Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Artikel Utama

Foke, Jokowi, dan Pilkada Putaran II

4 September 2012   03:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:57 1911 4
Nama David M. Axelrod, konsultan politik asal Chicago, Illinois, Amerika Serikat (AS) mulai disebut-sebut di kalangan tim sukses calon Presiden RI akhir tahun 2008. Karena sistem dan strategi komunikasi politik Axelrod berhasil memenangkan Barack Obama, calon Presiden AS dari Partai Demokrat, sebagai Presiden AS pertama sejak tahun 1787, yang berasal dari keturunan Afrika-Amerika tahun 2008. Awal 2011, Axelrod menjadi arsitek strategi untuk kampanye pemilihan Barack Obama. (Ben Smith, 2008)

Axelrod memadukan strategi politik, media, dan kampanye untuk mengalahkan saingan Obama, John Sidney McCain III, Senator asal Arizona, yang merupakan calon Presiden AS dari Partai Republik tahun 2008. Sejak akhir 1980-an, Axelrod dilabel sebagai seorang “specialist in urban politics”. Bahkan majalah The Economist mencatat spesialisasinya di bidang “packaging black candidates for white voters”. (The Economist, 23/8/2008)

Untuk Barack Obama tahun 2008, Axelrod  merilis kampanye awal berupa video YouTube durasi 5 (lima) menit pada 16 Januari 2007. (Obama, Barack, 2007) Axelrod membuat iklan politik “presidential branding” untuk Obama berupa gaya “man on the street” untuk menciptakan keintiman dan keotentikan. Axelrod melibatkan volunteers dan media alternatif untuk melipat-gandakan partisipasi rakyat dalam pemilihan Presiden AS. (Tim Dickinson, 2008) Strategi ini sangat berbeda dengan strategi kampanye capres Hillary Clinton yang melibatkan donor besar, dukungan kuat dari pimpinan Partai Demokrat, dan tingginya name recognition.

Obama vs McCain

Sejak awal abad 20, Bernays meletakan dasar-dasar PR dan propaganda. Ia memadukan gagasan Gustave Le Bon dan Wilfred Trotter tentang psikologi massa dan paham psikoanalisa dari pamannya, Sigmund Freud. Bahwa libido, bukan hanya akal sehat, dapat mempengaruhi dan menentukan tindakan, perilaku, dan pilihan seseorang. Opini publik dapat dimanipulasi dan diarahkan. Hal ini dapat diterapkan di sektor bisnis dan kehidupan demokrasi bahkan untuk mobilisasi dukungan rakyat pada masa perang. (Bernays, This Business of Propaganda, 1928).

Teknik-teknik PR dan propaganda Bernays mulai diterapkan oleh Presiden AS Woodrow Wilson. Sejak itu, faktor chemistry diakui sebagai elemen penentu dari komunikasi antara manusia dan manusia-alam. Dalam prakteknya awal abad 21, kampanye John McCain dari Partai Republik, merujuk pada keyakinan bahwa pilihan dan perilaku politik seseorang adalah pilihan rasional.  Maka reaksi pikirannya diarahkan, misalnya, melalui pemahaman dan persepsi. Karena politik adalah “who gets what, when, how”—siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. Politik adalah pilihan rasional seorang atau kelompok orang. (Harold Lasswell, 1935)

Ada tiga kelemahan rumus chemistry-pikiran (lazim disimbol QR) tersebut di atas. Yakni errare humanum est atau lupa itu manusiawi. Maka impak penerapan rumusnya umumnya berjangka sesaat. Kelemahan lainnya, saat manusia tidur, pikiran juga istirahat dan risiko evil-thoughts yang dihasilkan oleh pikiran manusia. Akibatnya, pilihan politik yang dihasilkan oleh rumus ini biasanya instan dan terbatas. Bagi McCain, penerapan rumus ini dibayangkan sesuai dengan pemilih kulit putih yang umumnya rasional dan instan.

Sedangkan untuk capres Barack Obama tahun 2008, David Axelrod menerapkan rumus chemistry hati-pikiran sekaligus (lazim disimbol QR dan QZ). Patokan pilihan dan sikap seseorang dirangsang dari perasaan, kepedulian, pikiran, dan hati sekaligus untuk mendongkrak dan memobilisasi dukungan.  Hasilnya, reaksi dukungan terhadap Obama tahun 2008 sangat besar dan berasal dari spektrum luas masyarakat AS. Kedua rumus komunikasi ini menggunakan rumus terapan Vt. V adalah arus perubahan. Sedangkan “t” adalah waktu, yang merupakan patokan dasar pembuatan dan kerja sistem komunikasi. Tema utama kampanye Obama ialah perubahan dan waktunya adalah sekarang atau “Change. Now!” (Karen Tumulty, 2008)

Untuk mendorong perubahan melalui proses demokrasi, maka pilihan tokohnya ialan simbol atau representasi  “kelompok periferal” atau simpul-simpul masyarakat yang sangat lemah khususnya secara sosial-ekonomi. Dalam hal ini, pemulihan tata-sosial-ekonomi rakyat dimulai dari simpul-simpul paling lemah secara sosial-ekonomi.

Memadukan rumus QR dan QZ yang disertai Vt tersebut di atas bukan tanpa risiko. Di sisi lain, mobilisasi arus dukungan memang sangat besar. Namun, pilihan dan penerapan program kebijakan bisa saja serba tergesa-gesa. Janji-janji kampanye juga bakal ditagih oleh konstituen. Sebab penerapan rumus QR dan QZ menghasilkan pesan kampanye yang selalu memorabel. Oleh karena itu, umumnya penerapan kedua rumus komunikasi ini tanpa janji, tetapi pilihan-pilihan problem-solving untuk membangun harapan dan kepercayaan adanya perubahan.

Asal-usul rumus chemistry komunikasi tersebut di atas awalnya ditemukan oleh para filsuf atom pra-Masehi di Yunani. Ketika itu, para filsuf atom seperti Leucipus, Democritus, dan Epicurus telah menemukan intelijen atom atau pemecahan zat yang diurai dalam angka, huruf, dan konsonan berdasarkan gelombang bunyi. Misalnya, air diurai dalam rumus H2O dan seterusnya. Bukan tulisan huruf dan angkanya yang penting, tetapi bunyi gelombangnya untuk menghasilkan reaksi alam dan manusia, apakah saling senyawa atau saling tolak. (Wolfgang Demtröder, 2002)

Penerapan rumus-rumus alchemi tersebut di bidang strategi dan komunikasi politik pernah diterapkan oleh Joseph Gobels dan Adolf Hitler dari Jerman pada Perang Dunia II. Rumus dasar yang diterapkan ialah soul, body, dan mind—jiwa, raga, dan pikiran (lazim disimbol QO) untuk menghasilkan arus-dukungan kuat dari seluruh lapisan masyarakat dan alam lingkungan. Penerapannya, “corporate elite” (Nazi  Jerman) memanipulasi opini publik, libido manusia lebih dieksploitasi untuk mobilisasi dukungan rakyat selama perang. Hitler terilhami oleh Edward Louis Bernays, pionir dan arsitek propaganda serta peletak dasar ilmu PR pada Perang Dunia I untuk pemerintahan Presiden Woodrow Wilson asal AS. (Larry Tye, 1998; Scott Cutlip, 1994)

Hasil penerapan rumus itu pada awal Perang Dunia II,  Jerman mencatat kemajuan ekonomi sangat pesat, angka pengangguran rendah. Jerman mencatat keunggulan teknologi, militer, sains, dan disiplin sangat tinggi. Hitler yang semula berasal dari kelompok masyarakat periferal, dipuja-puji. Saat masih muda, Hitler memilih pola hidup bohemian di Wina (1905), bertahan hidup dengan melukis dan sales watercolors, hingga akhirnya tanpa rumah-hunian (1909). Di sisi lain, Jermanmenjadi super-power di Eropa yang mampu mendikte pemimpin sejumlah negara.

Namun, risikonya ialah sifat berutal manusia lebih menonjol karena tanpa kontrol akal sehatdan moral. Akibatnya, Jerman terseret pada Perang Dunia II dan akhirnya kalah. Rumus QO disilang P itu pun dihancurkan oleh Amerika Serikat dan sekutunya dan tidak pernah dipraktekan lagi sampai awal abad 21 ini.(Evans, Richard J., 2003; .Bullok, Alan. 1952; Hamann, Brigitte, 1999; Kershaw, Ian, 1999; Stackelberg, Roderick, 2007)

Jokowi vs  Foke

Gaya “man on the street” Obama tampak pada positioning dan branding awal cagub Joko Widodo (Jokowi) dengan baju kotak-kotak lengan panjang dan naik bis di Jakarta jelang Pilgub DKI putaran pertama. Label dan brand Jokowi seakan-akan merepresentasi warga Jakarta yang umumnya naik bis kota berdesak-desakan. Tercipta keintiman antara cagub Jokowi dengan warga Jakarta. Mirip dengan branding “man on the street” Barack Obama dalam video YuoTube.

Hasilnya, pada putaran pertama Pilgub DKI tahun 2012, arus dukungan untuk pasangan Jokowi-Ahok luput dari pantauan survei-survei. Seakan-akan betul apa yang ditulis oleh Scott Cutlip (1994, bahwa jika kekuatan yang tidak terlihat dalam proses politik, maka kekuatan itu adalah PR atau “the unseen power”. Seperti halnya rancang-bangun kampanye Obama, terlihat pula pesan perubahan (V) dalam kampanye pasangan Jokowi-Ahok, seperti melayani masyarakat melalui kantor di jalanan DKI Jakarta, perubahan layanan kesehatan masyarakat dan pendidikan rakyat di DKI. Tidak ada janji, kecuali pilihan dan tawaran problem-solving dalam paket program bernafas kerakyatan di DKI Jakarta.

Positioning, branding, dan strategi pasangan Jokowi-Ahok tersebut di atas membelah dua arus besar dukungan pada Pilgub DKI Jakarta putaran kedua 20 September 2012. Yakni arus pendukung perubahan vs arus dukungan kuat dari pimpinan partai dan tingginya name recognition. Seperti halnya strategi Axelrod, pasangan Jokowi-Ahok juga melibatkan skala luas volunteers dan media-media alternatif rakyat DKI Jakarta.

Pasangan Jokowi-Ahok minim memasang iklan di media korporasi. Kampanye perubahan mudah menyulut persatuan simpul-simpul “periferal” di DKI Jakarta ke dalam satu arus besar pilihan dan dukungan politik. Di sinilah identifikasi diri pasangan Jokowi-Ahok dalam Pilgub DKI tahun 2012, yang mirip dengan penerapan rumus QR dan QZ dari David Axelrod. Momentumnya ialah di DKI Jakarta saat ini, masih banyak zona periferal sosial-ekonomi yang belum terpantau sehingga sulit disentuh program pembangunan. Begitu pula, lahir zona-zona baru sosial-ekonomi hasil alih-fungsi lahan yang mempengaruhi dinamika masyarakat.

Sedangkan cagub Fauzi Bowo (Foke) sebetulnya memiliki name-recognition tinggi. Foke memiliki jejak-panjang membangun DKI Jakarta sejak tahun 1987. Foke meraih keahlian town-planning pada Technical University di Brunswick, Jerman, tahun 1976. Pada tahun 2000, Foke meraih gelar Doktor Ingenieur pada Universitas Kaiserslautern, Jerman. Maka wajar jika menjelang Pilgub DKI Jakarta putaran ke-2, cagub Foke meraih dukungan mayoritas partai politik seperti tahun 2007, ketika cagub Foke didukung oleh 19 partai politik.

Di sisi lain, kualitas dan kuantitas pelayanan publik di sektor kesehatan dan pendidikan DKI Jakarta masa Gubernur DKI Fauzi Bowo periode tahun 2007-2012, mengalami peningkatan yang nyata. Angka pengangguran turun. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) mampu menggerakan perekonomian di DKI Jakarta, Angka kemiskinan turun. Dengan kata lain, selama menjabat Foke telah mampu memberikan perubahan signifikan bagi Jakarta.

Track-record cagub Foke tersebut di atas seakan merupakan aset besar dalam strategi, PR, dan kampanye Pilgub DKI Jakarta pada putaran pertama tahun 2012. Misalnya, berulang-kali publik disuguhi oleh paket-paket pesan iklan dan visualisasi politik tentang kisah-sukses Foke melalui sejumlah media korporasi. Tayangan kampanye itu tanpa kekuatan perubahan dan difokuskan pada reaksi pikiran pemirsa (QR) dan audiens.

Akibatnya, harapan dan kepercayaan terhadap lahirnya perubahan jika cagub Foke terpilih, seakan-akan terpinggirkan dalam strategi kampanye. Padahal, ahli politik Samuel P. Huntington (1968) menemukan, bahwa kemajuan sosial-ekonomi masyarakat selalu melipat-gandakan tuntutan atau aspirasi perubahan. Apalagi, “urban politics” selalu identik dengan perubahan.  Maka tantangan bagi cagub Foke pada putaran kedua Pilgub DKI ialah modifikasi visi dan program perubahan untuk warga Jakarta dan lingkungannya.***

*Firman Yursak, Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia







KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun