Setelah setapak membawa kaki-kakimu menjauh,
segala bentuk musim telah berlalu,
ingatanku tak henti menghitungi
angka-angka di kalender yang terisak
oleh kepergianmu.
Katamu; kau terlalu rindu dengan semesta
di belahan lain,
jagad yang tak pernah tersentuh
tangan manusia.
Dadaku sesak, menerka-nerka waktu
yang harus kulalui
tanpa hangat lengan-lenganmu.
Musim terus berganti, namun tidak bagi kemarau panjang
di dadaku, sebab kepergianmu.
Rindu ternyata, tak semudah apa yang air mata
jatuhkan,
dan kenangan yang dengan mudah
kepala kita simpan.
Terlalu kerontang mekar bunga yang pernah kau tanam,
hingga musim di tubuhku lupa
bagaimana caranya menurunkan hujan.
Barangkali, di tempat yang entah,
kau telah menemukan persembunyian
Tuhan,
dan mulai bercinta dengan semesta.
Memanjakan matamu pada Maha ciptaanNya
yang surga.
Tapi ketahuilah, Nda. Di kota ini, rinduku tetap khusyuk
menerjemahkanmu di tiap doa.
Mungkin arloji Tuhan telah merencanakan
sebuah waktu yang lebih tepat,
lengan-lengan kita kembali merapat,
dan mengingatkan kaki-kakimu arah pulang,
membuat bumi kembali menimang
tiap genangan gerimis, atau bahkan mampu
menurunkan hujan yang akan membasahi
kemarau panjang di dadaku.