Sikancil merasa putus asa. Ia berpikir, "Bagaimana aku bisa mendapatkan makanan? Aku tidak bisa memanjat pohon, dan aku tidak bisa melompati pagar. Aku pasti akan kelaparan."
Tiba-tiba, ia melihat seekor gajah yang sedang berjalan di dekatnya. Gajah itu memiliki belalai yang panjang dan kuat. Ia bisa memetik buah-buahan dari pohon-pohon dengan mudah. Ia juga bisa menghancurkan pagar dengan kepalanya dan memakan sayuran dari kebun-kebun.
Sikancil pun mendapat ide. Ia berpikir, "Aku akan meminta bantuan gajah. Mungkin ia mau berbagi makanan denganku. Aku akan mengelabui gajah dengan tipu muslihatku."
Sikancil pun mendekati gajah dengan sopan. Ia berkata, "Halo, gajah. Apa kabar? Kamu tampak sehat dan kuat. Aku kagum denganmu."
Gajah merasa senang mendengar pujian sikancil. Ia berkata, "Terima kasih, sikancil. Aku memang sehat dan kuat. Aku bisa memetik buah-buahan dari pohon-pohon dan memakan sayuran dari kebun-kebun. Aku tidak pernah kekurangan makanan."
Sikancil pura-pura kagum. Ia berkata, "Wow, kamu hebat sekali. Aku tidak bisa melakukan hal-hal seperti itu. Aku terlalu pendek dan lemah. Aku selalu kelaparan. Aku iri padamu."
Gajah merasa kasihan mendengar keluhan sikancil. Ia berkata, "Jangan bersedih, sikancil. Aku mau membantumu. Aku akan memberimu sebagian makananku. Aku akan memetik buah-buahan untukmu dan mengambil sayuran untukmu. Aku akan membuatmu kenyang dan bahagia."
Sikancil berpura-pura senang. Ia berkata, "Terima kasih, gajah. Kamu sangat baik hati. Aku sangat berterima kasih padamu. Aku akan mengikuti kemana pun kamu pergi. Aku akan menjadi teman baikmu."
Gajah pun percaya dengan kata-kata sikancil. Ia menganggap sikancil sebagai temannya. Ia pun membawa sikancil ke pohon-pohon dan kebun-kebun. Ia memetik buah-buahan untuk sikancil dan mengambil sayuran untuk sikancil. Ia memberi makan sikancil dengan belalainya.
Sikancil sangat senang. Ia bisa makan sepuasnya tanpa harus bersusah payah. Ia menikmati buah-buahan dan sayuran yang lezat. Ia merasa kenyang dan puas.
Tetapi, sikancil tidak puas hanya dengan makan. Ia juga ingin bersenang-senang. Ia ingin mengolok-olok gajah yang bodoh. Ia ingin menunjukkan bahwa ia lebih cerdik dari gajah.
Sikancil pun mulai berbuat nakal. Ia menggigit belalai gajah saat gajah memberinya makan. Ia menendang kaki gajah saat gajah berjalan. Ia menarik ekor gajah saat gajah beristirahat. Ia membuat gajah kesakitan dan kesal.
Gajah tidak tahu bahwa sikancil sengaja mengganggunya. Ia mengira bahwa sikancil tidak sengaja melakukannya. Ia berkata, "Sikancil, kenapa kamu menggigit belalaiku? Kenapa kamu menendang kakiku? Kenapa kamu menarik ekorku? Apakah kamu tidak suka padaku?"
Sikancil pura-pura tidak bersalah. Ia berkata, "Maaf, gajah. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya bermain-main denganmu. Aku sangat suka padamu. Kamu adalah teman baikku."
Gajah pun memaafkan sikancil. Ia berkata, "Baiklah, sikancil. Aku memaafkanmu. Tetapi, jangan ulangi lagi. Jangan membuatku sakit dan marah. Jika tidak, aku tidak akan memberimu makan lagi."
Sikancil mengangguk. Ia berkata, "Baik, gajah. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku akan berhati-hati. Aku akan menjadi teman yang baik untukmu."
Tetapi, sikancil tidak menepati janjinya. Ia tetap berbuat nakal. Ia semakin sering mengganggu gajah. Ia semakin keras menggigit, menendang, dan menarik gajah. Ia semakin membuat gajah menderita.
Gajah mulai curiga. Ia mulai menyadari bahwa sikancil tidak jujur. Ia mulai merasa bahwa sikancil bukan temannya. Ia mulai marah pada sikancil.
Suatu hari, gajah tidak tahan lagi. Ia memutuskan untuk membalas sikancil. Ia memutuskan untuk menghukum sikancil.
Ia pun membawa sikancil ke sebuah sungai. Ia berkata, "Sikancil, aku mau memberimu hadiah. Aku mau memberimu sesuatu yang spesial. Aku mau memberimu air dari sungai ini. Air ini sangat segar dan sehat. Aku yakin kamu akan suka."
Sikancil tidak curiga. Ia mengira bahwa gajah masih baik padanya. Ia berkata, "Terima kasih, gajah. Kamu sangat murah hati. Aku sangat senang mendapat hadiah darimu. Aku akan minum air dari sungai ini."
Gajah pun mengangkat sikancil dengan belalainya. Ia membawa sikancil ke atas sungai. Ia melemparkan sikancil ke dalam air. Ia berkata, "Ini hadiahku untukmu, sikancil. Selamat berenang di sungai ini. Selamat menikmati air ini."
Sikancil terkejut. Ia tidak bisa berenang. Ia tenggelam di dalam air. Ia berteriak minta tolong. Ia berkata, "Gajah, tolong aku. Aku tidak bisa berenang. Aku akan mati di sini. Tolong selamatkan aku."
Gajah tidak peduli. Ia tidak mau menolong sikancil. Ia berkata, "Tidak, sikancil. Aku tidak akan menolongmu. Aku sudah bosan denganmu. Aku sudah muak denganmu. Aku sudah tidak mau menjadi temanmu lagi. Kamu adalah seekor penipu dan pengganggu. Kamu tidak pantas hidup."
Sikancil menyesal. Ia sadar bahwa ia telah salah. Ia sadar bahwa ia telah bodoh. Ia sadar bahwa ia telah kalah. Ia memohon ampun kepada gajah. Ia berkata, "Maafkan aku, gajah. Aku mengakui kesalahanku. Aku menyesali perbuatanku. Aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi. Aku berjanji akan menjadi teman yang baik untukmu. Tolong maafkan aku. Tolong selamatkan aku."
Gajah tidak mau mendengar permintaan sikancil. Ia berbalik dan pergi. Ia meninggalkan sikancil di sungai. Ia berkata, "Sudah terlambat, sikancil. Aku tidak percaya padamu lagi. Aku tidak mau mendengar alasanmu lagi. Aku tidak mau melihat wajahmu lagi. Selamat tinggal, sikancil."
Sikancil pun mati di sungai. Ia tidak bisa menyelamatkan dirinya. Ia tidak bisa mengelabui gajah lagi.