Begitu menerima email darinya, saya langsung membukanya dan jadi agak-agak merinding membaca CV lelaki, yang baru seumur jagung menjadi yayang saya ini. Bagaimana nggak merinding, file CV-nya yang berformat .doc itu saja sudah berukuran 200 KB sendiri: Font tahoma ukuran 10, sebanyak 5 halaman. Aiiiih... Belum lagi attachment referensi yang dimasukkan ke folder tersendiri, mencapai 9 MB. Wow.. keren! ^_^
Jadi, kemarin malam saya bilang, "Ampun deh, Daeng ni orang hebat, Sayang skill Daeng tu. Banyak yang butuh orang dengan kualifikasi Daeng. Kenapa ngga coba main di Pusat? Tidak seharusnya orang Makassar takut merantau kan? Hehehe.. Rada nekat lah sedikit, kayak kami, orang Padang." Begitu saya katakan, melalui Blackberry Messenger (BBM).
Mungkin agak tersinggung dia reply, "Heee.. di mana daerah yang tidak ada orang Makassar? Madagaskar saja bisa dilalui hanya dengan kapal phinisi yang kecil."
Membaca balasan sang Daeng saya jadi tertawa sendiri. "Hihihihi... Makanya, masa pelaut ulung kalah sama ahli masak?" saya tulis lagi begitu, dan dia menyahuti dengan emoticon tertawa.
Lalu tadi pagi, dia bertanya lagi, "Bagian mana di CV saya yang kelihatannya hebat? Nggak hebatlah itu. Biasa saja."
"Nah, begitulah kecenderungan manusia. Lupa menghargai dirinya sendiri. Sampai-sampai menganggap biasa kehebatan dirinya. Mungkin buat Daeng, itu biasa. Tapi buat orang lain, buat saya, luar biasa itu," jawab saya.
"Ah itu kan karena kita dekat," godanya.
"Aihhh.. kalau kita ni tidak dekat, maka saya tidak akan tahu sifat Daeng yang kadang terlalu merendahkan diri sendiri. Dan kalau kita tidak dekat, mustahil saya berani berkomentar begini kepada Daeng. Yang ada saya sudah mlipir duluan, kabur. Takut dianggap menggurui. Dianggap mengajari ikan berenang," sahut saya panjang. Terdengar ia terkekeh di seberang sana.
"Jangan saya terlalu diangkat atau dipuji. Saya takut malah jadi riya'. Saya terbiasa rendah hati. Itu sifat yang diturunkan mama saya," ujarnya.
"Sifat begitu bagus untuk pribadi, tapi kurang bagus untuk karier. Daeng harus membedakan bahwa unjuk kemampuan itu bukan riya', tapi being professional. Sekarang coba cara pandangnya digeser. Apa Daeng nggak kasihan sama company (perusahaan) atau Non-Government Organization (NGO) atau Perusahaan Modal Asing (PMA) meng-hire orang yang kurang cakap hanya karena mereka ngga tahu kalau Daeng sebenarnya orang yang lebih tepat dan lebih capable? Seharusnya mereka bisa meng-hire Daeng. Tapi karena Daeng enggan unjuk diri, jadinya mereka luput melihat berlian di depan mata," jelas saya.
Di ujung telepon, terdengar kekasih saya tertawa renyah. "Iya, saran diterima," katanya. Hmm.. :)
Jadi, KawaNina, berhentilah menganggap diri biasa. Di sepanjang karier saya, yang baru sekira 10 tahun, di media ini, memang seringkali saya menemukan hal serupa: sesuatu yang dianggap biasa oleh satu orang ternyata luar biasa buat orang lain.
Contoh lainnya adalah ketika saya bertugas ke Kabupaten Manokwari, Papua Barat, akhir November 2013 lalu. Waktu itu saya mencermati, kenapa ada pengendara motor yang menggunakan helm kuning berpelat di bagian belakang helm-nya. Saya pikir pemotor seperti itu hanya ada di Distrik Manokwari Timur, atau daerah Pasar Sanggeng. Tapi begitu kami meluncur di Jalan Trikora sampai ke SP I, banyak juga pemotor berhelm kuning yang berpelat ini.
Tergelitik, saya bertanya kepada Tenaga Ahli (TA) Pelatihan OSP 9 PNPM Mandiri Perkotaan Provinsi Papua Barat Ari Paputungan waktu itu, "Pak, itu pemotor pakai helm kuning berpelat itu ojek kah?"
"Jeli juga Bu Nina," sahut Ari Paputungan, "Betul, Bu. Mereka itu ojek."
"Oh? Menarik banget! Jadi kalau ojek itu khusus ya, pakai helm kuning. Lalu pelatnya itu, tanda paguyuban kah?" tanya saya lagi.
"Betul. Itu tanda bahwa mereka bukan ojek liar. Mereka ojek teregister dan menjadi tanggung jawab paguyubannya. Makanya di sini ojek itu dilindungi, tidak boleh dipukul apalagi sampai kecurian motornya, bisa langsung diusut oleh paguyubannya ke pihak berwajib," jelas Ari.
"Interesting!" gumam saya, takjub dengan sejujur-jujurnya ketakjuban, "Pak Ari, coba ceritakan, bagaimana supaya bisa jadi pengojek di sini."
Setengah berkelakar, TA Sistem Informasi Manajemen (SIM) OSP 9 Papua Barat Adnan Wahyudi, "Ah betul Bu, Pak Ari ini di sini punya pekerjaan sampingan mengojek. Jadi dia tahu persis bagaimana syarat-syaratnya." Mendengar itu saya tertawa geli. Orang yang dimaksud hanya tersenyum lebar.
"Jadi begini, Bu Nina, kalau mau jadi pengojek di Manokwari ini, kita daftar dulu ke paguyuban ojek. Deposit sebesar Rp400.000, kalau tidak salah ya, kemudian baru nanti dapat pelatnya. Semua pelat ini terdata dengan baik, ada nama, alamat dan nomor kontak. Jadi kalau ada apa-apa sama pengojek bersangkutan, bisa langsung diurus ke keluarganya," kata Ari.
"Helmnya? Beli sendiri?"
"Kalau helm, iya, beli sendiri," jawabnya.
"Harus kuning?"
"Begitu kesepakatannya," sahut ia lagi.
"Pelat nomor motornya juga tidak hitam ya?"
"Tidak, Bu. Karena mereka kan dianggap angkutan umum, jadinya pelat khusus juga," kata Ari.
"Fascinating!" gumam saya.
Hari berikutnya, di Manokwari itu saya berkesempatan memberi coaching (pelatihan) kilat--karena hanya 2 JPL saja--terkait jurnalistik kepada beberapa Senior Fasilitator dan Asisten Kota (Askot), baik Askot Infrastruktur maupun Askot Community Development (CD). Di akhir pelatihan, saya ungkapkan lagi soal: Jangan menganggap sesuatu dengan begitu ringan. Karena yang menurut kita biasa, bisa jadi luar biasa bagi orang lain.
"Salah satu contohnya yang saya lihat sendiri adalah di Manokwari ini. Saya melihat pemotor berhelm kuning dan berpelat. Kawan-kawan pasti tahu?"
"Iya, Bu, mereka itu ojek," sahut 2-3 orang Fasilitator, saling bersahutan.
"Nah, menurut kawan-kawan, luar biasa tidak itu?"
"Ah, biasa saja, Bu. Semua ojek di sini begitu. Apa istimewanya?" kata mereka lagi, berganti-gantian.
"Hmm.. Buat kami, di Jakarta, malahan mungkin di seluruh Jawa, tidak ada pengojek yang begitu terkoordinir seperti di sini. Mungkin ada, tapi saya belum pernah dengar. Yang jelas, di ujung Indonesia, di Papua Barat ini, meski tidak tersekspos dan tidak kedengaran santer sampai ke Jawa, eeeh ternyata ada! Keren pula, seragaman helm-nya. Ini kan luar biasa, kawan-kawan. Mungkin buat kawan-kawan, itu tidak istimewa. Tapi kalau ini diketahui orang-orang Jakarta, pasti mereka terkagum-kagum dan terkesan," tandas saya.
Begitu saya ucap begitu, langsung berbinar mata kawan-kawan pemberdaya Papua Barat itu. Mereka kaget juga bahwa di Jakarta saja tidak ada paguyuban yang me-register pengojeknya sebegitu rinci, plus mengenakan pelat khusus di helm, begitu juga dengan pelat nomor motornya.
Intinya, sekali lagi, jangan ragu mengungkapkan sesuatu hal yang kita anggap biasa, karena bisa jadi sesuatu hal itu sebenarnya luar biasa bagi orang lain.
Selamat ber-Fun Day Monday. Salam semangat!
*catatan: Fotonya menyusul yaa.. Saya bongkar-bongkar folder komputer kok nggak nemu nih. Hiks.. :'(