Oleh: Fitri Amaliyah Batubara
Bersamaan dengan ditundanya waktu Idul Fitri oleh pemerintah, jadwalku untuk pulang kampung (pulkam) pun ikut tertunda. Aku sudah merencanakan untuk pulkam tepat hari pertama lebaran, 30 Agustus 2011. Sengaja kupilih moment itu, karena aku tetap ingin Shalat Idul Fitri dan bersalaman dengan orang tuaku di Medan. Barulah siangnya berangkat untuk pulkam.
Ko’ pulkam sementara orang tua di Medan? Hmm, begini ceritanya. Meski orangtua di Medan dan aku besar di Medan, tapi aku tetap punya kampung halaman. Kampungku yang jauh di mata itu ada di Kabupaten Padang Lawas (Dulu Kabupaten Tapanuli Selatan). Di sana tempat lahir beta… (lho…, ko’ malah nyanyi…?:)). Ya, di sanalah aku dilahirkan. Tepatnya di Desa Pagaranbira, tempat Ayahku dilahirkan pula. 2 desa dari Pagaranbira adalah kampung Mamaku, desa Huta Baru Siundol. Orang tua dari Ayah alias nenekku, keduanya sudah berpulang ke rahmatullah sebelum aku lahir. Orang tua dari Mama, yang juga kupanggil nenek, hanya tinggal nenek perempuan yang masih ada. Jadilah kepulanganku kali ini untuk mengunjungi tanah kelahiranku dan Nenek tersayang.
Pukul 10.45 wib lebaran pertama, aku berangkat dari rumah. Kabar dari kantor bus X yang akan kunaiki, bus akan berangkat siang hari. Prediksi awalku sekitar pukul 13.00 wib. Mereka tidak bisa memastikan jam berangkatnya karena keberangkatan kali ini tepat hari lebaran pertama. Yang pasti jika bus sudah penuh maka bus akan berangkat. Jarak rumahku yang jauh dari terminal bus membuatku harus berangkat lebih cepat agar tidak terlambat. Namun sepanjang jalan, mau tidak mau cemas pun menghadangku. Medan mendadak seperti Jakarta. Dimana-mana macet. Banyak orang yang hendak bersilaturrahim ke rumah keluarganya dengan kereta (sepeda motor), becak motor dan mobil. Suasana di dalam angkot alias angkutan kota yang panas dan gerah semakin lengkap dengan celoteh non-stop ibu-ibu yang hendak mengunjungi keluarga mereka yang berduka cita. Hufft…, pokoknya it’s complete…:)
Supir angkot yang kunaiki mengambil jurus penyelamatnya alias “motong jalan”. Aku pun lega. Sesekali kutelepon kantor bus itu, memastikan kalau busnya belum berangkat dan mengabarkan mereka kalau aku masih di jalan.
Aku sampai di terminal sekita pukul 12. 20 wib dan ternyata bus masih sepi dari penumpang. Setelah kutanyakan lagi pada petugasnya, kabarnya bus akan berangkat sekitar pukul 14.00 wib. Menunggu keberangkatan, aku pun beranjak ke mushalla yang ada di sana untuk makan siang, ups bukan…, shalat maksudnya, hehehe.
Bersebab sesuatu hal, aku harus duduk di bangku paling depan, sejajar alias dekat dengan supir. Ternyata ada 2 bangku kosong yang sejajar dengan bangku supir. Atas kebaikan hati dan pengertian seorang Bapak petugas, akhirnya aku dapat tempat duduk paling pinggir. Kurasa dia memahami keinginanku setelah sempat tertangkap oleh mataku, dia memperhatikanku dari atas sampai bawah. Dan kurasa ini karena jilbab dan rok yang kupakai saat itu. Di antara aku dan supir, ada seorang Ibu yang tujuan keberangkatannya ke Riau. Ah…, lega-lah aku karena aku yang akan lebih dulu sampai nantinya daripada Ibu itu. Hmm, ga enak duduk dekat supir bus. Soalnya apa yah? Ya begitulah…,hehehe. Well…, semuanya aman dan perjalanan pun dimulai…:).
Ada seorang perempuan muda duduk dekat pintu bus. Dia duduk di bangku yang seharusnya diduduki kernet bus itu dan jaraknya hanya sekitar 100 cm dari bangkuku.. Sejenak kuamati gerak-geriknya dan komunikasinya dengan supir bus itu. Keyakinanku bilang perempuan itu adalah istrinya si Bang Supir.
Sepanjang jalan sebelum istrinya turun, mereka asyik berbicara sambil sesekali bersenda gurau. Sesekali mereka saling melihat dan sesekali si istri menawarkan air putih ke Bang Supir dan begitu juga dengan si Bang Supir. Menurutku ini romantis, hmmJ.
3 jam perjalanan dari terminal bus, istrinya turun. Aku lupa nama tempatnya apa. Yang aku ingat, sebelum istrinya benar-benar turun, mereka saling berpesan agar sama-sama hati-hati dalam perjalanannya. Bang supir yang romantis itu tak juga mengemudikan bus itu hingga perempuan berambut sepinggang dengan tas sandang abu-abu di tangannya itu telah sampai di seberang jalan.
30 menit kemudian, Bang supir yang romantis itu menelepon istrinya untuk memastikan istrinya sampai atau belum. Tapi beberapa menit kemudian pula, dia menelepon seorang perempuan (menurutku bukan istrinya) dengan nada yang senada dengan nada saat ia berbicara dengan istrinya. Positive thinking saja, mungkin itu saudaranya. Ah…, untuk hal ini aku tak mau ambil pusing. Jadi, cukup sampai di sini untuk cerita yang satu ini.
“Banyak kali kereta ini. Dipotong 100, di depan udah ada 200 kereta lagi.” Ucap Bang supir tiba-tiba.
Satu kalimat yang spontan tapi menurutku cukup menarik. Jadi teringat kasus beberapa orang yang kudengar dari orang-orang di sekitarku. Kalau lebaran begini memang banyak orang yang mudik dengan menggunakan kereta khususnya. Tak sedikit yang menggunakan kereta baru tapi berstatus kredit. Sengaja mereka kredit sebelum lebaran tiba agar bisa mudik dengan kereta itu. Tidak beberapa lama, ketika tagihan kereta itu sudah waktunya dibayar dan mereka
tidak bisa bayar, jadilah kereta tersebut ditarik kembali oleh perusahaan.
Teringat juga dengan perkataan seorang ustadzah di televisi. Mendekati lebaran banyak orang yang sibuk membeli ini dan itu. Semua harus lengkap. Kue lengkap, perabotan rumah serba baru dan lengkap, pakaian baru dan mahal dan asesoris pribadi juga ikut dilengkap-lengkapi. Ketika lebaran mulai berakhir, si penagih hutang datang bersilaturrahim untuk menagih hutang. Hmm, naudzubillah…. Semoga kita bukan termasuk yang begitu ya…J. Pengendalian diri itu penting, begitukan teman? ^^
Lanjut…:). Di pertengahan jalan, sesekali aku mengobrol dengan Ibu di sebelahku. Ternyata dia tidak hanya sendirian ke Riau. 14 orang lainnya yang ada di bus yang sama dengan kami ternyata adalah teman dan keluarga Ibu itu. Mereka memang tinggal di Riau dan ke Medan untuk mengunjungi keluarga mereka. Kupikir pulkam di lebaran pertama akan sepi penumpang tapi ternyata tidak.
Tak jauh dari Kisaran, sekitar pukul 18.30 wib. Bus yang kunaiki terpaksa singgah di sebuah bengkel. Si Bang supir hendak menempel 2 ban dari bus itu. Dia khawatir kalau tidak segera ditempel akan membuat perjalanan kami terhambat.
“Harusnya ditempel sebelum berangkat. Kalau kayak gini kan makan waktu. Aturan bisa cepat sampe jadi lama sampe’nya.” Celoteh seorang lelaki tua yang se-bus denganku. Dalam hati aku mengiyakan dan setuju dengan argumen lelaki itu. Benar saja, penempelan ban itu memakan waktu 4 jam.
Lokasi masjid yang cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki dari bengkel itu membuat aku dan beberapa penumpang lainnya berinisiatif untuk menerima tawaran seorang warga sekitar untuk naik angkotnya saja jika ingin ke masjid. Tentu dengan membayar ongkos yang sudah ditetapkannya duluan. Bapak ini kesempatan dalam kesempitan menurutku. Ongkos yang dia tentukan tidak sebanding dengan jarak tempuh yang kami lalui, alias kemahalan. Di bengkel itu tak ada mushola atau tempat yang digunakan untuk sholat, itu juga yang membuat kami memutuskan untuk mengiyakan tawaran Bapak itu.
Pukul 21.00 urusan tempel menempel ban itu selesai dan perjalanan pun kami lanjutkan. Sekali lagi, ini perjalanan pertamaku pulkam sendiri dan pertama kalinya duduk di bagian paling depan. Duduk paling depan membuatku bisa melihat setiap jalan yang kami lalui dengan jelas. Kesempatan yang ga boleh kusia-siakan tentunya karena pasti ada banyak ide yang akan berkeliaran dan berterbangan di dekatku.Yup, ide itu memang berkeliaran di sepanjang perjalananku itu. Semoga bisa kutuang dalam tulisan yang bermanfaat buat banyak orang.
Tapi aku agak ketakutan sepanjang duduk di depan. Sesekali, pikiran-pikiran kacau menghampiriku. Kalau bus ini menabrak sesuatu dan kaca depannya pecah, pasti kami yang duduk di depan yang akan kena pecahannya duluan. kalau…, kalau dan kalau…. Tapi pikiran-pikiran itu segera kutepis. Allah mengikuti prasangka hamba-Nya, begitukan? J. Di manapun kita berada dan kapan pun itu, maut bisa saja menghampiri kita tanpa tawar menawar. Yang penting berharap saja agar kita hidup dan berpulang pada-Nya dalam keadaan beriman pada-Nya.
Malam yang semakin larut dan kondisi di sekeliling bus kami yang gelap, membujukku untuk tidur gatidur, hehehe. Iya, sesekali aku tertidur tapi sering kali terbangun. Aku kesulitan tidur dengan kondisi yang begitu.
Tanpa kusadari, supir bus kami berganti wujud, eh…, orang maksudnya. Kali ini lebih tua dari sebelumnya tapi “aneh”. Sesekali dia mengobrol dengan aku dan Ibu di sebelahku. Mau tahu anehnya dimana? Hm, jadi gini, 2 jam lagi mendekati tujuan si Bang supir menanyakan nama kampung yang sedang kami lalui. Begitu seterusnya hingga kami benar-benar sampai di Sibuhuan. Harusnya kan supir lebih tahu dari penumpangnya :) dan parahnya tak seorang pun dalam bus itu yang tahu di mana lokasi terminal bus. Ups, atau jangan-jangan banyak yang masih tidur kali ya, hehehe.
Sudah di Sibuhuan (sebelum sampai di terminal bus), dia bertanya padaku.
“De’, dimananya terminal bus ini di Sibuhuan?” tanyanya serius
“Ga tahu pak….! Tapi kabarnya sudah bukan di tempat yang lama lagi.” Jawabku lebih serius lagi :D. Sudah lama diriku ga pulkam, jadi ga begitu tahu soal yang satu ini.
Tiba-tiba di depan kami ada sebuah jalan yang rusak parah dan dalam perbaikan, Kami satu bus jadi heboh…. (Bersambung… :))
*Pulang Kampung (bahasa suku Mandailing)
270911,