Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Solusi Pilkada adalah Mental

13 September 2014   05:44 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:50 15 0
Suasana negeri kembali menghangat dengan agenda pembahasan RUU Pilkada Tidak Langsung yang sedang digodok di DPRD. Tak mau kalah hangatnya dengan Pemilihan Presiden yang baru selesai beberapa waktu yang lalu, dan hangatnya masih terasa hingga kini.

Pihak Pro dan kontra kembali saling beradu argumennya masing-masing. Mengeluarkan alasan-alasan se ilmiah mungkin untuk menyatakan bahwa pendapatnyalah yang paling tepat.

Pihak yang pro terhadap pilkada tidak langsung mengeluarkan beberapa argumen, diantaranya bahwa pilkada langsung yang 15 tahun sudah kita lakukan berjalan tidak maksimal, terjadi banyak kecurangan dan massif. Azaz Luber yaitu Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia juga tidak bisa dijamin. Sistem politik Indonesia dikuasai segelintir orang yang punya uang yang mengaliri sendi politik Indonesia. Demikian disampaikan Budiyanto. anggota Komisi  I DPR RI, Budiyanto, Jumat (12/9/2014) (news.okezone.com).

Nampaknya bisa dibenarkan apa yang disampaikan oleh beliau, pilkada langsung yang terlaksana bukanlah pemilihan dari rakyat. Namun pilkada yang dilaksanakan langsung merupakan hajatan para pemilik modal melalui tangan rakyat. Semua dikemas seolah-olah rakyatlah yang memilih pemimpin mereka, padahal sebagian besar masyarakat memilih karena amplop, atau selembar uang yang diberikan oleh tim sukses. Hal itu sangat nampak dan sudah menjadi rahasia umum, bahkan di kalangan masyarakat bawah. Jadi, apakah Pilkada langsung layak dilanjutkan?

Seakan tak mau kalah, pihak yang tak setuju dengan pilkada tak langsung atau pilkada melalui DPRD juga mengeluarkan argumen yang tak kalah hangatnya. Ada beberapa alasan mengapa mereka menolak pilkada oleh DPRD, antara lain bahwa pilkada tak langsung adalah wujud kemunduran demokrasi Indonesia, karena pada masa Orde Baru pilkada leh DPRD terbuki hanya melahirkan birokrat korup di daerah dan mengakibatkan rakyat tidak dapat merasakan pembangunan yang merata. Berikutnya terjadi money politik dalam lingkungan DPRD. “Kita harus membeli partai, kita harus membayar anggota dewan. Setiap kita mengesahkan Perda nanti selalu ada negosiasinya. Dalam pengalaman Orde Baru kan demikian, bahwa kita ini sebagai kepala daerah dijadikan objek, dijadikan ATM oleh anggota dewan yang mana mereka merasa berjasa” demikian diungkapkan Bupati Solok, Syamsu Rahim. (kompasiana)

Kesimpulannya, baik Pilkada tidak langsung maupun Pilkada langsung mempunyai kekurangan yang relatif sama, yaitu adanya politik uang dan politik balas jasa. Jadi keputusan apapun yang nanti akan diketuk oleh DPR dan Presiden akan melahirkan pilkada yang bermasalah. Dan apakah kita dapat yakin salah satu sistem tersebut dapat membuat negara ini maju, adil, makmur dan sejahtera?

Jawabannya adalah bisa, jika pelaku demokrasi di negeri ini memiliki mental dan akhlak yang baik. Tidak akan terjadi politik uang dalam pilkada langsung jika seluruh elemen berakhlak, karena dengan akhlak tidak akan terjadi praktek suap menyuap antara pemilik uang dan rakyat. Tidak akan terjadi politik uang dan politik balas jasa dalam pilkada tak langsung /oleh DPRD jika seluruh elemen pelaku pilkada berakhlak.

Apapun keputusan yang akan terjadi mengenai pengesahan RUU Pilkada tidak akan menjadikan solusi untuk demokrasi Negeri kita jika pelaku demokrasi tidak memiliki mental dan akhlak yang baik, Negeri ini akan menjadi lebih baik dengan akhlak dan mental yang baik, apapun wujud Pilkadanya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun