[caption id="attachment_129220" align="alignleft" width="300" caption="Wahyu Ningsih, si pandai yang tak lulus UN, lalu bunuh diri.... (Dok: Dimas AP/Lampung TV)"][/caption] Saya memang kadang terbawa perasaan, setiap menyunting naskah berita kiriman kawan-kawan wartawan. Emosi segera menaik kalau berita itu bercerita tentang ketidakadilan. Ikut sedih dan nafas menjadi sesak manakala yang dilaporkan itu kisah duka. Emosi saya juga terbawa ketika Selasa malam kemarin membaca berita kiriman Dimas Agoes Pelaz, wartawan kami yang bertugas di Jambi. Dia melaporkan seorang siswi SMK Negeri 3 Muaro Jambi, bunuh diri dengan menenggak herbisida. Wahyu Ningsih, demikian nama pelajar ini, nekat mengakhiri hidupnya gara-gara tak lulus Ujian Nasional (UN). Kepala saya mendadak pening membaca tragedi kemanusiaan ini. Sebab, sebagai jurnalis saya sudah sering menulis tentang perlunya menghapus UN. Alat untuk menilai seorang siswa lulus sekolah atau tidak itu sudah banyak bukti punya implikasi buruk. Bukan hanya kepada siswa, tetapi juga bagi nasib pendidikan kita. [caption id="attachment_129224" align="alignright" width="300" caption="Jenazah Ningsih diusung keranda menuju rumah abadinya.... (Dok: Dimas AP/Lampung TV)"][/caption] Sebelum bunuh diri, Ningsih terus menangis di sekolah setelah tahu tidak lulus UN. Oleh gurunya, remaja 18 tahun inipun diantar pulang ke rumah. Di tengah jalan, dara ini sempat berusaha bunuh diri dengan terjun ke Sungai Batanghari. Tak lama di rumah, dia malah menenggak herbisida. Orangtuanya terkejut melihat remaja ini menggelepar dengan mulut mengeluarkan busa. Orangtuanya segera membawa Wahyu Ningsih ke rumah sakit. Tetapi, malang, dalam perjalanan dia keburu mengembuskan nafas terakhir. Jenazah remaja putri ini dikebumikan kemarin, Selasa 27 April, di permakaman umum Desa Kemingking, Kecamatan Muara Sebo, Kabupaten Muaro Jambi. Sejumlah teman dan guru, mengantar jenazah siswi ini ke peristirahatan abadinya. [caption id="attachment_129226" align="alignleft" width="300" caption="Sarah: Ningsih sebetulnya murid pandai. (Dok: Dimas AP/Lampung TV)"][/caption] Sarah, seorang temannya, menuturkan Wahyu Ningsih sebenarnya anak yang baik dan pintar di sekolah. Dia nekat bunuh diri karena takut dimarahi orangtuanya karena tidak lulus UN. Sebelum bunuh diri, Ningsih sempat mengirimkan pesan melalui SMS kepada Sarah supaya menjelaskan kepada orangtuanya perihal dia tak lulus UN. Ningsih memang anak pandai. Untuk pelajaran bahasa Indonesia, nilainya paling tinggi di sekolah. Tetapi, dari semua siswa SMKN 3 Muaro Jambi, cuma dia yang tak lulus UN. Tragedi Ningsih ini semoga bisa melunakkan hati pemerintah untuk meninjau sistem UN yang setiap tahun membikin siswa depresi itu. Kita tak ingin ada Ningsih-Ningsih lain demi sebuah kebijakan yang tak jelas manfaatnya bagi peningkatan mutu pendidikan nasional. [caption id="attachment_129227" align="alignright" width="300" caption="Para guru turut melayat ke rumah duka. (Dok: Dimas AP/Lampung TV)"][/caption] Entah sudah berapa orang mengingatkan pemerintah agar menghapus ujian nasional. Sistem ini dianggap tidak baik, merugikan siswa, dan merampas kewenangan guru yang mestinya sebagai pihak penilai. Tetapi pemegang otoritas ini tak pernah sudi mendengar. Selalu berkukuh bahwa itulah cara paling jitu mencetak manusia unggul di tanah air. Lewat cara ini pula, mutu pendidikan secara nasional bisa diukur. Sungguh sebuah simplifikasi terhadap proses pendidikan. Keberhasilan seorang siswa hanya diukur dari seberapa banyak dia bisa menjawab soal pilihan berganda. Betapa naifnya! Sistem ujian nasional juga menggambarkan, pemerintah gagal memahami perbedaan antara penilaian mutu nasional dan ujian umum. Uji mutu nasional biasa dipakai sebagai peta guna membantu pemerintah memperoleh informasi kualitas pendidikan secara umum. Selanjutnya, gambaran itu dijadikan landasan mengambil kebijakan. Sedangkan ujian umum tujuannya menyeleksi siswa untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Wujudnya adalah sertifikat atau ijazah kelulusan. Dari perspektif itu, ujian nasional adalah uji mutu nasional. Ia hanya menjadi peta mutu pendidikan. Tetapi, oleh pemerintah, ujian nasional ini dihunus untuk menentukan lulus tidaknya siswa. Pemerintah telah merampas apa yang menjadi kompetensi guru dan sekolah. Kalaupun pemerintah hendak mempertahankan program Ujian Nasional, maka metode ini wajib dikembalikan pada tempatnya. Biarlah ia menjadi sekadar peta mutu pendidikan nasional. Bukan sebagai eksekutor bagi lulus tidaknya siswa. Hasil UN sama seperti Nilai Ebtanas Murni pada masa lalu. Yakni, untuk mengetahui mutu setiap sekolah, diukur dari kemampuan para siswanya menjawab soal ujian. Dari peta itu berbagai perbaikan menjadi lebih mudah dilakukan. Tulisan ini dibuat dalam menyambut Hari Pendidikan Nasional 2 Mei mendatang. Mudah-mudahan perayaan itu menjadi momentum bagi kita semua untuk membenahi arah pendidikan di Tanah Air. Bahwa, pendidikan tidak semata-mata untuk menempa kemampuan akademik. Lebih dari itu, ia menjadi sarana meninggikan budi pekerti. UN jelas tidak akan mampu menjadi alat melatih pekerti!
Baca juga tulisan saya sebelumnya: 1. UN, Bukti Pemerintah Tak Sudi Mendengar 2. Cermin Retak Ujian Nasional
KEMBALI KE ARTIKEL