"Kita tunggu saja sampai esok. Kalau memang tidak ada yang berkurban, maka diputuskan tahun ini warga kita tak makan daging," ucap ketua panitia kurban, Pak Mahmud.
Tidak pernah terbesit dalam pikiran. Mengapa orang-orang kaya itu malah enggan mengeluarkan hartanya untuk dikurbankan sebagai bentuk rasa syukur, ikhlas, dan rasa solidaritas antar tetangga. Namun, toh, itu hak masing-masing pribadi. Berkurban atau tidak itu urusan mereka. Yang jelas semua harta kita akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Atau barangkali, orang-orang kaya itu berkurban di tempat lain yang lebih banyak orang miskinnya atau yang lebih banyak wartawan-wartawan yang menyoroti seberapa mahal dan gemuknya hewan kurban agar yang berkurban seolah-olah dipandang paling mampu.
Meskipun kebanyakan penduduk Desa Sumber Makmur kaya raya, tetapi masih ada beberapa penduduk yang memerlukan perhatian khusus. Sebut saja keluarga Pak Dullah yang sehari-harinya bekerja sebagai pemulung. Istrinya buruh cuci dan anaknya seorang buruh pabrik. Tidak ada yang istimewa untuk diceritakan tentang mereka. Tiap pagi bangun lebih awal untuk bekerja dan pulang larut malam. Akan tepi, mereka punya cita-cita bila suatu saat bisa berkurban dengan hasil jeri payah sendiri.
Mendengar kabar dari mulut ke mulut perihal tidak ada hamba Allah yang berkurban tahun ini membuat keluarga Pak Dullah tertegun. Padahal, orang-orang kaya itu sangat mampu bila berkurban tiap tahun. Tidak ada yang berkurban artinya tidak ada daging. Lebaran tahun ini akan terasa hampa tanpa aroma daging panggang dan gulai berkuah santan.
Menilik usianya yang makin tua, alangkah rugi bila belum berkurban. Begitu pikir Pak Dullah. Namun, melihat dari kaca mata ekonomi, memang ia belumlah mampu dan tidak ada kewajiban berkurban bagi orang yang tidak mampu. Hasil bekerja itu hanya cukup untuk makan sehari-hari. Sementara anaknya, Aji, hanya memiliki sebuah sepeda motor yang kerap dibangga-banggakan di depan para gadis dusun.
"Jika kita bisa kurban, pasti orang-orang kaya itu malu berat!" pekik Aji geram.
"Ssst!" sergah Ibu. "Berkurban itu ibadah, bukan untuk pamer!"
"Orang kaya tapi tak punya rasa solidaritas!" tuturnya bersungut-sungut.
"Ya, sudah, Ji. Kalau kau merasa mampu kurban, ya berkurbanlah! Niatkan ibadah, jangan pamer dan sombong."
Aji menelan ludah yang terasa pahit, mendapati realita bahwa dirinya kere. Modal kawin pun belum terkumpul dan masih keteteran mencari ke sana kemari.
Aji melirik sepeda motornya yang kinclong sehabis dicuci. Hanya itu harta yang ia miliki.
***
"Baiklah, bapak-bapak panitia kurban Desa Sumber Makmur yang saya hormati. Untuk tahun ini resmi tidak ada yang berkurban. Maka dari itu, untuk pendaftaran kita tutup. Sekian," ujar ketua panitia mantap pada sore hari sebelum lebaran.
Mereka pulang dengan dada yang terasa berat.
***
Allaahu akbar Allaahu akbar Allaahu akbar. Laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar wa lillaahilhamd
Di antara sayup-sayup suara takbir itu, tiba-tiba terdengar suara kambing menggembik.
"Ada kambing!" teriak anak-anak riang.
Seorang pemuda tampak menuntun dua ekor kambing ke pelataran masjid dibantu oleh seorang rekannya. Pemuda itu ialah Aji. Orang-orang menatapnya kagum. Aji seorang buruh pabrik, anaknya pemulung itu berkurban? Ya, mereka tak salah lihat.
Selepas salat Idul Adha ditegakkan, Aji mendudukkan kedua orang tuanya untuk menyaksikan penyembelihan dua ekor kambing itu yang memang atas nama orang tuanya. Tidak bisa dijelaskan bagaimana bahagia dan haru perasaan mereka.
Saat itulah, Aji menunjukkan bahwa berkurban ialah mengorbankan harta yang kita miliki, bukan menunggu harta sisa untuk dikorbankan. Meskipun ia tahu, esok harus jalan kaki atau ngojek untuk sampai ke tempat kerjanya.[]
Tanggamus, 02 Juli 2022