Pertama tentang Kiai Haji Fahrurrozi Ishaq (KHFI). Tak semua orang bisa mendapat sebutan Haji, bahkan sebutan Kiai. Kedua sebutan itu ada pada seseorang karena orang tersebut SANGAT mumpuni dalam ilmunya. Ia terhormat dan pasti sangat CERDAS. Menurut kamus, kedua sebutan tersebut juga melabelkan ke-alim-annya dalam agama. Artinya, secara nyata beliau KHFI pasti orang yang sangat saleh. Orang yang saleh biasanya akan menjauhkan diri dari pikiran dan perbuatan yang akan menjauhkan dari barokah illahi. Orang saleh akan semakin mendekatkan diri (dan sesamanya) kepada barokah (berkah) illahi itu.
Nah, berbahagialah Jakarta yang memiliki KHFI sebagai "gubernur". Selain sebagai "pejabat", KHFI orang saleh, alim ulama. Saya berpikiran baik, pastilah nanti (berkat "gubernur tandingan" ini) semua rakyat Jakarta akan semakin saleh, suci. Mangkanya Jakarta (berkat kesalehannya) tak akan ada lagi perjudian, tak akan ada lagi PSK klayapan, tak akan ada warung remang-remang dan seterusnya.
Kedua, adanya "gubernur" KHFI, berarti jabatan itu (gubernur) memang menarik, bahkan laris manis bak kacang goreng di warung ompreng. Jika jabatan itu tak menarik, kenapa pula KHFI merelakan diri ada di ranah itu?
Ketiga, berbahagialah mister Basuki "Ahok" Tjahaya Purnama. Berbahagialah Ahok ada teman. Teman "gubernur" di Jakarta, teman berpikir sesama gubernur seprovinsi, tinggal sedaerah. Di Indonesia, cuma Jakarta yang ada gubernur tandingan. Dan tandingan Ahok nggak main-main, ulama Betawi yang sangat populer. Iya...beliau populer. Kepopuleran itu adalah modal! Jika KHFI tak populer ngapain pula orang-orang itu melantiknya. Tak mungkinlah si Bejo yang tukang urut, tak berlebel dilantik gubernur. Tak mungkinlah Saridin, yang penying, tukang cuci piring dilantik gubernur....
Keempat, suguhan-menu perpolitikan yang "baru". Letak ke-baru-an itu menurut saya, karena jagat tanding-tandingan itu (mestinya) di ranah olah raga, namun bergeser ke ranah politik. Baguslah ada menu politik serasa olah raga, atau sebaliknya. Beliau-beliau yang merasa bertanding pastilah sehat berkat menu itu. Saya juga berbahagia bahwa KOMPASIANA ikut "memasarkan" tanding-menanding tersebut. Kang Edi Taslim pun Pepih Nugraha, atau Veronica Roro Sekar Wening tak boleh senyam-senyum karena pemasaran ini. Kompasioners, anda mungkin masih ingat paparan "Pimpinan DPR Tandingan KIH, edisi 30 October 2014", juga di Kompasiana ini?
Akhirnya, adanya "gubernur tandingan" itu menurut saya sebagai bahan berpikir ulang secara pribadi. Berpikir bagaimana diri ini bisa menjadi manusia yang lembah manah, sadar diri, mampu mengelus dada dan mampu menempatkan diri (dalam kondisi masing-masing) sebagaimana adanya. Manusia-manusia yang "kreatif" dengan membuat tanding-menanding di Jakarta ini, adalah manusia-manusia yang menempatkan diri lebih di atas yang lain. Maka, sebagai orang yang kadang singgah sebentar di Jakarta, karena satu-dua-tiga urusan, saya hanya bisa mengelus dada!