Beberapa faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual di perguruan tinggi yaitu faktor natural atau bilogis, faktor sosial dan budaya, faktor relasi kuasa yang sangat sering dijumpai di kampus. Karena merasa kekuasaan yang dimilikinya memiliki peluang untuk menundukkan korban, yaitu dengan bujuk rayu, menampilkan sosok orang tua yang penyayang, adanya ancaman, serta diskriminasi nilai. Dengan cara seperti itu, seorang dosen bisa dengan mudah menipu mahasiswinya untuk menutupi intensi seksualnya. Mahasiswi yang lemah dan tidak mampu mengelak akan potensial menjadi korban dosen yang melewati batas kepantasan dan moralitas.
Berdasarkan data mendikburistek, peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari hingga Juli 2021 terdapat 2.500 kasus. Â Angka ini melampaui catatan pada tahun 2020 yakni 2.400 kasus. Peningkatan kasus dipengaruhi oleh krisis pandemi yang merupakan fenomena gunung es karena jumlah yang tidak dilaporkan lebih banyak daripada yang terlapor karena merasa takut. Sementara itu, berdasarkan survei Kemendikbud tahun 2020 menyebutkan bahwa 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di tingkat perguruan tinggi. Sekiranya ada 63% yang tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. Seharusnya sebagai mahasiswi bisa terus menyuarakan suaranya akan kebenaran yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa, kasus kekerasan di perguruan tinggi merupakan pemasalahan yang sangat besar dan harus segera dituntaskan. Dikarenakan kasus kekerasan di perguruan tinggi ini marak terjadi, namun hanya segelintir korban yang berani untuk speak up mengenai kejadian tersebut.
Beberapa kasus yang di duga terjadi kekerasan seksual di perguruan tinggi yaitu: pertama, seorang mahasiswi angkatan 2018 Universitas Riau (Unri) diduga mengalami pelecehan seksual oleh dosennya yang juga seorang dekan FISIP, Saat bimbingan skripsi, pelaku diduga memaksa mencium pipi dan kening korban. Bahkan sempat meminta mencium bibir, namun korban melawan. Kedua, kasus pelecehan seksual juga terjadi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri, diduga dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswinya. Ketiga, pelecehan seksual yang menimpa 3 mahasiswi Universitas Sriwijaya (Unsri) diduga pelecehan seksual dilakukan oleh dosen terhadap beberapa mahasiswinya saat hendak bimbingan skripsi. Keempat, pada akhir tahun 2021, Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) melakukan pelecehan seksual dengan mengirimkan chat bernada merayu atau sexting ke beberapa mahasiswi, Seperti mengucapkan "I Love U" kepada seorang mahasiswi yang meminta bimbingan. Bahkan dosen ini terang-terangan mengajak menikah korbannya. Kelima, seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengalami pelecehan seksual ketika tengah menjalankan program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Dan masih banyak lagi kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi.
Kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi akan berdampak besar pada korban yaitu:
Pertama dampak fisik : Gangguan pola tidur, gangguan pola makan, imunitas menurun,ketidaknyamanan, nyeri pada bagian kelamin dan anus, dan kehilangan kebiasaan positif.
Kedua dampak psikologis : Depresi, trauma yang mendalam, stres yang dapat menganggu fungsi dan perkembangan otaknya, kecemasan yang meningkat terus menerus, disorientasi seksual, menyendiri, sensitif, sering mengalami mimpi buruk, menyakiti dan menyalahkan diri sendiri.
Ketiga dampak sosial : Mendapatkan bully, kehilangan nama baik, malas mengikuti kegiatan,prestasi menurun, menjauhi teman-teman, dan kemungkinan menjadi pelaku kekerasan seksual.
Untuk mengatasi permasalahan kekerasan seksual di perguruan tinggi, permendikbudristek mengeluarkan beberapa peraturan. Yang pertama,  Nomor 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan pelecehan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi dan dibentuknya Satuan Petugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan pelecehan Seksual, diharapkan dapat menciptakan lingkungan kampus yang aman dari pelecehan seksual terhadap perempuan. Kedua, membentuk satuan tugas khusus yang bersifat non-ad hoc. Yang  berasal dari unsur pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswi. Yang bertugas untuk memastikan korban mendapatkan pendampingan, perlindungan, dan pemulihan berdasarkan persetujuan korban. Ketiga, adanya pemasangan tanda peringatan bahwa kampus sama sekali tidak menoleransi adanya tindakan kekerasan seksual. Keempat, harus memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas dalam sosialisasi yang terkait kekerasan seksual. Terakhir, penguatan budaya komunitas pada mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan berupa pemberian edukasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual saat pengenalan kehidupan kampus pada mahasiswa baru. Instrumen hukum ini cukup penting mengingat banyaknya korban kekerasan seksual yang bersuara, justru disalahkan dan dibungkam. Lebih parah lagi, kampus yang seharusnya memberikan perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual seringkali menjadi aktor utama dalam hal perlindungan terhadap pelaku kekerasan seksual tersebut. Seringkali kampus justru memilih menutupi dan melindungi pelaku kekerasan seksual untuk menjaga nama baik kampus. Â
Diharapkan dengan adanya peraturan tersebut, maka permasalahan dan kasus kekerasan seksual akan dapat ditangani dengan cara yang tepat dan sesuai prosedur yang disusun, sehingga kampus akan kembali kepada marwahnya sebagai ruang akademik yang menanamkan nilai moral dan kemanusiaan. Serta mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual pada masa yang akan datang di perguruan tinggi.