Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Problematika Perkawinan Wanita Hamil

28 Februari 2024   19:01 Diperbarui: 28 Februari 2024   19:06 37 0
A.MENGAPA PERNIKAHAN WANITA HAMIL TERJADI DALAM MASYARAKAT
Faktor-faktor yang memengaruhi pernikahan wanita hamil termasuk nilai-nilai budaya. Dalam beberapa budaya, pernikahan dipandang sebagai tindakan moral untuk mempertahankan kehormatan keluarga, yang menjadi prioritas utama. Di sisi lain, nilai-nilai agama juga dapat memainkan peran penting, karena pernikahan dianggap sebagai tindakan untuk mengikuti ajaran agama dan memikul tanggung jawab atas anak yang akan lahir.
Faktor lain yang dapat membantu pasangan menikah saat hamil adalah tekanan sosial. Misalnya, pasangan dapat dipaksa untuk menikah untuk menghindari stigma sosial karena norma masyarakat tertentu. Selain itu, pertimbangan keuangan dapat mendorong pernikahan sebagai pilihan praktis. Pasangan mungkin percaya bahwa pernikahan memberi mereka stabilitas finansial dan lingkungan keluarga yang sehat untuk anak mereka.
B.PENYABAB TERJADINYA PERNIKAHAN WANITA HAMIL
Paling sering terjadi karena ingin menutupi kesalahan dan menghindari rasa malu. karena mereka telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah hingga kehamilan terjadi. Pernikahan dilangsungkan segera setelah diketahui bahwa wanita itu hamil agar orang lain tidak menghukum pelaku dan anak yang dilahirkannya. Apabila masyarakat mengetahui bahwa salah satu anggota keluarga hamil di luar nikah dan tidak dinikahkan, kehormatan dirinya dan keluarganya tetap terjaga.
Kedua, agar pihak perempuan diberi status hukum yang jelas dan diakui sebagai istri sah. Seorang wanita harus menikah sebelum dapat dianggap sebagai istri dari orang yang mengandungnya. Dengan demikian, ia memiliki hak untuk mendapatkan uang dari suaminya, dan untuk pihak laki-laki, karena ia telah menikah, tidak mungkin baginya untuk mengelak dari tanggung jawab yang dipikulnya. Ia harus bertanggung jawab atas wanita yang telah mengandungnya, serta anak yang dilahirkannya.
Ketiga, mendapatkan status anak yang lahir dari perkawinan. Anak yang lahir dengan jarak minimal enam bulan dari tercatatnya perkawinan orang tuanya dapat diakui di mata hukum sebagai anak kandung dari ayah biologisnya. Dengan demikian, wanita yang belum menikah harus dinikahkan segera setelah diketahui memiliki anak. Anak yang dilahirkan dalam hubungan perkawinan yang sah akan menerima hak-haknya dan terhubung secara keperdataan tidak hanya kepada ibunya tetapi juga kepada ayahnya.
C.ARGUMENT PANDANGAN PARA ULAMA TENTANG PERNIKAHAN WANITA HAMIL
1.Pendapat Mahzab Syafi'i: Imam Syafi'i dan ulama-ulama Syafi'i berpendapat bahwa menganggap sah perkawinan wanita hamil yang disebabkan oleh zina, baik dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya maupun laki-laki lain, tanpa perlu menunggu kelahiran bayi berikutnya. Menurut Mahzab Syafi'iyah, menikah dengan wanita yang hamil diperbolehkan selama pernikahan tersebut memenuhi syarat nikah dan memiliki ijab kabul. Jika seorang wanita hamil karena zina, dia tidak memiliki kewajiban iddah, dan dia boleh menikahi dan menggaulinya.
2.Pendapat Mahzab Hanafi Imam Abu Hanifah juga menganut pendapat yang hampir sama: perkawinan adalah sah bagi wanita hamil asalkan pria yang menikahinya adalah orang yang menghamilinya. Laki-laki yang menikah dengan wanita hamil karena zina tetap dapat menikah, tetapi mereka tidak boleh melakukan hubungan intim sampai si wanita melahirkan. Menurut ulama Hanafiyyah, menikahi wanita hamil karena zina tidak perlu menunggu masa iddah karena iddah dimaksudkan untuk menjaga nasab. Hal ini disebabkan fakta bahwa wanita hamil akibat zina tidak termasuk dalam kategori wanita yang haram untuk dinikahi, sehingga perkawinan dapat dilakukan dengan wanita hamil.
3.Pendapat Mahzab Maliki Berbeda dengan Mazhab Syafi'i dan Hanafi, mereka sangat berkebalikan. Imam Malik bin Anas mengharamkan secara mutlak kawin hamil. Menurut Imam Malik, tidak sah untuk menikahi wanita hamil karena zina, tidak peduli laki-laki yang menikahinya atau yang tidak. Pendapat ini berpendapat bahwa wanita hamil di luar nikah tidak boleh menikah sampai bayinya lahir. Menurut ulama Malikiyyah, wanita yang digauli karena zina memiliki hukum yang sama seperti orang yang digauli karena syubhat, dan mereka harus menjalani masa iddah sebagaimana masa iddah biasa.
4.Pendapat Mazhab Hanbali: Imam Ahmad bin Hanbal mengemukakan pendapat yang mirip dengan Mazhab Maliki: tidak sah menikahi wanita yang diketahui telah berzina, baik laki-laki yang menzinainya maupun laki-laki yang bukan menzinainya. Tidak boleh dikawini oleh laki-laki yang mengetahui bahwa wanita pezina itu hamil, kecuali dengan dua syarat:
a. Masa iddahnya telah habis, tetapi apabila ia hamil, masa iddahnya habis sampai dia melahirkan anak, dan tidak boleh mengawininya sebelum ia melahirkan anak.
b. Wanita itu telah bertaubat dari perbuatan maksiat, dan apabila ia belum bertaubat, maka tidak boleh mengawininya. Setelah kedua syarat itu sempurna, yaitu telah habis masa iddahnya dan telah bertaubat dari dosanya, maka laki-laki yang menzinainya atau laki-laki lain boleh mengawini

D.TINJAUAN SECARA SOSIOLOGIS, RELIGIOUS DAN YURIDIS PERNIKAHAN WANITA HAMIL
1.Sosiologis : Seseorang harus mempertimbangkan manfaat dan kerugian dari menikahkan perempuan hamil di luar nikah. Dalam hal ini, dampak yang dimaksud adalah sebagai berikut: Pertama, perzinahan dianggap kecil dan mudah diselesaikan, sehingga merajalela di masyarakat. Kedua, dengan menikahkan orang yang melakukan zina, hukum zina menjadi tidak berwibawa dan zina tidak memiliki hukum dalam masyarakat. Ketiga, menikahkan orang yang melakukan zina seolah-olah menghilangkan hukum zina dari masyarakat.
2.Religious : Kawin dengan seseorang wanita yang sedang hamil di luar nikah disebut kawin hamil. Pernikahan ini dapat dilakukan oleh laki-laki yang menghamilinya atau oleh laki-laki yang tidak menghamilinya. Dengan kata lain, perkawinan wanita hamil didefinisikan sebagai perkawinan yang didahului karena alasan perzinaan dan menghasilkan kehamilan yang dilarang oleh hukum. Dalam UU Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa "perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu16". Dalam hukum Islam, rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang berkaitan dengan seberapa sah atau tidak sahnya suatu perbuatan dari segi hukum.
3.Yuridis : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak mengatur perkawinan perempuan hamil di luar pernikahan. Artinya, perkawinan dianggap sah jika rukun dan syarat hukum agama telah dipenuhi. Oleh karena itu, rukun dan syarat perkawinan akan dibahas di sini. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa "perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing."
E.YANG SEHARUSNYA DILAKUKAN GENERASI MUDA ATAU PASANGAN MUDA DALAM MEMBANGUN KELUARGA YANG SESUAI DENGAN REGULASI DAN HUKUM AGAMA ISLAM
1. Mempelajari dan memahami ajaran Islam tentang pernikahan dan keluarga. Anda dapat melakukan ini dengan membaca literatur Islam dan memperdalam pengetahuan Anda melalui konsultasi atau pengajian dengan ahli agama.

2. Mengambil pendekatan syariat untuk memilih pasangan hidup. Pendekatan ini mencakup memilih pasangan yang memenuhi persyaratan agama, akhlak, dan kepribadian yang baik.

3. Melakukan ijab qabul atau akad nikah secara sah dan sah dengan memenuhi semua persyaratan agama Islam, seperti wali nikah, saksi, dan mahar.

4. Menjaga hubungan suami istri yang sehat dan harmonis dengan menghormati, memahami, dan memenuhi hak dan kewajiban masing-masing.

5. Menerapkan nilai-nilai Islam dalam keluarga, seperti mengajarkan dan menjalankan ibadah bersama, mempererat hubungan keluarga dan masyarakat, dan mengajarkan moral dan etika yang baik pada anak-anak

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun