mudik, mengembalikan citra kelahiran,
mudik mengembalikan cintra dulu,
menjadi citra kini, citra di sini dan sekarang;
di hadapan yang illahi.
Mudik bukan untuk mengganti baju baru,
bukan mengganti kopiah baru,
tak pula harus mengganti sajadah baru,
apalagi selalu mengganti istri baru.
Mudik: mengganti pola hidup lama yang dalam kenistaan,
menjadi-menjalani pola hidup yang baru,
sadar akan cinta belas kasih yang illahi,
setelah berproses penyucian diri,
dalam puasa sebulan penuh.
Mudik jalur kematian,
kematian batin yang menghamba dunia,
mudik - jiarah tuturan hidup,
mengembalikan nyala hati yang telah redup,
dalam terang kehidupan mahakuasa!