[caption id="attachment_78956" align="alignleft" width="300" caption="Sang Seniman Intelek"][/caption] Semakin lama di
Kompasiana, saya kian tahu betapa banyak orang istimewa di blog keroyokan ini. Manusia-manusia yang luar biasa karena punya segudang talenta. Satu orang yang cukup menyedot perhatian saya adalah Kompasianer dengan nama profil
Ouda Saija. Lelaki yang selalu menyapa dengan hangat setiap kawan dalam komentar-komentarnya ini bernama lengkap
Ouda Teda Ena. Ini asli, bukan nama pena. Sebab, di daftar dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, tempatnya mengajar, nama itulah yang tercatat. Semula saya menyangka dia pakai nama samaran berbau Jepang. Padahal, asli, dia orang Yogya. Bahkan, sangat Jawa untuk ukuran orang yang kenyang menikmati kehidupan Barat. Bagi publik Yogya dan kalangan seniman di Tanah Air nama Ouda Teda Ena tidaklah asing. Dia merupakan seniman besar di Kota Pelajar. Pada Agustus 1997, bersama sejumlah seniman, dia mendirikan Kelompok Seniman Pinggiran (Sepi). Sebuah perkumpulan yang beranggotakan banyak orang dari berbagai latar belakang dan masih eksis sampai sekarang. Kelompok Sepi sering menggelar pameran lukisan, baik di dalam maupun luar negeri. Lalu, pada tahun 2005, bersama Budiyana dan Yundhi Pra, dua perupa anggota Kelompok Sepi, Ouda mendirikan Mpat Art Studio. Dari markasnya di pusat Kota Yogya, tiga seniman ini berkerja dan menghasilkan banyak karya. [caption id="attachment_78958" align="alignright" width="160" caption="Ouda melukis di Greens Cafe Australia, Februari 2009"][/caption] Ouda juga ahli dalam satu bidang seni yang tergolong langka: seni instalasi. Lelaki kelahiran tahun 1970 ini mahir memasang dan memadukan sejumlah barang menjadi satu kesatuan yang indah dan bermakna. Selain seniman, gelar intelektual juga wajib disematkan kepada Kompasianer yang mampu menulis indah ini. Tahun 1997 dia menamatkan kuliah di Jurusan Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, lalu menjadi dosen di almamaternya ini. Gelar Master English Education, dia raih dari Universitas Negeri Malang tahun 2005. Ouda jelas seniman yang intelektual. Dia masih bisa menyisipkan waktu untuk menulis buku dan mengikuti berbagai seminar di dalam dan luar negeri. Padahal, waktunya sudah cukup tersita untuk menunaikan kewajiban mengajar bahasa Inggris, melukis, dan pameran lukisan. Dia sudah sering menjadi dosen tamu di Australia, seperti di Monash University dan Cowan University. Bahkan, di Monash University Ouda mengajar dan mengembangkan bahan pembelajaran interaktif. [caption id="attachment_78959" align="alignleft" width="300" caption="Ouda dalam sebuah seminar di Fukuoka, Jepang"][/caption] Kini, Kompasianer
multi-talent ini sedang mengambil gelar doktor sastra Ingris di Loyola University Chicago, Amerika. Dia mendapat beasiswa dari Dirjen Dikti untuk kuliah di perguruan tinggi Katolik Jesuit yang mendedikasikan diri kepada ilmu pengetahuan di bidang pelayanan kemanusiaan itu. Selama Ouda di Negeri Paman Sam, istrinya tetap di Kotabaru, Yogyakarta. Menunggu dengan setia sang suami pulang ke Tanah Air dengan isi kepala yang bertambah. Mereka belum dikaruniai buah hati. Satu hal yang membuat saya terkagum-kagum kepada sosok satu ini adalah kemampuannya menulis. Pada “Hampir Chairil” yang dia publikasikan di
Kompasiana 1 Februari 2009, Ouda menulis paragraf pembuka: [caption id="attachment_78960" align="alignright" width="209" caption=""Hujan Strika di Negri Orang" karya Ouda dipamerkan di Bentara Budaya, Jakarta, Juni 2008"][/caption]
Rambutnya dibiarkan berjuntai, memakai kaos oblong putih bermerek Jupiter, bersandal jepit, bersarung. Duduk jegang
, dengan satu kaki diangkat ke kursi. Kopi kental tak bergula disandingnya. Rokok kretek keras yang berasap tebal dikepul-kepulkan dari mulutnya. Disapanya kaca cermin kecil pada dinding yang menguning catnya: “Aku hampir Chairil Anwar.” Ditirus-tiruskanlah pipinya, dan dicekung-cekungkan matanya. “Aku hampir Chairil Anwar.” Kata yang dia pulung dan kemudian dirangkainya menghasilkan kalimat deskriptif. Sebuah teknik menulis yang bahkan banyak wartawan senior tidak menguasainya. Saya selalu hanyut dan seolah terlibat di dalam cerita yang dia bangun. Ouda memang seniman yang intelektual. Catatan:
- Tentu, dengan kaliber seperti itu, nama Ouda Teda Ena sudah dikenal banyak orang. Maka tulisan ini saya sasar kepada mereka yang selama ini penasaran kepada Om Ouda.
- Bagi saya pribadi, tulisan ini saya buat dengan maksud siapa tahu esok hari bisa dilukis dengan gratis oleh Om Ouda. Hehehehe
- Terus kembangkan berbagai bakatmu itu Om Ouda. Saya doakan program doktoralmu cepat selesai sehingga sumbangsihmu bagi bangsa ini bisa makin besar.
KEMBALI KE ARTIKEL