Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Sang Putri, yang Sungguh Mencintai Bumi

7 April 2024   00:56 Diperbarui: 7 April 2024   01:09 109 3
Namaku Bumi, Rabumi Nirmala lengkapya. Sekilas informasi bagi kalian yang membaca paragraf ini, Ibuku bersikeras memanggilku Mala sedari jiwaku hadir di tanah nusantara. Keren katanya, seolah menggambarkan anak perempuan yang jelita dan berani. Namun aku tak kalah keras juga untuk memilih nama panggilanku sendiri sejak menginjak usia lima.

Bumi, menurutku kakek tidak memberikan nama itu dengan cuma-cuma.
Bumi, menjadi rumah bagi jiwa kecilku yang masih terbata dalam mengeja dunia.
Bumi, beserta ragamnya yang tak letih memancing kagum akan pesonanya.

Aku bebaskan kalian untuk memanggilku bocah petualang setelah membaca rentetan kisah ini, sebab memang benar adanya. Aku lahir di desa yang cukup terpencil, di tengah pedalaman hutan yang superhijau dan asri. Sedari kecil aku selalu meyakini bahwa hijaunya akan abadi. Dalam simfoni alam raya milik ibu pertiwi.

Aku senang menjelajahi pesisir hutan yang memungkinkan untuk dikunjungi. Aku selalu bertanya pada Ayah tentang batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh aku tembus. Aku percaya dan senantiasa patuh pada perkataan Ayahku. Pasalnya, pekerjaan yang Ayah tekuni membuat pria paruh baya itu terus bersahabat dengan lebatnya pedalaman hutan sana. Aku selalu mengira-ngira apa yang dikerjakannya di dalam kawasan yang belum pernah nampak di mataku itu.

Setiap aku bertanya, Ayah akan mengusap kepalaku, sebelum bertutur, “Putriku... yang ayah kerjakan adalah sesuatu yang mulia, nak. Ayah harap kamu dapat meneruskannya nanti, ketika waktunya tiba.”

Kemudian aku mengerjap, mengangguk seolah paham, meski tutur kata Ayah membangun ribuan imajinasi di dalam kepala kecilku.

Pekerjaan mulia seperti apa yang Ayah kerjakan?
Apa aku bisa menjadi mulia seperti Ayah?
Apakah Ayah berperang demi mempertahankan umat manusia disana?
Ataukah Ayah menolong orang-orang yang tersesat di tengah hutan?

Apapun itu, Ayah selalu berhasil menjadi inspirasiku selama bertumbuh sebagai seorang manusia.

Aku sangat antusias setiap Ayah bercerita perihal makhluk yang ditemuinya di tengah hutan, dengan berbagai bentuk dan rupanya yang kian menambah rasa ini tahuku. Aku selalu menuntut agar Ayah mau mengajakku berjalan-jalan di hutan, agar ada yang bisa aku tanyai ketika aku penasaran tentang ini dan itu. Namun kesempatan itu baru aku dapatkan ketika aku menginjak usia 12 tahun.

Pagi buta itu, ketika matahari baru tampak pucuknya, Ayah membangunkanku secara paksa. Katanya, mau menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Aku lantas berjalan dengan gontai, mengekori Ayah yang langkahnya semakin cepat. Kemudian ketika aku sadar hijau sudah mendominasi sekelilingku, mataku terbuka lebar tanpa paksaan. Aku tiba-tiba berada di kawasan hutan yang belum pernah aku jelajahi sebelumnya.

“Apa ini area kerja Ayah?” Itu adalah pertanyaan pertama yang terlontar dari mulutku ketika aku sadar sepenuhnya.

Ayah menggeleng, “Area kerja Ayah jauh lebih dalam di jantung hutan, di perbatasan daerah dengan desa lain.”

Aku mengangguk meski tidak terlihat oleh Ayah, kemudian samar-samar terdengar gumaman kecil dari bibirnya, “Semoga disini aman.”

Meski tidak dapat kupahami, aku turut mengamini di dalam hati.

Kini kami sudah benar-benar berhenti berjalan, aku dan Ayah duduk di salah satu akar pohon tua yang tingginya tidak terkira. Ayah mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Aku mengenali benda itu, benda yang biasanya Ayah gantungkan di ranting pohon rambutan depan rumah. Benda itu memiliki kotak berisi bermacam biji-bijian. Biasanya akan ada banyak burung hinggap di atasnya, memungut satu persatu bili-bijian yang disediakan Ayah.

Benda itu ada empat jumlahnya, Ayah menggantungnya ke ranting pohon yang masih tergolong muda, kemudian beberapa lainnya dia sebar di sekitar area kami. Setelah itu, Ayah kembali duduk bersamaku, mengeluarkan sebotol air bersih, meneguknya, kemudian menawarkanku.

“Kita tunggu sebentar ya, Bumi. Nanti akan seru.”

* * * * *

Sudah lima belas menit berlalu, ketika suara ayam berkokok terdengar entah dari mana. Aku tidak mengerti bagaimana suara itu seolah benar-benar memulai hari di tengah hutan ini. Terlihat dari bagaimana mulai banyak burung beterbangan, tupai yang kuluar dari sarang, dan banyak penghuni lainnya yang menjalankan aktivitas hewaninya.

“Perhatikan, Bumi!” Ayah berseru setengah semangat.

Aku memperhatikan tempat makanan burung yang digantung Ayah satu persatu, berganti-gantian. Terlihat mulai banyak burung dengan beragam jenis yang hinggap di atasnya, memakan biji-bijian dengan semangat paginya yang luar biasa.

Aku merasa pupilku membesar, kotika aku mulai melihat spesies-spesies yang tidak pernah aku kenali sebelumnya. Semua paduan warna pada aves-aves itu sungguh memikat mata, coraknya sangat unik, aku terheran perihal bagaimana cara Tuhan melukisnya satu-persatu.

Ayah memandangku dengan antusias, seperti menunggu reaksi besar dari wajahku. Aku terlalu sibuk memandangi burung-burung itu, sampai ketika satu spesies unik hinggap disana, merenggut sepenuhnya perhatianku. Aku ternganga, menyadari indahnya tiap-tiap corak pada bulunya. Itu adalah spesies yang selama ini aku lihat di buku tematik IPA, ketika mempelajari keragaman hayati. Pantas saja aku dengan cepat mengenalinya!

Lantas Ayah tersenyum puas, tertawa setiap aku duduk dan berdiri, tak berhenti terkagum-kagum. Aku merasa seperti sedang belajar, di dalam ruang kelas yang lebih besar, dan lebih eksploratif. Kepalaku merekam semua jenis flora fauna yang ditangkap netraku, dan yang dijelaskan oleh Ayah tanpa aku harus bertanya.

Pagi itu adalah pagi yang kelewat Indah untukku.

Esok harinya, Ayah berangkat kerja seperti biasa. Dengan megecup dahiku, kemudian melengang pergi bersama tas ranselnya. Ayah dengan semangat paginya yang tak pernah luntur, berangkat bersama salah satu tetangga dengan profesi yang sama dengannya. Kemudian ketika tubuh pria paruh baya itu tak terlihat lagi, aku pergi mandi, bersiap untuk memulai hariku sendiri.

Di penghujung hari, aku dan Ibu terbiasa menunggu Ayah pulang, sambil membaca buku bersama atau sekedar berbincang tentang banyak hal, atau bahkan aku akan berakhir tertidur di atas karpet dan sudah berada di atas ranjang pada pagi selanjutnya. Namun malam ini, aku tidak akan menuruti skenario yang biasanya terjadi. Entah mengapa, aku tidak berminat untuk tidur barang sejenak. Sampai tengah malam tiba, kantuk belum juga menyerangku.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun