Kadang dalam hati bergumam begini,
"Alangkah lambannya Jokowi ini mencari solusi untuk masalah yang dihadapi bangsa ini. Masalah KPK, Polri, banjir...kemiskinan...dan seterusnya. Harapan saya mbok ya Jokowi itu langsung pres....pres...tumpes...prung...masuk kotak (kalau wayang), beres. Maunya saya kepala negara itu yang trengginas, limpat...lampit ing pangripta"
Kemudian saya berdiam sejenak. Setelah melihat kondisi nyata, bahwa Jokowi bukan malaikat, Jokowi juga tidak sendirian, beliau perlu mendengar (-kan) banyak hal, saya jadi malu sendiri. Ya...saya malu... malu. Malu seolah-olah saya ini orang penting, orang yang tahu segalanya tentang orang lain, termasuk tentang Jokowi. Aslinya saya ini cuma orang ndeso, dekat alas gung liwang-liwung, hidup seperti enthung!
Sebagai rakyat, sebenarnya saya -minimal- mendoakan Jokowi sebagai pemimpin negeri ini (apakah Anda mendoakan beliau) agar tetap sehat, bugar! Dan -maksimal- mencarikan solusi yang terbaik (membantu beliau) bagi kemajuan negeri ini, sekalipun dalam hal yang sederhana.
Sayangnya, yang terjadi malah sebaliknya. Bukannya membantu Jokowi berpikir, saya sering menjadi tukang kritik. Masih mending menjadi tukang kritik yang membangun, kritik kondusif..eh, kritik asal kritik yang belum tentu kritik itu baik. Tulisan ini tak bermaksud menyindir apalagi menyinggung, sodara-sodara. Ehem!
Saya yakin Jokowi juga tahu hal itu (dikritik) oleh rakyat seabrek - ratusan juta ini. Saya yakin pak Jokowi juga mengenal ilmu sumbang - surung - sungsun - gunggung (tak ada terjemahannya) dari orang-orang yang pro maupun yang kontra dengan beliau.
Permasalahannya, mengetahui belum cukup, mendengar (-kan) juga mungkin belumlah cukup bagi Jokowi. Menarabas tatanan pakem negeri ini bisa saja dilakukannya, namun Jokowi pasti ingin belajar dari rakyatnya. Pak Jokowi ingin belajar dari kondisi negeri ini. Mengelola - menjadi pamong di Solo, lain menjadi gubernur di Jakarta, apalagi menjadi Presiden.
Sayalah yang perlu berpikir bertindak positif...
Mengapa perlu berpikir? Apa yang bisa dilakukan. Jika saya hidup tertib, tak membuang sampah sembarangan, membayar pajak dengan teratur, hidup jujur sebagai warga negara; menurut saya...sekali lagi menurut saya, hal - hal tersebut sebagai bantuan saya -secara tidak langsung- untuk Jokowi.
Bayangkan, jika setiap orang memiliki kesadaran seperti tersebut, apa yang akan terjadi. Hal tersebut baru satu orang, jika lima orang, sepuluh orang, seribu orang, sejuta orang, 200 juta orang berkesadaran secara tak langsung membantu Jokowi, hm...pastilah kritikan pedas itu tak akan ada!
Beberapa sohib mengatakan,
"Terserahlah mas Flo, kemarin waktu pemilu aku tidak memilih Jokowi."
Batinku, kalau 'jiwa miskin-kerdil' seperti ini kapan majunya Indonesia raya ini. Jika jiwa hanya diisi dengan dengki, iri, masa bodoh....wah, kacau bak burung meracau. Apakah kita tidak malu dengan Prabowo, yang sekalipun tak terpilih namun tetap datang di DPR, ketika Jokowi dilantik. Bahkan dengan hati lapang Prabowo beberapa waktu yang lalu datang ke istana ketika Jokowi sudah menjadi presiden. Contohlah beliau itu, pak Prabowo!
"I am free to be what I want (Muhammad Ali, lahir 17 Januari 1942)" benarlah kata-kata Muhammad Ali tersebut bahwa setiap orang bebas menjadi apa yang ia inginkan. Permasalahannya, kebebasan macam apa, dan keinginan macam apa? Kebebasan dan keinginan itu mestinya segaris - sejajar dengan pemuliaan manusia dan lingkungannya. Andai hal tersebut hanya berlaku bagi pemuliaan diri sendiri dan menciderai rasa dan karsa orang lain, apalah artinya sebagai rakyat?
Memang apa yang saya tuliskan ini masih jauh dari sempurna, baik dan logis. Tapi setidaknya dengan tulisan ini saya mampu menghibur diri, bahwa kebaikan apapun bisa saya lakukan, asal saya mau dengan tulus untuk melakukannya. Namun, jika kemauan yang baik saja sudah tidak ada lagi ya...menurut saya lebih baik diam saja. Diam nganggit, dan berkarya sesuai bidang karya masing-masing. Diam jauh lebih baik daripada berteriak-teriak hanya keluar riak saja.
-----------------
Tempat parkir, jam 11.o2.