[caption id="attachment_149216" align="alignleft" width="300" caption="Rendy di kelas MBA ITB. (Dok. Rendy Aditya)"][/caption] Jujur saja, semula saya mengira kompasianer asal Bandung ini anak kuliahan. Aih, ternyata dia arsitek, sebuah profesi yang mengombinasikan ilmu seni dan teknik. Ia bukan hanya ahli bangunan, tetapi juga seorang profesional yang memahami pembangunan secara luas. Ya,
Rendy Aditya hampir berhasil mengecoh mata lamur saya dengan kerendahan hati dan kesantunannya. Baik dalam tulisan maupun ruang komentar, dia tak pernah tampak membusungkan dada. Senantiasa memosisikan diri sebagai masih belajar. Saya kenal anak muda ini 19 Maret 2010. Saat itu dia berkunjung ke lapak saya atas saran
Amalda, Kompasianer dari Bumi Laskar Pelangi. Di tulisan saya “
Judul-Judul Menyesatkan” itu, pemuda kelahiran Bandung 26 Desember 1985 ini menuang komentar:
Mas Firman, salam kenal. Saya baru saja disarankan oleh sahabat kompasianer Mbak Amalda untuk mengunjungi Mas. Ternyata ini tulisan yang dimaksud. Saya ingin mengaku, hari ini baru saja membuat sebuah tulisan yang menurut beberapa teman masuk kategori yang Mas Firman maksud… Sejak itu saya mengikuti dan mengamati tulisan anak tengah dari tiga bersaudara yang semuanya lelaki ini. Bergabung di
Kompasiana sejak 17 Maret 2010, Rendy sudah memosting 53 tulisan. Modusnya filsafat, 8 tulisan. Selebihnya tersebar ke dalam banyak topik, antara lain sosbud, muda, prosa, buku, newmedia, politik, dan ekonomi. Saya selalu terkagum membaca postingan pemuja berat
Pungky ini. Tulisannya menggambarkan cara berpikirnya yang sistematis. Rendy menguasai banyak kosa kata sebagai buah kegemarannya menguliti buku. Tulisannya pun enak dibaca karena dia pandai memilih kata yang tepat. [caption id="attachment_149217" align="alignright" width="300" caption="Rendy bersama teman teman Arsitektur Unpar. (Dok. Rendy Aditya)"][/caption] Menulis memang bukan barang baru bagi pehobi bersepeda, badminton, membikin film pendek, membaca, menonton film, dan bermain musik ini. Semasa sekolah di SMAN 2 Bandung, Rendy bersama teman-temannya mendirikan majalah dinding
Inspirasi Visual (
In-Vi). Dia lahir di keluarga muslim dari pasangan Wachid Usman-Fauziah Isma. Ayahnya yang Jawa seorang pegawai BUMN pertambangan. Sedangkan ibunya yang melayu dikenal sebagai aktivis LSM yang bergerak di isu perempuan dan anak. Saat SD, Rendy harus berpindah-pindah sekolah karena mengikuti penempatan tugas ayahnya. Setiap dua catur wulan, pasti pindah sekolah. Maka, berbagai daerah di Kepulauan Riau seperti Dabo, Singkep, Kundur, dan Karimun menjadi tempatnya menetap. Dia juga pernah tumbuh di Jebus, Belinyu, Sungailiat, dan Pangkalpinang, Provinsi Bangka Belitung. Tetapi sejak SMP hingga sekarang, dia dan keluarganya menetap di Kota Kembang, Bandung. Setamat SMA, pada tahun 2003 Rendy kuliah di Jurusan Arsitek Fakultas Teknik Universitas Parahyangan. Sembari kuliah, dia sesekali menulis di
Media Parahyangan, majalah kampus Unpar. Pada tahun 2007, dia meraih gelar arsitek dari universitas swasta paling bergengsi di Jawa Barat itu. Sejak itu dia berprofesi sebagai arsitek, juga sedang memulai beberapa bisnis kecil, seperti tempat kos,
print station, dan kafe. Keingintahuan Rendy dan semangatnya belajar memang dikenal besar. Maka, pada tahun 2008 dia kuliah lagi di Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB). Pemuda ini sedang menggarap tesis untuk memperoleh gelar MBA (
magister of business administration) dari sekolah bisnis terbaik tahun 2009 itu. [caption id="attachment_149218" align="alignleft" width="300" caption="Diapit kakak dan adiknya di samping patung spink, Mesir. Yang badannya paling besar justru si bungsu, adiknya. (Dok. Rendy Aditya)"][/caption] “Jangan mempelajari segalanya tentang sesuatu, tapi pelajari sesuatu tentang segalanya. Dengan demikian terbuka kesempatan untuk belajar lebih banyak lagi…” Demikian moto pemilik zodiak Capricorn ini. Sebuah falsafah hidup yang cukup unik. Persis seperti jurnalis, dia ingin menjadi generalis. “Tidak tajam, tetapi berusaha selalu menyebar. Sehingga saya tidak tinggi memuncak seperti gunung, tetapi meluas seperti laut,” kata dia. Ah, Rendy memang senang filsafat. Saat ini dia aktif di Modern Asian Architecture Network (
MAAN). Ini organisasi international tempat berbagi dan berkoneksi para arsitek di Asia. Rendy pernah ikut menulis buku “
Rumah Silaban” yang diterbitkan wadah ini. Selain itu, Rendy juga anggota The International Committee for the Conservation of the Industrial Heritage (
TICCIH). Sebuah organisasi internasional untuk arkeologi industri dan warisan industri. Tujuan lembaga ini mempelajari, melindungi, melestarikan, dan tetap menjelaskan industrialisasi. Sedangkan di tingkat lokal, selain aktif menulis di
Kompasiana, Rendy menjadi kontributor tetap di
ruang.raung online. Ini media fotokopian berisi kumpulan artikel, komik, dan ilustrasi, yang diproses secara independen. [caption id="attachment_149219" align="alignright" width="300" caption="Saat menjadi ketua Malam Keluarga Arsitektur Unpar. (Dok. Rendy Aditya)"][/caption] Ada kabar baik bagi Kompasianawati yang masih jomblo. Sudah berumur 24 tahun dan relatif mapan, Rendy belum punya pacar. Dia mengaku, pernah pacaran lima tahun. Tetapi jalinan itu harus putus gara-gara perbedaan agama. Mereka sepakat tak melanjutkan hubungan dan memilih berteman baik saja. Pemuda ini boleh dibilang punya aktivitas segudang. Kecuali sibuk menyelesaikan tesis S2, menerima pekerjaan arsitektur, dan menjalankan bisnis, Rendy diburu seabrek kegiatan lain. Dia sedang menulis buku anak untuk dipublikasi sendiri, juga tengah mengerjakan
workshop desain arsitektur bersama anak-anak SD Sekolah Alam Bandung. Sejak tahun 2007 Rendy menjadi Koordinator Studio Habitat Indonesia. Ini organisasi nirlaba yang dia jalankan bersama teman-teman sesama arsitektur. Tujuannya membantu masyarakat menengah ke bawah mendapatkan rumah yang sehat, nyaman, dan terjangkau. Lewat lembaga ini, Rendy sedang bergiat merampungkan buku “
Rumah Rakyat”. Kerja sosial bersama Studio Habitat Indonesia merupakan panggilan hatinya. Dia menyadari betul risikonya: tidak menerima bayaran, melelahkan, dan penuh beban. Ini kerja-kerja menolong orang. Pelakunya bisa siap manakala sudah mampu menolong dirinya sendiri. Itu sebabnya, bujangan ini membuka kantor konsultan arsitektur dan mengerjakan proyek-proyek rancang bangun, serta membuka usaha kecil lain. Semua itu demi menguatkan ekonominya agar bisa menolong orang lain itu. Selamat berjuang Ren! Salam Kompasiana
Catatan: Saya membikin profil ini dengan setengah tak lepas. Terus terang saya grogi. Sebab, sedang menulis tentang orang yang jago menulis. Ah, semoga hasilnya tidak jelek-jelek amat.
KEMBALI KE ARTIKEL