Salah satu kelebihan Kompasiana adalah kita bisa mengetahui berapa banyak Kompasianers yang membaca tulisan kita. Selain itu, terkadang kita juga mendapatkan masukan yang tidak pernah melintas dalam benak kita pada saat merajut untaian kata-kata.
Namun, ada kalanya kita dihinggapi rasa malas sehingga ide-ide yang biasanya lancar mengalir mendadak sontak terhenti. Selain itu, terkadang karena kesibukan pekerjaan, kita tidak sempat meluangkan waktu untuk menulis. Apa dampaknya kalau kita berhenti menulis dan apa yang harus kita lakukan?
Sekali kita berhenti menulis, apalagi dalam kurun waktu yang lama, dapat menurunkan “refleks” kita dalam menuangkan kata-kata. Setidaknya itulah pengalaman yang saya alami. Beberapa bulan lalu, saya pernah diingatkan oleh seniorku di Kompasiana, dia bilang “Mas, tetap menulis ya!”
Oh my God...ternyata dia bisa melihat tanda-tanda kalau saya akan berhenti menulis. Dan memang benar, selama 4 bulan terakhir saya memang tidak pernah posting tulisan di Kompasiana.
Saran saya buat rekan Kompasianers, jangan pernah berhenti menulis! Seandainya kita sedang dihinggapi rasa malas, ataupun sedang dalam kesibukan yang luar biasa, sempatkan untuk tetap menulis walaupun hanya sekedar satu atau dua paragraf.
Dalam beberapa hal kita harus mencontoh bloggers terkenal seperti Paul Krugman. Krugman, ekonom handal dari AS, adalah orang yang super sibuk. Namun, dia selalu berusaha untuk memposting tulisan dalam blognya. Rupanya, seorang Krugman pun bisa “mati ide”. Di beberapa kesempatan, Krugman pernah mem-posting tulisan singkat yang hanya satu paragraf, dan bahkan hanya satu kalimat (lihat gambar).