Karena saking getolnya berinternet ria tanpa warung penyedia jasa layanan, maka satu-satunya penyedia jasa hanyalah Kantor Pos Besar di kota kecil ini.
Tentu saja masa itu tidak semudah masa kini, lewat segenggam hape di tangan internet berjalan lancar. Juga ada Modem tidak perlu pakai kabel melain tinggal tusuk saja ke port usb samping kiri atau kanan. Pun Modem rumahan, tidak lagi terbelit dengan kabel melainkan tinggal tarik antenanya dan perangkat pintar tersambung dengan mudah.
Back to that time, Karena satu-satunya penyedia jasa internet hanyalah Kantor Pos besar berakibat pada meningkatnya frekuensi saya memarkir sepeda motor di halaman gedung tersebut.
Ya, kalo siang ada paman sang juru parkir setiawan, saya harus tetap bayar parkir, tapi kalo paman parkirnya meleng alias matanya tidak awas maka saya segera hengkang tanpa bayar.
Hingga suatu ketika didompet tidak lagi tersedia uang giral kertas apaagi demi bea parkir yang hanya 500 perak kala itu. Kemudian benak saya menyarankan agar mengoleksi sejumlah uang 25 perak sebanyak 20 buah demi bea dimaksud.
Tanpa pikir panjang dan menurut keegoisan saya bahwa jumlah recehan logam tersebut pas dengan nilai 500 perak sebab 25 x 20 = 500. Ketika tagihan rekening parkir saya terima, serta-merta saya berikan recehan tersebut kepada paman sang juru parkir tadi, tak diduga tak disangka bak lirik lagu Ruth Sahanaya "Astaga" ...
Uang-uang logam 25 perak tadi dihambur begitu rupa sama seperti partikel elektron terkena proton oleh paman sang juru parkir yang seketika itu kumisnya langsung melintang menegang bak ekor sengat lebah jantan hendak menyerang korban (entah apa saat ini paman siaga tadi masih berjaga ataukah tidak lagi di lapangan parkiran Kantor Pos itu)?
Ini kejadian tahun 2001-an. Apa yang ada dalam pikirannya sampai uang-uang tadi dibuangnya di depan saya, karena saya tidak mau ambil pusing dan saat itu tentu saja masih kere dan tidak seperti sekarang, saya berlalu tanpa perasaan bersalah dan . . . .
Kejadian flashback itu bak Balada yang terus terngiang bulat-bulat melekat hingga sekarang. Mampu menaikkan titik didih darah saya jika ada sekali lagi juru parkir yang membuang uang receh di hadapan saya.
Paman Tukang Parkir yang borju
Kembali pada cerita perparkiran di Kantor Pos Besar tadi, setelah saya diangkat sebagai PNS dan kembali saya bertemu dengan paman tukang parkir tersebut, dia malah selalu menghindar dan jika terpaksa ia harus tersenyum pahit memandang saya jika saya harus berurusan ke kantor pos tersebut, sepertinya ia tahu pernah "merendahkan dengan membuang uang logam" pembayaran bea parkir yang pernah saya berikan sebanyak 20 biji 25 rupiah tadi. Sekarang kumis melintangnya tiada lagi bersemi, berganti kelimis yang belum tepat dikatakan manis. Berseri pun enggan ditampakkan entah mengapa asal muasalnya dan saya berlalu begitu saja !
Teringat aku akan ujar temanku yang telah meninggal mayapada ini sewindu lalu,
tanpa sebiji 25 rupiah tidak cukup untuk disebut sekumpulan uang semilyar.
Karena itu ayo kita bertindak dari hal yang terkecil dari hal yang paling sederhana, paling simpel, paling sepele,
untuk menghormati recehan walaupun nilai (nominalnya) kecil dan tampak tak berarti
tapi itu tetap merupakan alat penukaran yang berguna dan bermanfaat, terlebih lagi sah di seluruh Republik Indonesia.
Kecuali jika Bank (Sentral) Indonesia memerintahkan untuk menarik semua recehan 25 rupiah dari seluruh wilayah Indonesia dan tidak dapat dipergunakan lagi sebagaimana mesti.