Yang patut disesalkan adalah bertebarannya opini-opini dan 'teriakan-teriakan' agar Anas dibebaskan karena tidak bersalah dan terbukti melakukan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), baik yang disuarakan Anas dan kuasa hukumnya pada pers maupun yang ditulis oleh para pendukungnya, baik loyalis PPI dan beberapa alumni HMI di forum Kompasiana. Seolah-olah mereka lebih hebat dna pintar masalah hukum dari pada peradilan. JPU dimaki-maki dan dianggap tidak berperikemanusiaan karena menuntut diluar nalar.
Coba saksikan dua persidangan terakhir Anas, selalu dihadiri para senior HMI bahkan ada beberapa mahasiswa dari Unas dan UIN memberikan semangat kepada Anas. Mungkin bagi mereka Anas adalah tokoh muda kharismatik yang masih punya pesona. Anas diibaratkan seperti tokoh yang terzalimi dan dipaksa bersalah. Padahal para loyalis dan dan anak anak muda aktivis ini lupa bahwa ada lembaga KPK bukanlah lembaga mahasiswa yang penuh dinamika. KPK adalah KPK, lembaga pemberantasan korupsi yang hadir sebagai tuntutan zaman. Tuntutan untuk membuka praktik-praktik korupsi di negeri ini. Anas ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan dua alat bukti oleh penyidik KPK. Jadi bukan asal atau abal-abal.
Sudah rahasia umum jika banyak aktivis-aktivis di lembaga kemahasiswaan yang mengaku anti korupsi padahal juga melanggengkan praktik-praktik korupsi di lembaganya. Bisa saja melalui proposal fiktif dengan mark up sana-sini yang pertanggungjawabannya tidak jelas ketika acara konggres. Terseretnya beberapa aktivis dalam kasus korupsi sudah selayaknya menjadi perhatian bagi para aktivis yang sekarang sudah hidup mewah di gedung dewan atau menjadi staf ahli di kementrian dan lembaga-lembaga funding lainnya. Ada tudingan di masyarakat bahwa aktivis yang saat ini menyuarakan pemberantasan korupsi dalam kampanyenya hanyalah untuk mencari kepentingan belaka.
Kasus yang menimpa Anas, meski belum diputuskan bersalah atau tidak, semakin mempertegas tuduhan masyarakat bahwa aktivis anti korupsi pada ujungnya nanti korupsi juga. Idealisme yang mereka pertontonkan ketika demo anti korupsi akhirnya mereka 'LACURKAN' demi duit. Bahkan tidak jarang ada beberapa aktivis yang melakukan tindakan-tindakan nista seperti melakukan mark up kegiatan seperti yang sudah disebutkan di atas. Ada juga yang merekayasa kuitansi pembeliaan, bahkan ada yang memperjualbelikan demonstrasi. Potret suram aktivis anti korupsi di Indonesia.
Belajar dari kasus Anas, ada nasihat bijak yang mengatakan bahwa kalau ingin melihat apa yang sekarang dilakukan oleh seseorang, lihatlah apa yang dulu dilakukannya. Jadi, kalau ingin melihat integritas aktivis yang nyaleg, lihatlah rekam jejak sang aktivis saat masih berkecimpung di organisasi. Dan mari kita tunggu putusan majelis hakim dengan bijak, tak perlua membuat opini di masyarakat kalau putusan hakim sudah diatur. Opini tersebut justru akan merugikan Anas sendiri. Kalau bersalah, ada proses banding dan itu sesuai undang-undang. Kita tentu malu, jika ada aktivis dan loyalis Anas yang hanya mampu teriak-teriak dan memakai kaos 'bebaskan anas' tapi tidak memahami prosedur hukum.