[caption id="attachment_95391" align="alignleft" width="300" caption="Monyet ekor panjang, satwa utama Suaka Margasatwa Muara Angke"][/caption] Kawasan Suaka Alam (KSA) Muara Angke sedang meratap. Hutan mangrove di Penjaringan, Jakarta Utara ini, saban hari diserbu sampah, terutama aneka limbah plastik. Maklum saja, kawasan konservasi ini merupakan hilir akhir Kali Angke, induk dari 13 sungai di Jakarta. Air Ciliwung, Cisadane, serta Banjir Kanal Barat, mengalir ke sungai keruh sedalam 7 meter itu. Sampah plastik dipercaya menjadi salah satu penyebab kerusakan satu-satunya hutan mangrove yang tersisa di Ibukota. Limbah tak bisa terurai itu tersangkut di akar-akar bakau, memutus pasokan oksigen, dan membunuh vegetasi pantai. Hutan Mangrove Muara Angke memang menyedihkan. Saat ini, dari 25,02 hektare luasnya, hanya sekitar 25 persen yang tertutup pohon-pohon bakau. Sebagian besar berubah menjadi rawa terbuka yang ditumbuhi rerumputan, gelagah, dan eceng gondok. Laju kerusakan hutan mangrove Muara Angke berlanjut dari waktu ke waktu. Pada masa lalu, pemerintah Hindia Belanda menetapkan kawasan ini sebagai cagar alam. Lalu, pada tahun 1960 pemerintah kita memperluas cagar alam ini dari semula 15,04 hektare menjadi 1.344,62 hektare. [caption id="attachment_95392" align="alignright" width="300" caption="Sampah, gelagah, dan eceng gondok yang sulit dibasmi"][/caption] Ya, dulunya kawasan ini cagar alam. Yakni, suatu daerah yang punya kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistem, sehingga wajib dilindungi. Akan tetapi, oleh sebab pembangunan, daerah konservasi ini rusak. Keanekaragaman hayatinya berkurang, luasannya juga menyempit. Satwa-satwa endemik, hanya hidup di daerah tersebut, banyak yang punah. Seperti kucing bakau, burung cerek jawa, dan bubut jawa. Bangau tong-tong juga tidak pernah lagi ditemui di kawasan ini. Reklamasi pantai yang menggila di utara Jakarta serta alih-fungsi lahan, menjadi penyebab utama kerusakan kawasan Cagar Alam Muara Angke. Kekhasan kawasan inipun hilang. Satwa dan tumbuhan di sana yang bersisa hanyalah yang juga bisa ditemui di banyak daerah di Indonesia. Maka, pada tahun 1998, dengan terpaksa pemerintah mengubah atau tepatnya menurunkan status Muara Angke dari cagar alam menjadi suaka margasatwa. Tentu saja dengan luasan yang menciut dari 1.344,62 hektare menjadi tinggal 25,02 hektare! [caption id="attachment_95394" align="alignleft" width="300" caption="Gedung-gedung dan aktivitas manusia mengepung Muara Angke"][/caption] Padahal, dulu pemerintah Hindia Belanda menetapkan hutan bakau Muara Angke sebagai kawasan konservasi untuk melindungi daratan dari intrusi dan abrasi. Lalu, banjir kanal barat dibangun pada tahun 1922 dan airnya dialirkan ke Kali Angke yang kala itu berbadan besar. Jadi, Muara Angke adalah kawasan pengendali banjir sejak Indonesia belum merdeka. Kini, Muara Angke boleh disebut sebagai suaka margasatwa tersempit di dunia. Bahkan, luasnya tidak sampai seperempat kawasan Monas. Tetapi, harapan besar disandangkan ke wilayah di bibir pantai utara Jakarta ini. Hutan bakau yang masih tersisa itu, menjadi perisai bagi Ibukota dari ancaman abrasi, intrusi, bahkan tsunami. Juga menjadi laboratorium alam bagi peneliti tanaman, hewan, dan ekosistem di sana. Suaka Margasatwa Muara Angke menjadi sejumput jamrud yang masih tersisa. Ruang terbuka hijau ini membentang dengan ringkih dan tidak terjamin masa depannya. [caption id="attachment_95395" align="alignright" width="300" caption="Bakau pidada, vegetasi dominan hutan mangrove Muara Angke"][/caption] Kawasan yang berdampingan dengan Perumahan Pantai Indah Kapuk ini, diapit jalan dua jalur di depan kompleks ruko Niaga Mediterania dan Kali Angke. Rumah-rumah kumuh nelayan Muara Angke berjajar di sepanjang tepi Kali Angke. Terancamnya Suaka Margasatwa Muara Angke, susah disangkal, bermula dari kekurang-mengertian masyarakat, juga pemerintah, mengenai fungsi ekologis kawasan tersebut. Sampai hari ini, banyak warga menyangka, suaka alam ini hanyalah tempat wisata biasa, sama seperti Ancol atau Ragunan. Yakni, taman rekreasi yang boleh dimasuki siapapun dengan bebas. Padahal, ia bukan objek wisata, melainkan kawasan konservasi. Kalaupun menjadi tempat melancong, maka ia adalah wisata ekologi. Suaka Margasatwa ini dikelola Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI. Untuk masuk tempat ini pengunjung wajib mengantongi Simaksi (surat izin memasuki kawasan konservasi). Tujuan menjejakkan kaki di sini juga mesti jelas, yakni berhubungan dengan pendidikan konservasi dan lingkungan hidup. Di tengah kemeranaannya, Muara Angke memang masih bisa disebut sebagai laboratorium alam yang penting. Ia menjadi habitat aneka jenis burung dan satwa lain. [caption id="attachment_95396" align="alignleft" width="300" caption="Plang di pintu masuk Suaka Margasatwa Muara Angke"][/caption] Putri Ayusha, relawan Jakarta Green Monster (JGM), menyebutkan di suaka alam ini masih ada sekitar 91 jenis burung. Yakni 28 jenis burung air dan 63 jenis burung hutan. Sekitar 17 jenis di antaranya dilindungi. Berang-berang juga masih hidup di kawasan ini. Tetapi mamalia pemakan ikan dan aneka hewan air ini jarang terlihat karena dia
nocturnal, aktif pada malam hari. Berbagai jenis reptil juga menghuni Suaka Margasatwa Muara Angke. Seperti biawak, ular sanca kembang, ular kobra Jawa, ular welang, ular kadut belang, ular cincin mas, ular pucuk, dan ular bakau. Bahkan, warga pernah menemukan buaya muara di kawasan ini. Tetapi, dari semua itu, monyet ekor panjang (
macaca fascicularis) merupakan satwa yang paling menonjol di sana. Mereka memakan pucuk daun dan buah bakau pidada. Primata ini punya peran penting karena membantu penyebaran tumbuhan. [caption id="attachment_95398" align="alignright" width="300" caption="Permukiman kumuh nelayan Muara Angke di bantaran Kali Angke di seberang hutan mangrove"][/caption] Itu sebabnya, pengunjung dilarang memberi makan hewan yang biasa dieksploitasi dalam pertunjukan topeng monyet tersebut. Agar, satwa yang anatominya mirip manusia ini tidak beralih kebiasaan makannya sehingga terus menjadi penyemai bakau yang andal. Populasi hewan berbulu kelabu ini, juga diketahui terus menyusut. Beberapa tahun lalu masih ada ratusan ekor. Sekarang hanya tersisa 4 kelompok, masing-masing beranggotakan 7 sampai 13 ekor. Pola makan satwa jenaka ini sudah berubah. Mereka tidak hanya memakan daun muda dan buah-buahan hutan. Tetapi sudah sering tampak mengais sampah plastik untuk mencari sisa-sisa makanan di limbah. Saat ini, manusia di seluruh penjuru dunia sedang hirau kepada perubahan iklim dan pencemaran lingkungan. Banyak orang mulai muncul kesadarannya akan arti penting melestarikan alam. Kecenderungan positif itu, boleh diharap menjadi jalan masuk bagi upaya lebih serius memulihkan Muara Angke. Agar kawasan ini kembali berfungsi sebagai ekosistem perlindungan flora dan fauna, sekaligus benteng kokoh Jakarta dari intrusi, abrasi, dan banjir. Bandarlampung, 17 Maret 2010
KEMBALI KE ARTIKEL