Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Pernah Patah

16 Juni 2021   19:56 Diperbarui: 25 Juni 2021   14:34 198 5
Laki-laki bisu.

Begitu orang menyebut laki-laki dengan rambut acak-acakan yang biasa ditemui sore hari di tepi pantai. Beberapa orang mengira laki-laki itu gila. Tetapi pakaiannya termasuk rapi dan bersih. Dia datang tepat pukul empat sore. Tidak pernah terlewat.

Berdasarkan berita yang beredar di kalangan masyarakat sekitar, rumahnya berada tak jauh dari pantai. Paman penjaga pantai menambahkan, rumah besar bercat putih di belokan--sebelum menuju pantai-- adalah miliknya.

Jadi, dia bukan orang gila. Dia memiliki rumah. Dia tidak lupa jalan. Begitu yang selalu kuyakini.

Tetapi, Haikal meragukannya. Asumsinya, bisa saja hanya jalan menuju rumah dan pantai yang tersisa di ingatannya. Sekalipun terdengar sedikit masuk akal, pandanganku tentang laki-laki itu tidak berubah.

Haikal bersiap mengambil dokumentasi. Seharusnya atensiku terpusat pada guguran daun di atas pasir, tetapi ujung mataku justru melirik ke arah laki-laki bisu berada. Sejak awal kedatangannya, dia hanya duduk termangu.

Pertama kali melihatnya termenung seperti batu selama berjam-jam, aku dibuat heran. Lebih tepatnya penasaran. Apa yang dipikirkannya sedalam itu? Apa yang berserak di dalam tatap kosongnya?

Namun, akhir-akhir ini aku merasa sedikit mengerti yang dilakukannya. Bagaimana pikiran justru ramai saat bibir terkatup. Tenggelam di dalamnya tak dapat lagi dihindari sebagaimana yang dilakukan selama ini.

"Na," panggil Devi lembut. "Ayo pulang. Sudah petang."

Ketika tenggelam dalam pikir, waktu seolah tergesa berjalan. Berbeda dengan menunggu sebuah kedatangan.

"Iya."

Melihatku menjawab lesu, Devi melempar tanya khawatir. "Kamu nggak papa?"

Kepalaku mengangguk. "Enggak papa."

Lalu kami saling melempar senyum tipis. Tanpa perlu dijelaskan, hal-hal yang tersirat sudah sampai pada pemahaman.

"Permisi."

Tubuhku mematung sesaat. Begitu pun dengan Devi. Melempar pandang, memastikan memang salah satu di antara kamilah yang dimaksud pemilik suara berat di belakang. Terdengar gesekan sandal di atas pasir mendekat. Sehingga kami kompak membalikkan badan.

Melihat laki-laki bisu orangnya, kami terperangah. Laki-laki itu baru saja mengucapkan sebuah kata. Dugaanku benar. Laki-laki itu tidak bisu. Tanpa sadar sudut bibirku tertarik. Sedangkan Devi masih berusaha mencerna apa yang terjadi.

"Ada apa?"

Dia menelan ludah. Matanya mengerjap-ngerjap dua kali lebih cepat. Tampaknya dia kebingungan. Sebelum tanya kembali kulempar, diulurkannya kalung berbandul kelopak bunga tanpa inti yang sangat kukenali.

"Aku memang ingin membuangnya," tukasku dingin.

"Maaf."  

"Tidak apa-apa."

Laki-laki itu menatapku selama beberapa saat, sebelum kembali memasukkan kalung ke saku jaket hitamnya.

"Mengapa kau menyimpannya?" heranku. "Benda itu seharusnya dibuang." Bersama segala kenangan pemberinya.

Dia menyunggingkan senyum tipis yang bahkan nyaris tak terlihat. "Anggap saja demikian."

Aku tidak mengerti dengan apa yang dilakukannya saat ini. Dan tidak berniat mempermasalahkannya. Sebelum langit benar-benar gelap, aku dan Devi sudah harus sampai ke basecamp.

"Terserah."  

Sampai empat hari berselang, kejadian tersebut tak pernah lepas dari kepala. Setiap kali aku bertanya pada Devi akan tingkahku kala itu, gadis itu hanya mengedikkan bahu.

"Tanyakan pada dirimu sendiri." 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun