Saya masih teringat masa kecil dulu saat ibu dan guru TK saya begitu piawai dalam menceritakan dongeng-dongeng yang penuh pelajaran dan filosofi tentang kehidupan nan tinggi. Begitu tersihirnya anak-anak di jaman itu dengan kekuatan dongeng yang terucap secara indah serta penuh kebajikan. Bahkan bisa dikatakan sangat inspiratif menurut pendapat saya. Berkumpul bersama teman-teman sebaya di sebuah taman bacaan atau rental buku bacaan sambil asyik membaca buku, komik, atau novel kesukaan adalah suatu kegiatan yang amat menyenangkan dan indah saat itu. Namun, apa yang terjadi dengan anak-anak jaman sekarang sungguh membuat saya miris. Anak-anak tak lagi menyukai dongeng, tetapi malah mengidolakan tokoh kartun yang ada di televisi. Anak-anak juga tak lagi memenuhi taman-taman bacaan atau perpustakaan, melainkan sibuk di rental game atau menonton film kesukaannya di televisi. Jarang sekali saya lihat anak-anak menjadi kutu buku di jaman sekarang, yang paling banyak adalah anak-anak kutu internet, kutu televisi, kutu handphone, dan kutu game. Memang sebegitu powerfull-nya sebuah kotak ajaib bernama televisi ini, hingga bisa mengubah pola pikir dari anak-anak hingga orang tua. Bahkan, hanya untuk mendiamkan seorang anak yang menangis, televisi-lah yang menjadi pengalih perhatian, seakan orang tua sudah tak sanggup lagi membujuk anaknya yang sedang merajuk. Tetapi, apakah kita rela jika anak kita terus menerus “diasuh” oleh benda yang bernama televisi ?
Sudah banyak sekali penelitian yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri tentang dampak menonton televisi. Sebut saja obesitas, meningkatnya kadar kolesterol dalam darah, hingga penyakit kardiovaskular lainnya akibat terlalu lama menonton televisi. Selain itu, dari segi sosial dan kepribadian, televisi juga cenderung membentuk seseorang menjadi bersifat asosial dan cenderung temperamental Namun, ada juga dampak positif televisi seperti misalnya melatih kemampuan berbahasa bagi anak. Sebenarnya televisi bagai mata pedang yang kedua ujungnya sama tajam, tergantung bagaimana cara kita memanfaatkannya. Televisi dapat menjadi suatu media pembelajaran yang bagus bagi siapa saja, asal program atau tayangan yang disajikan mengandung nilai-nilai pengetahuan, penanaman budi pekerti yang baik, hingga pembentukan pola pikir ke arah yang lebih baik dan positif. Sebaliknya, televisi dapat pula berdampak negatif jika tayangan atau program yang ditayangkan sarat dengan kekekerasan/anarkisme, penyalahgunaan obat terlarang, hingga pergaulan bebas. Namun, program televisi yang mengedepankan nilai-nilai positif sangat jarang saya temui di televisi domestik Indonesia. Acara-acara televisi di Indonesia cenderung tidak mendidik dan hanya mengeksplorasi budaya yang sifatnya instan serta hedonis. Sebagai contoh adalah tayangan sinetron dan reality show yang makin menjamur dan hampir ada pada setiap stasiun televisi di negeri kita ini. Demi mengejar sebuah rating yang tinggi atas nama komersialisme, tayangan-tayangan tak mendidik ini malah ditempatkan di prime time alias menjadi tayangan yang sering ditonton sekeluarga.