Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Survei Jelang Pilkada, Antara Fakta dan Kepuasan Penyokong Dana

15 Juni 2012   06:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:58 166 0
Akhir-akhir ini adalah saat han [caption id="" align="alignleft" width="220" caption="sumber gambar:pilkadadki.com"][/caption] gat menjelang pilkada DKI Jakarta. Beberapa waktu lalu kita mungkin telah melihat hasil beberapa survei-survei mengenai calon gubernur. Hasil survei dari beberapa penyelenggara survei memiliki hasil yang berbeda-beda. Mengapa hal itu dapat terjadi?. Untuk menjawab hal itu, kita harus  menilik kepada tujuan penyelenggaraan survei tentang persepsi maupun popularitas calon gubernur tersebut. Jika tujuannya untuk sekedar mengetahui gambaran yang ada di masyarakat, maka tentunya hal ini lumrah dan wajar dalam penyelenggaraan sebuah survei, tidak akan ada kecenderungan yang meruncing pada pasangan calon tertentu, baik dari sisi pemberitaan maupun pengumpulan datanya. Namun bila tujuannya untuk menggiring masyarakat kepada suatu pasangan calon, tentu saja hal ini tidak relevan untuk sebuah survei yang digadang-gadang adalah independen. Pada kenyataannya tujuan terakhir tidak akan dikemukakan secara gamblang, namun tetap saja hal itu pasti kentara. Fakta yang terjadi pada hampir setiap survei adalah setiap survei memiliki hasil yang berbeda walaupun muatan surveinya adalah sama (hampir sama jika tidak mau dibilang seragam), dengan hasil yang mengunggulkan kubu dari penyokong dana. Pemesan survei tentunya tidak beda dengan konsumen yang selalu menginginkan kepuasan terhadap produk yang ia beli, dalam hal ini survei yang didanai. Tentunya penyelenggara survei tidak ingin konsumen yang telah memesan survei tersebut menjadi kecewa terhadap hasil survei. Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap penyelenggara survei yang telah menjelaskan hasil surveinya secara ilmiah, namun kita tidak bisa menganggap survei-survei tersebut independen jika dana untuk penyelenggaraan survei tersebut masih berasal dari pihak-pihak tertentu, bukan dari dana 'intern' yang bebas dari kepentingan. Menurut saya hal yang membuat hasil survei berbeda dari setiap lembaga survei adalah: 1. Sampel yang diambil secara independen. Sampel disini adalah orang-orang yang disurvei harus diambil secara acak, tanpa suatu peng-khusus-an asal organisasi maupun 'background' yang menjurus ke arah kecenderungan untuk pasangan calon tertentu.  Sebenarnya akan lebih valid jika pengambilan sampel dengan probability sampling, yakni pengambilan sampel dengan teori peluang tertentu. Namun mengingat kondisi umum lapangan dan dana, lembaga survei jarang menggunakan cara ini. Tentunya hal ini akan memengaruhi hasil dari sebuah survei apakah bisa di-generalisir atau hasil survei hanya menggambarkan untuk sampel terpilih. Kebanyakan lembaga survei berani men-generalize hasil sampel padahal hal itu bertentangan dengan kaidah sampling, yakni untuk menggambarkan keseluruhan populasi sampel harus diambil dengan probability sampling. 2.Kuesioner yang transparan. Kebanyakan lembaga survei tidak mempublikasikan kuesioner yang mereka gunakan untuk melakukan survei. Karena melalui kuesioner inilah dapat dinilai apakah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk survei ada nilai kecenderungan untuk pasangan calon tertentu atau tidak. Padahal untuk sebuah keterbukaan, seharusnya jika mereka benar-benar independen, mereka berani mengemukakan kuesioner yang mereka gunakan saat publikasi. 3.Interpretasi terhadap hasil survei. Interpretasi merupakan penafsiran hasil dari pengolahan sebuah survei menjadi sebuah penjelasan yang lebih mudah dimengerti. Interpretasi sangat mungkin berbeda jika nilainya masih bersifat umum atau dari sisi mana yang menilai mengambil pandangan. Contohnya adalah, suatu hasil survei untuk 3 pasangan calon, misal X,Y,Z, dengan tingkat kepercayaan 95% menghasilkan pasangan calon yang paling disukai masyarakat berdasarkan persentase adalah X sebesar 52% dari sampel, Y sebesar 45% dari sampel, dan Z sebesar 3% dari sampel. Pada interpretasi bisa saja dikatakan, pasangan X disukai lebih dari separuh masyarakat, padahal kelebihannya hanya 2% dan unggul hanya 7% dari pasangan Y. Persepsi masyarakat tentu akan berbeda bila dibilang pasangan X hanya unggul 7% dari pasangan Y, ini lebih menggambarkan bahwa pasangan X dan Y tidak berbeda jauh dalam hal popularitas dan tidak ada yang mendominasi. Cara interpretasi sangat menentukan persepsi dari orang yang memperhatikan publikasi ini. Mungkin ilmu saya masih sedikit mengenai hal ini. Cuma saya hanya ingin sedikit kegamangan saya tentang banyaknya survei menjelang pilkada akhir-akhir ini bisa dikemukakan ke masyarakat yang mungkin rela membaca tulisan saya yang sangat tidak sempurna ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun