Kurang lebih usia TK dan mulai tahu a, b, c, d, saya ingin keras-keras (baca: pamer) membaca (=mengeja) semuanya: mulai dari koran yang dipenuhi bahasa yang tidak saya pahami hingga bungkus makanan apa saja. Tidak jarang saya menyensor dulu bungkus-bungkus makanan yang akan dibuang Ibu: mencari bahan bacaan. Hingga karena kasihan Ibu lalu berbaik hati membelikan Bobo dan berpindahlah hasrat membaca saya pada majalah anak tersebut.
Di masa liburan pasca terima raport kelas satu SD, dalam kereta menuju Purworejo saya memperoleh pencerahan dan mengkonfirmasi kebenarannya pada Bapak, "Orang dewasa itu kalau membaca di batin." Wisss, tertantanglah saya: baca tulisan dalam hati. Jadi mulailah saya memelankan suara saya. Duh, susahnya minta ampun. Tidak saja karena belum tau cara membaca tanpa mengeja tapi juga karena harus mencerna niat pamernya: kalau bacanya dalam hati nanti saya dikira tidak bisa baca, cuman pura-pura baca kayak anak kecil (naik kelas dua, sudah berasa gede dong). Toh bagaimanapun, niat mulia saya menang: bisa membaca sambil diam.
Semua orang, tanpa kehebohan dan dramatisasi, pasti pernah melalui fase seperti saya. Mungkin tidak banyak yang masih menyimpan keriaan usai bisa membaca dalam hati dan benar-benar memahami maksud bacaannya. Atau mungkin ada juga yang merayakannya secara lebih rapi: mendokumentasikannya dalam tulisan di diari.
Yang manapun, yang bagaimanapun, tanpa alasan apapun, hari ini saya mengajak semua untuk merayakan kembali rasa syukur kita karena bisa membaca. Bisa membaca, menemukan kenikmatan dalam prosesnya, dan memperoleh faedah atas segala hasil bacaan. Terpujilah mereka yang menemukan huruf-huruf dan mengajari manusia lain membaca ;)