Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Bocah Ojek Payung Menjemput Rupiah

3 Januari 2014   16:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:12 261 1

Mereka berani menembus derasnya hujan, meskipun hujan disertai angin kencang tengah mencium bumi. Tak ada keluh-kesah di raut wajah mereka. Hanya canda-tawa antar-sesama bocahlah yang terlihat. Mereka bersama-sama berjalan menuju lokasi atau mengejar para penumpang yang turun dari angkot di sisi jalan raya.

Secercah harapan, di antara para penumpang yang turun ada yang memakai jasa mereka. Para bocah ojek payung biasanya dari keluarga tak mampu yang tinggal di perkampungan terdekat atau di sekitar bantaran rel kereta api. Mereka memanfaatkan peluang rezeki di tengah hujan.

Sebuah payung besar yang bisa muat dua sampai tiga orang menjadi modal belasan bocah ojek payung. Mereka menunggu di tempat-tempat yang banyak orang, entah di halte, di pinggir jalan raya, di depan pusat perbelanjaan, ataupun di trotoar.

***

Begitulah pengamatanku sambil menunggu hujan reda di depan lobi pintu masuk ITC Depok. Waktu baru menunjukkan jam empat sore, tapi cuaca tiba-tiba berubah drastis menjadi semakin gelap gulita sejak satu jam yang lalu. Hujan deras diiringi angin kencang terpaksa membuat langkahku terhenti sejenak menuju rumah.

Suasana di depan lobi pintu masuk ITC Depok begitu ramai. Para pengunjung berjejeran, ada yang duduk berimpit-impitan, ada pula yang berdiri, tak peduli harus berdiri lama. Kantong-kantong belanjaan dipegang erat-erat, trolly dengan kantong belanjaan di dalamnya pun masih berjejer di samping kiri-kanan si empu yang membelinya.

Para pengunjung itu mempunyai harapan yang sama, menunggu hujan reda. Tidak semua orang yang menunggu itu termasuk pengunjung ITC Depok. Ada di antara mereka yang sekadar berteduh sejenak usai turun dari angkot.

Tak dimungkiri, hujan menjadi penyebab “aji mumpung”, orang-orang yang sengaja berteduh tanpa perencanaan untuk berkunjung ke pusat perbelanjaan menjadi berkeinginan masuk kedalam, sekadar menghabiskan waktu sambil menunggu hujan reda. Tiba-tiba aku tersentak dengan suara seorang ibu.

“Kamu sih ibu suruh bawa payung tadi tidak mau. Tuh kan, hujannya deras, kita tidak bisa pulang sekarang. Masuk lagi deh kedalam,” ucap seorang ibu kepada anak gadisnya yang masih belia.

Ia menuntun anak gadisnya dengan raut wajah agak kesal. Kuperhatikan sejak tadi, sang ibu memang menunjukkan ekspresi tidak sabar. Di sisi lain, suara bocah-bocah ojek payung beradu dengan derasnya hujan.

“Pak, Bu, payungnya…,” tawar bocah ojek payung sambil menyodorkan payung abu-abunya yang besar kepada sepasang suami istri. Bocah lelaki itu sekiranya masih berusia di bawah belasan tahun. Kaos oblong hitam melekat di tubuhnya yang kecil.

“Tidak, Dik. Terima kasih, ya,” balas sang suami sopan. Tak marah atau menggerutu, bocah itu menawarkan payungnya kepada pengunjung lain.

Bocah-bocah ojek payung berpencar, ada yang menanti pengunjung di depan lobi pintu masuk, ada pula yang menjemput penumpang turun dari angkot, tepat di jalan raya depan ITC Depok. Jika dilihat dari kejauhan, payung-payung besar seakan menelan tubuh kecil bocah ojek payung.

Bocah-bocah ojek payung berusia di bawah belasan tahun. Ada juga yang berusia belasan tahun. Tangan-tangan kecil mereka cukup kuat menahan beban payung besar. Langkah mereka seringkali diiringi lari-lari kecil mengejar penumpang yang turun dari angkot.

Ya, siapa cepat dia dapat! Mungkin pikiran mereka seperti itu sehingga rebutan pun kerap terjadi di antara mereka. Berjibaku dan berlomba-lomba memperoleh rupiah demi rupiah.

“Dik, payungnya ya. Tolong antar Kakak ke seberang jalan,” kata seorang mahasiswi yang cukup direpotkan dengan map tugas kuliah dan netbook di tangannya.

“Baik, Kak,” balas bocah lelaki itu senang. Bocah ojek payung segera memayungi sang mahasiswi yang lebih tinggi darinya. Ia berusaha memayungi dan menyeimbangkan langkah dengan mahasiswi yang agak terburu-buru.

Tidak semua bocah ojek payung sendiri menawarkan payung. Perhatianku tertuju pada seorang bocah lelaki dan perempuan di depan pintu masuk ITC Depok. Keduanya bersama-sama menawarkan satu payung. Bocah lelaki bertubuh lebih tinggi dari bocah perempuan.

Hampir satu jam lebih aku berdiri, hujan tak juga reda. Kulayangkan pandangan ke bangku pengunjung, berharap ada tempat kosong sejenak untuk duduk. Sayangnya tidak ada yang kosong, pengunjung pun masih terlihat nyaman duduk sambil asyik memainkan gadget masing-masing.

Sementara itu, para bocah ojek payung tetap semangat menawarkan jasa payungnya. Suara mereka tidak melemah sedikit pun. Silih berganti mereka mengantar pengunjung yang memakai jasanya. Tubuh para bocah ojek payung basah oleh hujan.

Mereka basah kuyup. Di antara belasan bocah ojek payung ternyata tidak semua beralaskan sandal jepit, ada sebagian dari mereka tanpa alas kaki alias nyeker.

Taksi pun hilir mudik mengantar pengunjung di depan lobi pintu masuk. Rezeki taksi di kala hujan lumayan besar. Beberapa pengunjung menunggu taksi, bahkan antar-pengunjung pun saling berlomba mendapatkan taksi.

Sepasang suami istri beserta kedua anak lelakinya yang masih bocah tengah menunggu taksi. Berkali-kali ingin masuk ke taksi ternyata sudah ada pengunjung lain yang lebih dahulu naik. Sang suami berupaya memanggil taksi ke arah jalan raya dengan melambaikan tangan.

Namun, ia tak berhasil. Perasaan jarak dari lobi pintu masuk ke arah jalan raya cukup jauh, tentu saja driver taksi tak mungkin melihat sinyal lambaian tangan calon penumpang yang memanggilnya, pikirku.

“Ayah, mana taksinya? Kok lama sih,” ujar sang anak rewel sambil memegang mainan yang baru dibeli di tangannya.

“Iya, iya, sebentar ya,” ucap sang ayah. Ia pun memanggil seorang bocah ojek payung.

“Tolong panggilkan taksi ke sini, ya,” pintanya.

“Baik, Pak,” balas bocah ojek payung segera berlari ke arah jalan raya.

Oh, ternyata bocah ojek payung bisa dimintai tolong memanggilkan taksi. Aku perhatikan bocah ojek payung memanggil taksi. Ia sampai berdiri di tengah jalan raya untuk mencegat taksi kosong yang lewat. Taksi berhasil diperoleh.

Sang suami merogoh kantong celana panjangnya, kemudian memberikan uang kepada bocah ojek payung. Sambil menyipitkan mata, aku melihat selembar dua ribu rupiah di tangan bocah ojek payung tersebut. Seraya mengucapkan terima kasih, sang bocah kembali menawarkan jasa payungnya kepada pengunjung lain.

Perlahan-lahan hujan mulai reda, rintik-rintik hujan yang tersisa. Waktu hampir maghrib. Tanpa berlama-lama, kulangkahkan kaki berjalan sambil membuka payung. Udara dingin menerpa tubuhku. Brrr… Dingin!

Sekilas menengok ke belakang, para bocah ojek payung masih saja menawarkan jasa payungnya. Padahal mereka sudah basah kuyup dan berjam-jam lamanya tanpa henti menawarkan jasa payung.

Mungkin udara dingin akibat hujan serasa pupus dirasakan oleh bocah-bocah ojek payung itu. Dari kejauhan, aku masih mendengar suara nyaring mereka.

“Pak, Bu, Kak, payungnya….”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun