Entah apa yang sudah kita persiapkan dan lakukan sebagai umat muslim pada satu bulan ke belakang. Pada bulan tersebut, keimanan kita begitu diuji, ketaqwaan, dan tentunya kualitas ibadah.
Saat ramadhan, rumah-rumah Allah secara "aneh" tiba-tiba ramai, sesak dipadati jama'ah yang antusias beribadah. Jalanan semerawut karena tingginya aktivitas menjelang berbuka puasa. Dan hari-hari yang dilewati tidak tahu akan penuh semangat atau terasa tidak bergairah dikarenakan harus menunda lapar.
Kata-Nya bulan ramadhan semua setan dibelenggu, namun nyatanya tidak begitu. Maksiat tetap ada, hanya saja intensitasnya yang sedikit berkurang. Ketika pulang dari masjid usai menunaikan sunnah ramadhan, seketika bulu kuduk tetap saja merinding, lantas apa penyebabnya?.
Bulan ramadhan sejatinya sarana dalam disiplin keuangan, dihemat dalam pengeluaran dan ditabung dalam bentuk sedekah. Nyatanya sebaliknya, pengeluaran kian membengkak, untuk sedekah pun rasanya sayang. Tak sedikit pula, usai lebaran justru kebutuhan dapur seolah mencekik segelintir kalangan, bahkan mayoritas.
Ramadhan juga merupakan bulan pertarungan, tentunya perang melawan hawa nafsu. Tidak hanya menahan lapar dan haus, menahan hawa nafsu juga suatu keharusan selama bulan ramadhan. Hal inilah yang sering dilupakan oleh ummat Islam, karena beranggapan puasa sebatas menahan apa yang dimakan dan minum saja.
Puasa hari pertama selalu dirayakan dengan meriah. Mulai dari sahur, makanan akan tersaji komplit dan banyak pilihan lauk pauk. Makan pun tidak terkontrol, cenderung kekenyangan, setelah itu banyak orang yang lebih memilih kembali terjaga.
Hari-hari dilalui dengan berbagai macam kondisi. Ada yang semangat menjalani hari, ada pula yang bermalas-malasan karena belum terbiasa menahan lapar dan haus. Tergantung dari kesiapan masing-masing, jika dimulai dengan persiapan berkualitas, tentulah berakhir mulus.
Demikian juga saat berbuka, berbagai macam menu dan minuman tersaji. Mulai dari makanan pembuka seperti kurma, jajanan pasar dan gorengan. Makanan berat penuh kalori, lalu pelengkap seperti aneka minuman dingin, contohnya es buah, cendol dan es kelapa muda.
Kenyataannya, hari-hari pertama selalu penuh dengan perayaan, puasa pun demikian. Namun setelahnya, semua berangsur menurun. Sahur dan berbuka yang awalnya mewah, bertahap akan menurun menjadi sederhana bahkan merana, pengaruh ekonomi!.
Kualitas ibadah juga demikian, yang awalnya jama'ah shalat tarawih membeludak. Perlahan dari hari ke hari terus berkurang, bahkan cenderung sepi. Apalagi saat mendekati Idul Fitri, orang-orang lebih memilih meramaikan pusat perbelanjaan daripada rumah Allah. Antrean kendaraan di tiap ruas jalan membuat arus lalu lintas macet, antrean manusia juga membuat pusat perbelanjaan terasa sesak, suasana berdesak-desakan ada dimana-mana!.
Walaupun suasana puasa tahun ini seperti ada yang kurang, malah cenderung biasa saja. Ada baiknya kita tetap sederhana dalam membelanjakan uang, tidak boros untuk hal yang tidak perlu. Ramadhan adalah momentum untuk kita meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah. Hidup sehat dengan pola makan yang benar, otomatis tubuh dan pikiran juga ikut baik.
Mudah-mudahan di hari kemenangan ini, kita menjadi hamba-hamba yang lulus dari ujian bernama ramadhan. Disucikan hatinya, dibersihkan segala pikirannya, sehingga kembali suci seperti pertama kali lahir ke dunia ini.
Awalnya buruk menjadi bagus, jarang-jarang menjadi konsisten, hitam menjadi putih dan seterusnya. Setidaknya harus ada perubahan yang kita lakukan demi menyikapi lembaran baru ini. Agar perjuangan kita selama bulan ramadhan tidak berakhir sia-sia, melainkan hanya mendapat lapar dan haus saja.
Berkaca dari ramadhan kemarin, sudahkah kita jalankan semua dengan maksimal daripada tahun-tahun sebelumnya?. Setelah satu bulan tersebut melawan hawa nafsu dan full berpuasa, marilah bersukacita pada hari kemenangan ini. Alhamdulillah
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriah bagi rekan-rekan penulis dan pembaca setia Kompasiana yang menjalankan.