Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Menyusuri Hulu Banjir dan Longsor

26 November 2009   08:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:11 1742 0
[caption id="attachment_30018" align="alignleft" width="300" caption="Banjir dan longsor di Tanggamus, Lampung, September lalu"][/caption] BANJIR dan tanah longsor terus mengancam warga di dekat hutan. Kita senantiasa prihatin dan ikut berempati terhadap mereka yang harus menderita akibat bencana alam ini. Namun, kita tentu saja tidak boleh menyalahkan alam atas berbagai ancaman yang ditebarnya. Kita mesti mau dengan rendah hati berintrospeksi. Jangan-jangan memang kita yang salah sampai-sampai alam bisa semarah itu dan tidak lagi sudi menjadi sahabat manusia. Banjir, tanah longsor, dan kekeringan memang akan silih berganti menerjang. Itu semua muara dari merosotnya daya dukung lingkungan hidup. Hutan, sebagai sistem penyangga kehidupan, telah tereduksi dengan hebat, baik kualitas maupun luasannya. Lampung, misalnya, provinsi yang luasnya sekitar 3 juta kilometer persegi ini sekarang hanya menyisakan hutan tidak sampai 20 persen. Padahal, Undang-Undang Kehutanan mematok luas hutan minimal 30 persen dari daratan. Kita menyadari, pemanasan global, termasuk bencana banjir dan tanah longsor, merupakan akibat dari ulah manusia. Hutan dibabat untuk dijadikan kebun, ladang, dan permukiman. Setelah itu, muncullah berbagai bencana alam menyusul kerusakan ekologis yang luar biasa. Banjir bandang dan tanah longsor, hampir selalu bermula dari penggundulan hutan di lereng-lereng dan hulu sungai. Ketika musim penghujan tiba, sungai yang hutan di hulunya sudah gundul, akan mengirim air bah bercampur material hasil erosi. Kemudian menjadi banjir bandang yang mengancam harta dan jiwa warga di hilir sungai. Pada musim hujan, hutan yang gundul juga menjadi rawan erosi, atau yang biasa kita sebut tanah langsor itu. Ini terjadi akibat pengangkutan dan pergerakan masa tanah berlangsung cepat dan sekaligus dengan volume amat besar. Itu sebabnya, banyak orang terus meneriakkan pentingnya menyelamatkan dan melestarikan hutan. Dengan hutan yang berkualitas baik, air berlebih pada musim hujan akan disimpan dalam tanah. Danau, rawa, sungai, bendungan, dan sumur resapan, juga menyerap air yang diguyur ke bumi itu. Sisanya terbuang ke laut. Sebaliknya, ketika lingkungan hidup rusak, air hujan akan langsung menuju laut dengan terlebih dulu menerjang apapun yang menghalanginya. [caption id="attachment_30019" align="alignright" width="300" caption="Banjir dan longsor Tanggamus, Lampung, September lalu"][/caption] Kemampuan hutan dalam menyerap air memang telah merosot akibat terkonversi menjadi berbagai peruntukan lain. Daya tampung sungai, danau, dan rawa juga berkurang menyusul pendangkalan oleh sebab akumulasi material erosi. Kita semua pastilah paham keadaan ini. Tetapi sayangnya, pemahaman itu baru melahirkan pengetahuan mengenai betapa pentingnya fungsi hutan bagi peradaban manusia. Ia belum menjadi sesuatu yang menggerakkan banyak orang untuk bijaksana dalam memanfaatkan hutan. Buktinya, berbagai penebangan liar dan konversi hutan yang serampangan masih terus dapat kita pergoki. *** KUALITAS hutan kita memang terus terdegradasi. Kita, tentu saja kecewa atas kenyataan ini. Sebab, pemerintah, lewat departemen dan dinas kehutanan, dari tahun ke tahun menganggarkan dana besar untuk merehabilitasi hutan. Tetapi, bukannya pulih, hutan kita justru terus berkurang luasan dan mutunya. Dana raksasa yang berasal dari pajak dan utang luar negeri itu seolah menguap entah kemana. Hutan tidak pulih, yang terjadi justru pemborosan keuangan negara dengan gila-gilaan. Sejak zaman Soeharto, pemerintah pusat dan provinsi, mengeluarkan dana besar untuk menjalankan apa yang disebut program penghijauan atau reboisasi. Pada zaman Megawati, malah digelontorkan dana triliunan rupiah untuk menyelamatkan hutan. Yakni, lewat apa yang dikenal dengan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan atau GNRHL. Berbagai program kehutanan, dengan berat harus disebut, senantiasa menjadi ladang korupsi. Proyek-proyek fiktif di bidang kehutanan terjadi di banyak tempat. Manipulasi dokumen juga menyeruak di antara ketidakberesan pemerintah mengurusi hutan. Korupsi kehutanan itu pula yang mengantarkan ratusan pejabat kehutanan di seluruh Indonesia harus masuk bui pada era pertengahan tahun 80-an. Ini ketika jabatan ketua Badan Pemeriksa Keuangan dipegang M. Yusuf, seorang tentara berhati lurus, orang bugis yang anti-suap. [caption id="attachment_30021" align="alignleft" width="300" caption="Bekas perambahan di Tahura WAR, Lampung"][/caption] Sayangnya, setelah zaman Jenderal Yusuf, hampir tidak pernah terdengar ada pejabat yang masuk penjara lantaran menjarah dana kehutanan. Padahal, korupsi di bidang ini masih terus terjadi dan ini yang menyebabkan hutan tidak pernah pulih bahkan terus merosot kualitasnya. Akibat korupsi, proyek yang sebagian besar dananya berasal dari utang luar negeri itu sama sekali tak berbekas. Modus korupsinya beragam. Mulai dari penggelembungan harga bibit, pupuk, dan upah buruh. Yang paling biadab, tentu saja, munculnya banyak proyek fiktif. Ini yang menjelaskan mengapa proyek penghijauan, reboisasi, dan GNRHL, hanya menghabis-habiskan dana tanpa menghasilkan apa-apa. Korupsi, dipercaya telah menjadi hulu dari berbagai problem kehutanan. Kasus pembalakan liar yang merajalela, juga dapat dilihat dari perspektif ini. Penegak hukum, polisi, polisi kehutanan, dan jaksa baru bisa menjerat para sopir pengangkut kayu ilegal. Sementara, cukong kayu-kayu haram itu bisa bebas melenggang dan terus menyuruh orang menggergaji kayu di hutan. Aparat kehutanan yang bermental korup juga menjadi biang keladi hancurnya hutan, sistem penyangga kehidupan itu. Orang berani mencuri kayu dari hutan karena penjagaan yang longgar. Lalu, kayu-kayu curian itu gampang disulap menjadi kayu halal. Sebab, oknum kehutanan, atas nama uang, tega mengeluarkan dokumen palsu untuk memuluskan penjarahan hutan. Contoh kasus adalah skandal SKSHH (surat keterangan sahnya hasil hutan) palsu yang menampar Dinas Kehutanan Lampung tiga tahun lalu. Berbagai bencana alam yang terus melanda belakangan ini agaknya patut mendorong kita untuk meretas jalan baru pembangunan kehutanan. Perlu ada perubahan paradigma penyelamatan sumber daya alam terbatas itu. Cara berpikir bahwa untuk menyelesaikan sesuatu harus ada uang, sejak sekarang mesti ditinggalkan. Uang bukanlah segala-galanya. Yang dibutuhkan hanya saling percaya dan munculnya partisipasi aktif dari masyarakat. Sesungguhnya, pemerintah tak perlu menyediakan dana untuk merehabilitasi hutan. Urusan itu bisa diserahkan ke masyarakat secara swadaya. Warga, sepanjang diberi kepercayaan, pastilah bisa diarahkan untuk turut melestarikan lingkungan hidup. Kita percaya, masyarakat sekitar hutan punya kearifan lokal untuk melindungi hutan dan menghukum warga lain yang tidak mematuhi konvensi. Perlu dibangun kerjasama antara pemerintah, LSM, dan masyarakat dalam memulihkan hutan yang sudah terdegradasi begitu parah. Namun, pendekatannya harus diubah. Tidak lagi berorientasi proyek seperti selama ini, melainkan dengan konsep pengelolaan kolaboratif. ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun