Lantas ketika Anda diminta mendeskripsikan tampilan seorang Sales Promotion Girls (SPG) rokok, penampilan bagaimana yang terekam dalam pikiran Anda ?
Ya, sosok SPG rokok identik dengan paras yang cantik, wangi, kadang nampak amat sexy dengan baju mini dan pandai meraih hati calon pembeli .
Artikel ini sama sekali tak berniat apalagi menyarankan ibu-ibu Satpol PP untuk memakai rok mini saat melakukan operasi penegakan Perda. Sungguh tidak demikian. Tapi ada beberapa strategi marketing perusahaan rokok yang nampaknya perlu diadopsi oleh Satpol PP yang notabene merupakan instansi pemerintah yang identik dengan kedisiplinan, keteraturan, kelugasan, dan barangkali terkadang masih agak kaku menghadapi dinamika masyarakat yang terus berkembang.
Tak dapat dipungkiri selama ini timbul kesan bahwa keberadaan Satpol PP terkadang tidak sesuai dengan paradigma baru pemerintahan yang sekarang sedang dianut oleh bangsa ini. Kasus yang masih hangat mungkin adalah soal temuan Ombudsman RI tentang adanya pungli dan mal-administrasi penyalahgunaan wewenang di Satpol PP. Namun tujuh setengah tahun yang lalu, publik sudah kadung punya persepsi yang kurang baik tentang Satpol PP. Â Ketika itu pamor Satpol PP benar-benar jatuh.
Pada Mei 2010, di Koja Jakarta Utara, terjadi bentrokan antara Satpol PP dengan massa yang menolak alih fungsi makam Mbah Priok. Korban jiwa pun jatuh baik itu dari pihak Satpol PP maupun dari pihak warga. Bentrok di Tanjung Priok menggambarkan betapa pendekatan dialogis dan komunikasi persuasif kurang dikedepankan. Akibatnya ongkos sosial (social cost) yang harus dibayar oleh pemerintah sangat besar. Belum lagi kerugian yang ditimbulkan akibat rusaknya berbagai fasilitas umum.
Kurang dikedepankannya komunikasi persuasif nampak ketika setiap kali pemberitaan penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) muncul, gambar yang muncul adalah pembongkaran paksa, aksi kejar-kejaran dan adu mulut antara pedagang dan Satpol PP.
Padahal setelah reformasi tahun 1998 paradigma baru yang dianut bangsa ini ialah menempatkan kembali posisi birokrat bukan dalam status sebagai "penguasa" namun sebagai abdi masyarakat. Gagasan Pamong Praja kembali dihadirkan, dalam artian bahwa pemerintah harus bisa mengayomi, melindungi, dan melayani warga masyarakat. Apalagi bila dikaitkan dengan semangat good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), dimana kinerja birokrat harus ditujukan untuk kepentingan dan kesejahtaraan rakyat.
Gambaran kiprah Satpol PP dalam memainkan perannya sebagai bagian dari birokrasi, oleh masyarakat saat ini dinilai kurang  mencerminkan paradigma baru tentang konsep birokrasi yang harus selalu berpihak pada rakyat. Hal itu diperburuk dengan konstruksi pemberitaan media massa yang kerapkali memaknai Satpol PP sebagai pihak yang arogan, tidak memihak masyarakat kecil, dan terkadang dipersepsikan hanya menjadi alat "penguasa daerah".
Penggunaan seragam Satpol PP yang mirip militer, dan perlengkapan kerja yang mengacu pada doktrin militer dengan menempatkan masyarakat objek penertiban, menjadikan tindakan mereka di lapangan selalu berbenturan dengan warga menengah ke bawah. Padahal di sisi lain sebagaian besar dari anggota Satpol PP juga tergolong dalam komunitas yang bukan berpenghasilan tinggi.
Banyak anggota Satpol PP yang saat diwawancarai media justru mengungkapkan bahwa sebenarnya hati nurani mereka menjerit ketika melakukan tindakan yang menyebabkan "benturan" dengan komunitas menengah ke bawah. Tetapi mereka tak punya pilihan lain selain patuh pada perintah atasan.
Tingkat pendidikan yang tak tinggi serta pangkat dalam hirarki kepegawaian yang berada di lapis bawah, menjadikan mereka saat bertindak memakai doktrin "perintah atasan". Maka kecenderungan yang kemudian terjadi adalah situasi yang tidak dialogis dalam setiap kinerja Satpol PP saat berhadapan dengan warga yang menjadi sasaran penertiban.
Citra ini akan terus melekat pada Satpol PP sepanjang tidak terjadi pembenahan pola komunikasi Satpol PP dengan masyarakat.
Rekrutmen dan pembinaan personel satpol PP merupakan masalah yang mendesak untuk diperbaiki. Pembinaan personel di sini termasuk dalam hal pendidikan dan pelatihan bagi anggota Satpol PP.
Kabar gembiranya, rupanya ada sejumlah daerah di negeri ini yang menyadari kelemahan Satpol PP, dan berusaha memperbaiki citra Satpol PP. Yang paling fenomenal adalah upaya mantan Walikota Surakarta Joko Widodo (Jokowi) saat akan merelokasi pedagang kaki lima yang memenuhi jalan dan taman di pusat kota.
Tak seperti umumnya pimpinan daerah yang ingin relokasi berjalan cepat dengan pembongkaran paksa, Walikota yang kini jadi orang nomor satu di negeri ini memilih jalan berbeda.
Para koordinator paguyuban pedagang diundang makan bersama di Loji Gandrung, rumah dinas Walikota Surakarta/Solo. Â Jokowi lalu menerapkan strategi "lobi meja makan".
Mulanya karena tahu hendak direlokasi, para perwakilan pedagang tersebut datang dengan membawa pengurus Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).  Sejak awal, Jokowi sudah menahan diri untuk tidak menyampaikan keinginannyaterkait rencana pemindahan PKL. Seusai  jamuan makan yang pertama, Jokowi mempersilakan mereka pulang. Terang saja para PKL heran, mengapa tidak ada pembicaraan tentang relokasi. Hari-hari pun berlalu, mereka kembali diundang. Lagi-lagi sama seperti sebelumnya: Setelah makan, mereka pulang. Kejadian seperti itu berlangsung terus hingga tujuh bulan.
Baru pada jamuan makan yang ke-54, ketika seluruh PKL yang hendak direlokasi hadir, Jokowi baru mengutarakan niatnya. Dengan ramah dan santai Jokowi berujar kepada mereka, "Bapak-bapak yang baik, mohon maaf sebelumnya karena tempat Bapak-bapak berjualan hendak saya pindahkan". Hasilnya, seluruh PKL tidak ada yang membantah. Para PKL hanya minta jaminan, di tempat yang baru, mereka tidak akan kehilangan pembeli. Jokowi pun ketika itu Cuma berjanji akan mengiklankan Pasar baru mereka selama empat bulan di televisi dan media cetak lokal.
Pemindahan para PKL dari lokasi lama tidak perlu menggunakan  buldoser, mereka secara sukarela pindah. Relokasi PKL pun dilakukan dengan penuh kehormatan. Seluruh pedagang memakai pakaian adat Surakarta dan mengarak  tumpeng -tumpeng simbol kemakmuran. Prajurit Keraton Solo juga ikut dikerahkan, sehingga muncul rasa kebanggaan di benak para PKL. Walhasil, wajah-wajah keceriaan terpancar dari raut muka para pedagang.
Jokowi juga kerap mengganti Kepala Satpol PP dari yang sebelumnya selalu lelaki, menjadi perempuan. Tradisi ini sudah ia mulai saat bertugas sebagai Walikota Solo. Ia melihat saat ia menunjuk Sri Kadarwati sebagai Kepala Satpol PP Surakarta, image dan kinerja Satpol PP menjadi lebih baik. Maka ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta  Jokowi pun menunjuk Sylviana Murni sebagai Kepala Satpol PP menggantikan Effendi Anas, yang sudah memasuki masa pensiun.
Hal itu dilakukan Jokowi sebagai upaya agar Satpol PP lebih berwajah humanis, mengutamakan persuasi, dan lebih dapat memahami warga masyarakat.
Untuk tujuan yang sama, Walikota Surabaya Tri Rismaharini juga punya cara unik. Pihaknya sengaja melakukan rekruitmen tenaga kontrak untuk dijadikan Satpol Cantik Pamong Praja (Satpoltik PP). Selain harus berparas menawan, berpendidikan, mereka juga harus lolos seleksi ketat berupa tes psikologi, wawancara, dan lain sebagainya. Satpoltik diarahkan untuk melakukan tindakan persuasif melalui komunikasi yang efektif.
Saat menghadiri undangan sebuah acara seremonial di lingkup Pemprov Jawa Tengah, perhatian para peserta banyak yang tertuju pada Kepala Satpol PP Jawa Tengah Sinung Sinoeng Rachmadi beserta para ajudannya yang berparas cantik dan tidak mengenakan seragam yang lazim digunakan oleh personil Satpol PP. Tambah mengejutkan lagi saat ada yang berbisik bahwa para Satpol PP perempuan di Pemprov Jateng dapat tunjangan kosmetik. Maka tak mengherankan bila kesan angker yang biasa melekat pada Satpol PP itu berubah drastis.
Tak harus pakai dandanan yang mencolok dan pakaian yang se-sexy SPG rokok, toh dengan sedikit polesan make-up , Â wajah-wajah mereka menjadi segar tapi juga tak nampak berlebihan, pas , elegan, dan tak juga melanggar aturan kedinasan.
Kembali ke judul artikel, tulisan ini tak hendak sekedar ingin menyulap tampilan fisik personil Satpol PP tapi juga berharap agar strategi-strategi marketing yang ada di pikiran manager rokok itu bisa diadopsi. Bahkan jika mungkin jangan hanya belajar dari manager pemasaran rokok saja tapi juga produk-produk lain yang sukses meraih hati khalayak sasaran tanpa perlu banyak mengumbar rayuan.
Jika di bangku-bangku kuliah komunikasi pemasaran, mahasiswa lebih banyak diberikan contoh aplikasinya di perusahaan swasta, kini sudah saatnya, mereka dikenalkan bahwa program-program pemerintah juga merupakan suatu produk pemasaran yang harus bisa "dijual" ke masyarakat. Dijual bukan dalam arti sebenarnya namun dijual di sini bermakna dapat diterima oleh warga masyarakat.
Belajar tentang komunikasi pemasaran, tentunya juga tak bisa lepas dari bahasan psikologi komunikasi dan komunikasi yang persuasif. Istilah persuasi mengutip buku 'Komunikasi Persuasif karya Soleh Soemirat H. Hidayat Satari, bersumber dari perkataan Latin, persuasio, yang berarti membujuk, mengajak atau merayu. Persuasi bisa dilakukan secara rasional dan secara emosional.
Dengan cara rasional, komponen kognitif pada individu dapat dipengaruhi. Aspek yang dipengaruhi dapat berupa ide maupun konsep. Persuasi yang dilakukan secara emosional, biasanya menyentuh aspek afeksi, yakni sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan emosional seseorang. Melalui cara emosional, aspek simpati dan empati individu dapat digugah.
Kebanyakan literatur mengartikan persuasi sebagai suatu proses komunikasi yang ditujukan untuk mempengaruhi sikap, pendapat dan perilaku seseorang, baik secara verbal maupun nonverbal, hingga individu tersebut  mau berubah.
Agar proses komunikasinya berhasil maka harus memperhatikan sejumlah faktor antara lain kejelasan tujuan, memikirkan secara cermat orang-orang yang dihadapi, serta memilih strategi yang tepat.
Pada umumnya terdapat anggapan bahwa seseorang yang lihai membujuk itu pasti pandai berbicara. Padahal hal itu tak sepenuhnya benar, terutama jika seseorang telah belajar tentang psikologi persuasi. Setidaknya ada tiga hukum psikologi persuasi Robert Cialdini yang layak diadopsi personil Satpol PP. Ketiga jurus yang dikemukakan Cialdini dalam bukunya Influence: The Psychology of Persuasion, diantaranya adalah reciprocation (timbal balik), social proof (histeria massa), dan likeability (kesukaan).
Hukum resiprokasi sebagaimana diutarakan Caldini, menyatakan bahwa jika anda menerima sesuatu, anda akan merasa berhutang / berkewajiban untuk membalasnya. Saat orang lain baik dengan kita, kita akan balas berbaik hati dengan mereka. Karena itulah kadang seorang pria merasa tak enak hati dan rela membeli satu pak hingga satu slop rokok setelah  menerima testernya. Apalagi jika SPG-nya berkata, "Gratis kok testernya. Sini biar sekalian saya bantu nyalain rokoknya".
Maka untuk dapat menerima hukum timbal balik ini kita harus memberi dulu baru menerima. Tapi pemberian ini harus signifikan dan tidak terduga. Sebagai contohnya adalah saat para koordinator paguyuban pedagang diajak makan bersama di rumah dinas Walikota yang hendak merelokasi lapak mereka. Saat baru akan menghadiri jamuan pertama, rasa curiga dan was-was terhadap Jokowi masih muncul, namun setelah jamuan yang ke-54, sikap mereka berubah 180 derajad terhadap rencana relokasi.
Berikutnya adalah social proof atau prinsip ikut-ikutan. Dalam kondisi ketidaktahuan atau kurangnya informasi orang akan mengikuti apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Itulah mengapa yang diundang Jokowi adalah para koordinator paguyuban pedagang. Hal itu karena mereka adalah tokoh kunci yang bisa mempengaruhi banyak pedagang. Nah kalau sebagian besar pedagang sudah bisa dipengaruhi, maka pedagang-pedagang yang kurang memahami persoalan pastinya akan ikut-ikutan suara mayoritas.
Terakhir adalah prinsip likeability. Prinsip ini bekerja denagn premis dasar: "Seseorang suka membeli sesuatu dari orang yang dikenal atau orang yang disukai (baca: pribadi yang lebih disukai)". Betapa banyak pria yang akhirnya membeli rokok bukan karena merk atau kualitas produknya namun karena tampilan penjualnya yang umumnya disukai oleh pria.Kecantikan penjualnya lah yang membuat mereka tidak kuasa menolak. Itulah situasi di mana prinsip likeability bekerja pada pria. Bayangkan jika Anda adalah seorang PKL yang tiap hari didatangi Satpol PP yang secantik dan semenarik SPG rokok.
Banyak riset menunjukkan seseorang yang tampil tampan dan cantik otomatis akan lebih disukai oleh orang lain. Jadi yang bisa dilakukan oleh Satpol PP adalah memperhatikan penampilannya agar dapat diterima dengan baik oleh khalayak sasaran dalam hal ini para pedagang atau PKL.
Setelah memperhatikan penampilan, yang perlu dilakukan adalah membangun kesamaan. Ketika ingin meyakinkan / membujuk orang lain, terlebih dahulu carilah kesamaan yang dimiliki. Kesamaan ini bisa jadi kesamaan tentang latar belakang (contoh: berasal dari kota yang sama, tentang hal-hal yang sama-sama diketahui dan disukai (contoh: sama-sama ikut jamaah pengajian, gaya bicara/logat dan bahasa tubuh (misalnya ketika lawan bicara posisi duduk maka kita berbicara tidak dengan berdiri tapi duduk mendekati lawan bicara kita). Di sinilah Pimpinan Satpol PP perlu melakukan riset khalayak sasaran sekaligus memetakan dan menseleksi personil yang sesuai dengan karakteristik masyarakat yang menjadi mitranya. Jika perlu juga ditambahi dengan kursus kepribadian, agar misi persuasi Satpol PP dapat berhasil.