Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen menjadi kebijakan kontroversial yang diambil pemerintah melalui pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kebijakan ini diberlakukan untuk meningkatkan penerimaan negara, namun membawa sejumlah polemik di tengah masyarakat.Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kebijakan ini diperlukan untuk mengatasi tantangan fiskal yang kian kompleks. "Kenaikan PPN ini adalah bagian dari upaya reformasi perpajakan yang sudah tertunda sejak lama," ujarnya dalam konferensi pers pada Desember lalu. Dia menambahkan bahwa kebutuhan anggaran meningkat pesat untuk program pemulihan ekonomi dan pembangunan infrastruktur strategis.Sementara itu, data dari Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan bahwa penerimaan PPN menyumbang hampir 40 persen dari total penerimaan pajak negara. Dengan menaikkan tarif menjadi 12 persen, pemerintah menargetkan tambahan pendapatan sebesar Rp80 triliun pada tahun 2024. Dana tersebut, kata Sri Mulyani, akan digunakan untuk memperluas akses kesehatan, pendidikan, dan pembangunan fasilitas publik lainnya.
Namun, kebijakan ini menuai kritik dari berbagai pihak. Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa kenaikan ini berpotensi memperlemah daya beli masyarakat. “Saat inflasi masih tinggi, menambah beban pajak pada konsumsi akan berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi domestik,” ujarnya. Bhima juga menyoroti kurangnya transparansi pemerintah dalam penggunaan hasil penerimaan pajak, yang menjadi alasan skeptisnya masyarakat.
KEMBALI KE ARTIKEL