Rania yang semakin dewasa dan cantik datang ke acara reuni tersebut bersama seorang putri moleknya yang berusia dua tahun dan suaminya yang bernama Danang. Bahagia sekali aku melihat keluarga kecil itu, namun ada sebuah tanda tanya yang memenuhi benakku. Bukan karena perubahan statusnya dari seorang gadis menjadi nyonya, melainkan mengenai pasangan Rania sekarang. Laki-laki yang menjadi suami Rania sekarang adalah Danang bukan Vito, pacar Rania semasa kuliah, dan pertanyaan besarku itu terjawab ketika aku dan Rania janjian bertemu lagi di sebuah kafe setelah reuni itu.
Sore itu Rania diantar suami dan putrinya untuk bertemu denganku di kafe favorit kami waktu kuliah dulu untuk kongkow-kongkow. Jelas sekali suaminya sangat perhatian dan pengertian sekali karena memberikan ruang buat Rania untuk bernostalgia hanya bersama aku - sahabat lamanya - sebelum kami pulang ke kota masing-masing esok pagi. Selepas mengantarkan Rania, suami dan putrinya kembali ke hotel tempat mereka menginap.
Selama pertemuan itu aku dan Rania benar-benar melepas kangen dengan menceritakan kesibukan masing-masing selama ini dengan penuh canda tawa. Women's talk yang begitu semarak karena jelas sudah bertahun-tahun kami tak saling kontak. Pada satu moment, terlintas di pikiranku untuk menanyakan tentang apa yang terjadi dengan hubungannya dan Vito. Mungkin pertanyaan usil ini tak sepantasnya aku pertanyakan, tapi aku benar-benar penasaran. Entah bagaimana tiba-tiba Rania seperti bisa membaca pikiranku. Kamu penasaran kan kenapa aku gak 'jadi' dengan Vito? tukas Rania tanpa sungkan. Aku yang seperti di-'skak mat' cuma bisa mengangguk dengan wajah kebingungan.
Rania tampak santai mengisahkan semua. Entah dari mana awal ceritanya, namun aku terpaku pada satu titik yang membuatku hanya bisa melongo, tak menyangka bahwa itu pernah terjadi pada sahabatku dan gilanya selama bertahun-tahun mengenalnya dulu aku tak pernah tahu sedikitpun yang dialami oleh sahabatku itu. Rania benar-benar menyimpannya dengan sangat rapi !!
Ketika kami menginjak semester lima dulu, Rania mulai berpacaran dengan Vito, seorang mahasiswa simpatik yang aktif sebagai ketua di sebuah organisasi kampus di perguruan tinggi yang berbeda dengan kami. Wajahnya tampan dan sebagai mahasiswa berprestasi, banyak sekali yang kagum padanya. Namun dari sekian banyak cewek-cewek yang memujanya, Vito justru mencintai Rania yang sama sekali tak menyukainya. Dicuekin oleh Rania, Vito mati-matian mengejar Rania yang cantik dan ia benar-benar menunjukkan pengorbanannya dalam banyak hal demi mendapatkan hati Rania. Singkat kata, Rania yang polos itu akhirnya luluh juga dan ia menerima cinta Vito yang tampak bersungguh-sungguh padanya.
Rania bercerita, pada awal-awal mereka pacaran memang sudah tampak bahwa Vito agak pencemburu. Aku pun mengetahui itu, namun bila di depanku atau sedang menemani Rania jalan-jalan denganku, Vito tak pernah bersikap yang aneh-aneh pada Rania. Ia memperlakukan kami dengan cukup baik dan melindungi. Ternyata itu hanya kulit luar yang kuketahui, karena kini Rania menguak semuanya. Rania adalah seorang korban Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) !!!!
Kecantikan Rania menjadi seperti menjadi sebuah 'kutukan' untuknya waktu itu. Vito bersikap sangat posesif atau bersikap cemburu yang terlalu berlebihan. Bila Rania berpapasan dan sekedar saling menyapa dengan teman laki-lakinya di jalan, sesudahnya Vito pasti akan menanyakannya dengan sangat detil, memarahinya, lalu memakinya habis-habisan dengan kata-kata yang tidak senonoh, tentu saja tidak di depan orang banyak - karena mungkin takut pamornya akan turun bila diketahui orang-orang yang mengaguminya. Rania dan Vito memang hampir selalu bersama-sama, karena Vito yang sudah semester akhir punya banyak waktu untuk menemani Rania dalam banyak kegiatannya. Tanpa Rania sadari, Vito telah membuat sebuah 'benteng' yang membatasi pergaulannya dan Vito tampaknya ingin membuat Rania tergantung pada sosok Vito yang seolah-olah selalu ada untuknya. Kupikir itulah bentuk perhatian Vito terhadap Rania, meski sedikit banyak kehadiran Rania di kegiatan kampus sudah mulai jarang kelihatan, namun Rania selalu punya alasan untuk itu. Dengan bodohnya, aku juga tak mencurigai perubahan apapun, karena aku terlalu sibuk sebagai aktivis kampus sehingga tak memperhatikan lagi perbedaan sikap Rania.
Rania mengaku, dari hari ke hari sikap Vito semakin posesif saja. Setiap hari isi inbox ponsel Rania selalu 'diubek-ubek', kalau ada nomor hp yang tak dikenal masuk untuk menelepon atau sms yang kira-kira dicurigainya, Vito tak segan-segan membentak Rania. Bahkan pernah hal tersebut berujung pada dicekiknya leher Rania dan didorongnya kepala gadis itu hingga dahinya menyentuh lantai. Terkadang Rania memberontak dan marah, namun Rania yang berhati lembut itu selalu berhasil dipujuk dengan segala permohonan maaf dan janji Vito untuk takkan menyakiti Rania lagi. Vito selalu berdalih, bahwa apa yang dilakukannya karena ia sangat mencintai Rania dan takut kehilangan Rania. Vito juga mengaku bahwa sikap kasarnya memang sering terjadi di luar akal sehatnya. Ketika emosinya datang, ia langsung teringat dengan trauma masa kecilnya - yang sering dipukuli dan ditendang oleh ayahnya ketika ia berbuat salah. Kenangan pahit yang membekas itulah yang menjadi pembenaran buatnya untuk 'menghukum di luar kesadaran'. Rania bukannya tak menyadari bahwa ada yang salah pada kekasihnya. Vito 'sakit' secara mental! Bahkan Rania kadang bertekad untuk membawa pacarnya ke psikiater, namun lagi-lagi niat itu terpatahkan oleh sikap Vito yang kembali seperti anak kucing yang manis ketika amarahnya reda. Karena cintanya pada Vito pula, Rania menutup rapat-rapat 'kebusukan' kekasihnya itu selama 2 tahun mereka berpacaran. Ia berharap suatu saat nanti Vito akan berubah. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya tentang kekerasan yang berulang-ulang dilakukan Vito terhadapnya. Rania selalu bersikap seolah tak terjadi apa-apa di depanku maupun teman-teman yang lain, bahkan sampai kami wisuda dan berpisah pun Rania tak pernah menceritakannya hingga pertemuan kami kali ini.
Maaf, aku harus mengganti nomor hp-ku, karena waktu itu aku berusaha menghindar dari Vito. Aku benar-benar ingin menghilangkan kenangan burukku tentang Vito. Aku bersyukur juga ketika selesai wisuda, ayah dan ibu menyuruhku langsung kembali ke kota kami. Awalnya Vito tidak setuju dan berjanji akan segera melamarku, namun karena ia belum bekerja, orang tuaku kurang merespon keinginannya itu. Akhirnya aku pulang ke daerah asalku dan mendapatkan pekerjaan yang cukup baik di sana. Karena perbedaan jarak dan waktu itulah, yang membuat kami renggang, Vito pun seperti semakin ogah-ogahan untuk memperjuangkan aku. Akhirnya kami putus secara baik-baik. Meski sakit dengan keputusan itu dan berusaha sungguh-sungguh untuk melupakannya, kadang masih teringat juga perlakuannya yang kasar terhadapku. Setelah aku berpikir lebih dalam, ternyata ada hikmah di balik jalan takdir ini. Aku bersyukur karena meskipun kami sempat berpacaran, tapi aku tidak berjodoh dengan Vito. Mungkin kalau saja ia menjadi suamiku, entah jadi apa aku sekarang...., ungkap Rania sendu.
Aku termangu mendengar cerita Rania yang begitu menyentuh. Sebagai seorang sahabat, aku merasa 'ditampar' karena tak pernah sedikit pun menangkap gelagat-gelagat aneh seorang Vito yang telah menyakiti sahabatku itu. Aku sering mendengar atau membaca berita tentang kekerasan selama berpacaran, namun tak pernah terbayangkan sedikitpun kalau hal tersebut menimpa sahabatku, Rania.
Namun saat ini aku sangat bersyukur pada Tuhan, karena Dia telah menyelamatkanku dari marabahaya dan telah mempertemukanku dengan seorang lelaki hebat yang mencintaiku dengan sepenuh hatinya, dengan segala perhatian dan pengertiannya, dan penuh dengan tanggungjawab. Ia tak mempermasalahkan masa laluku dengan Vito, malah ia membantu menyembuhkan rasa traumaku akibat kekerasan itu. Ia tak pernah mengekang dan membatasi aku bergaul dengan siapapun, asal aku mampu bertanggungjawab dengan tak melupakan kodratku sebagai istri dan ibu. Ia benar-benar memberikan kepercayaan penuh dan justru sikapnya yang terbuka itulah yang membuatku merasa nyaman untuk selalu menjaga kepercayaan darinya. Ia melindungiku dengan caranya sendiri. Yang pasti selama pernikahan kami yang sudah berjalan tiga tahun ini, Mas Danang tak pernah bersikap kasar padaku apalagi menyakitiku. Saat inilah aku menyadari, mencintai seseorang itu seperti saat kau sedang bermain layang-layang, ada saatnya kau menariknya dan ada saatnya kau mengulurnya. Kalau kau terus-menerus menariknya dengan keras, bisa-bisa benangnya akan putus. Sebaliknya bila kau terus-menerus mengulurnya maka ia akan jatuh dan melayang entah kemana terbawa angin. Biarkan ia menari-nari di atas sana dengan indah, bila sudah pada saatnya, ia akan kembali padamu.
Ah, indahnya cinta yang kini dirasakan Rania. Jujur, rasa sesal yang sebelumnya menghinggapiku, kini berganti menjadi sebuah rasa bahagia karena sahabatku pun telah bahagia dengan suami dan putrinya tercinta.
Aku gak pernah menyesali dengan apapun yang telah terjadi padaku dulu, karena sebenarnya hidup sudah mengajarkan padaku bagaimana caranya menikmati rasa syukur.....
Ya, kini Rania semakin dewasa, melalui ceritanya ia mengajarkanku untuk menghargai diriku sendiri sebelum menghargai orang lain. Begitupun dengan cinta, cintailah diri kita sebelum kita mencintai orang lain, karena dengan begitu kita punya banyak cinta untuk dibagi... karena cinta itu tidak pernah menyakiti...