Berbagai problematika social di Indonesia, dewasa ini terasa semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Padahal dunia pendidikan, khususnya formal, secara kwantitas meningkat mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Sikap individualistic merupakan di antara masalah kekinian yang cukup dirasakan oleh hamper di semua kalangan, termasuk di kalangan menengah ke bawah. Slogan “mangan ora mangan asal kumpul,” sekarang tak lagi pas. Sepertinya penafsiran kekinian yang lebih cocok mengenai keadaan social di Indonesia adalah “kumpul ora kumpul asal mangan.”
Realitas sikap individualistic masyarakat Indonesia tentunya paradoks dengan melihat fenomena semakin banyaknya jumlah perguruan tinggi di negeri ini, dari kampus-kampus kecil hingga besar. Lebih mirisnya lagi, dengan adanya kampus-kampus agama seolah bukannya memperbaiki keadaan social yang ada akan tetapi seolah terkesan ada upaya pembiaran hingga pembentukan ke arah itu. Hal ini seperti yang dirasakan oleh saya pribadi melihat kampus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, khususnya fakultas Adab dan Budaya.
Selama saya kuliah di fakultas Adab di UIN Jogajakarta ini, saya merasakan banyak hal yang tidak saja kurang memuaskan secara pendidikan, akan tetapi juga pelayanan dari para dosen dan pegawai tata usahanya (TU). Kebanyakan para dosen yang ada, saya merasakannya cukup elitis dengan mahasiswa, juga kurang produktif dalam hal kekaryaan maupun intelektualitas. Tentunya ironis, karena mereka bertindak di fakultas Adab yang memiliki makna cukup indah.
Adab adalah satu istilah bahasa Arab yang mempunyai beberapa makna baik ditinjau dari historis ataupun makna asalnya. Adab di samping mempunyai makna tata karma, sopan santun, tata cara, makna tersebut juga dipahami sebagai adab dalam kosakata bahasa Indonesia, adab juga mengandung arti kejujuran, menjaga amanat. Di fakultas Adab, di dalamnya terdapat jurusan Bahasa dan Sastra Arab, yang jika ditilik dari asal makna fakultasnya sendiri itu cukuplah pantas, karena adab juga mempunyai makna sastra, kata-kata indah lagi baik yang berefek terhadap jiwa. Juga, adab mempunyai arti pendidikan atau pengajaran sebagaimana hadits Rasulullah Saw, “addabanii rabbii fa ahsana ta’diibii,” yang artinnya “Tuhanku telah mendidikku, maka pendidikanku pun baik.”
Kenyataannya apa yang ada di fakultas Adab, UIN Sunana Kalijaga-Jogajakarta, masih sangat jauh dari makna indah fakultasnya sendiri. Seperti yang telah disinggung di atas, di fakultas Adab ini, saaat masih kuliah saya sering menemui kesulitan dalam mengurus birokrasi yang sehrusnya ditilik dari fungsinya mempermudah atau memperlancar. Dosen yang ada secara kreatifitas menurut saya lemah, khususnya dalam hal tulis-menulis. Sangat sedikit dosen-dosen di Adab yang mempunyai karya tulis baik yang masuk di media massa, jurnal dan terlebih lagi dalam bentuk buku. Selama ini, yang saya lihat hanya beberapa tulisan saja dari mereka, pun hanya masuk di jurnal fakultas saja yang tanpa ada ‘persaingan’ (teruji) secara kwalitas. Mirinya, dengan keadaan dosen yang seperti ini, dosen di fakultas Adab dan bahkan pihak yang bernaung di fakultas sangat minim, jika tidak di kata sama semakali, terhadap apresiasi mahasiswanya yang mempunyai karya. Memprihatinkannya lagi, dosen Adab yang semacam ini, jika di kelas umumnya terkesan lebih membanggakan dirinya yang di antaranya ditujukan dengan pemberian nilai buruk kepada mahasiswanya. Mahasiswa sebagai manusia yang sedang berproses menuju perbaikan, dengan adanya nilai buruk yang diberikan oleh dosen, pun secara proses akademik menjadi berhenti baik karena DO ataupun nilai rendah IPK membuatnya tak mampu melanjutkan ke jenjang berikutnya (S2). Akibatnya, “pintu tobat’ mahasiswa secara akademik menjadi tertutup.
Terkait dengan kurang apresiatifnya dosen Adab terhadap mahasiswa yang mempunyai kekreatifan atau karya tertentu, bisa saja karena dosen merasa iri sebab tak mampu berbuat seperti mahasiswanya, akan tetapi juga bisa karena dosen belum pernah merasakan atau melakukan suatu kekreatifan tertentu sehingga tidak mampu menilai kelebihan yang ada dari mahasiswanya. Apapun alasannya, dan kepada siapapun mahasiswanya, menurut saya tidak ada alasan seorang dosen “membunuh” akademik seorang mahasiswa yang sedang berproses menuju perbaikan akademis. Kebetulan, saya yang pernah menyelesaikan studi di fakultas Adab UIN Jogjakarta, belum pernah merasakan bagi saya pribadi perihal yang demikian, akan tetapi saya sering melihat kenyataan seperti yang saya tuangkan. Saatnya fakultas Adab, UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta ini memperbaiki dirinya. FF, alumnus yang mencintai almamaternya, fakultas Adab, khususnya jurusan Bahasa dan Sastra Arab, UIN Sunan Kalijaga-Jogjakarta.
Jogjakarta, Sabtu 26 Maret 2011