“Huuuuh, telor ceplok lagi…” Sambil bersungut-sungut mama menepis piring sarapan pagi yang kusodorkan padanya. “Gak ada yang lain apa?”
Aku terpaku sejenak. Tak langsung kujawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang muncul bukan baru sekali ini saja, tapi sudah seringkali. Kutumpuk kesabaran menghadapi sikap mama yang tak mau kompromi. Maka, kutarik sedikit sudut bibirku, hingga terhias sebuah senyuman untuk mama. Lakon yang harus kulakukan setiap hari. Tak peduli, entah sedang dalam kondisi macam apa suasana hatiku saat itu.
“Makan ya, Ma?” Sambil mengaduk nasi di piring itu, aku berusaha memujuknya. Kutahan beribu rasa yang berkecamuk di benakku. Hanya supaya mama mau mengunyah beberapa sendok nasi dan lauk terakhir yang kami punya di dapur hari itu.
Mama kembali menggeleng. Merengut. “Dasar anak bodoh! Mana mungkin aku makan telor ceplok ini! Aku pengen makan steak! Aku pengen makan shushi! Ah, kalau aja papamu masih ada, pasti dia gak akan ngebiarin mama makan makanan kayak gini!”