SIAP-SIAPLAH tidak terkenal jika Anda menjadi wartawan. Jurnalis tetap duduk di akar rumput tatkala orang-orang yang pernah diprofil melambung di langit ketujuh! Pada suatu kesempatan, tahun 2004, di Semarang, saya bertemu
Peggy Melati Sukma. Bukan masalah gampang ketemu empat mata dengannya karena ia kini dibentengi panitia acara,
event organizer yang mengundangnya, atau orang-orang sok penting lain. Tapi berkat seorang kawan pemilik EO, saya bisa berhadap-hadapan dengan Peggy di lobi sebuah hotel bintang 4. "Masih ingat saya, Peggy?" Tanya saya, sok akrab, di luar konteks wawancara. Peggy meneliti wajah saya beberapa kejap. Lalu ia menggelengkan kepala. "Tahun 1993 saya mewawancarai Anda, memotret beberapa
frame, lalu foto Anda muncul di halaman pertama koran saya. Itu terjadi di sebuah kafe. Anda belum setenar sekarang, dan saat itu Anda didaulat menyanyi dalam rangka ultah media kami. Masih ingat?" Saya mencoba menguak memorinya. Ia tersenyum. Saya membayangkan ia berteriak girang lantaran segera ingat momen itu. Tapi nihil. Ia tetap menggelengkan kepala. Saya tidak kecewa saat turun menuju parkir mobil, meski 'misi' saya membuka ingatannya tak membuahkan hasil. Itu memang sungguh sangat lama. Peggy diundang untuk meramaikan kompetisi "Gadis Sampul" HUT
Mingguan Bahari, koran pertama saya. Lagipula, sudah tentu ratusan wartawan pernah menginterviewnya hingga detik ini, sehingga apalah arti saya. [caption id="attachment_313717" align="aligncenter" width="367" caption="Sasa Draculik, striker Suwon Samsung Bluewings asal Yugoslavia yang saya wawancarai di World Cup Stadium, Korsel. Saya jamin dia juga melupakan saya. (Dok. pribadi) "][/caption] Saya tidak sedih dilupakan Peggy Melati Sukma karena ada momen lain sebagai pelipur lara. Suatu siang, pertengahan 2005, saya harus berurusan dengan sebuah hotel sohor di Jogja untuk urusan sponsor. Di lobi, saya termangu menunggu
public relations hotel bersangkutan menemui saya. Sampai akhirnya perempuan itu tampak melangkah ke arah saya dengan penuh percaya diri. Perempuan yang cantik dan
fashionable. Ia menyalami saya dengan darah hangat dan bersahabat, seolah kami telah belasan tahun saling mengenal. "Apa kabar, Mas Arief?" Saya terkejut. Rasanya saya tak pernah mengenalkan diri sebelumnya, tapi ia tahu nama saya. "Dari mana Anda tahu nama saya?" Tanya saya, jujur. "Kita pernah di
camp yang sama, Mas, ketika kami menjalani pelatnas taekwondo di Kaliurang. Mas Arief satu-satunya wartawan yang menunggui kami berlatih selama seminggu. Ingat?" Saya terkesiap. Saya ingat itu! Lalu mencoba menerka-nerka namanya. "Kamu Elita yang dulu tomboi itu? Yang saya foto di tepian kolam renang dengan mimik muka sulit diatur?" Ujar saya berapi-api, melupakan sebutan "anda" padanya. Ia pun terkekeh-kekeh. Tawa yang tak berubah seperti tahun 1998 saat setengah hari ia mengejek kumis saya, dan ejekan tentang kumis itu saya sertakan dalam profil dia di
Tabloid BOLA, koran saya waktu itu. Alamak, ia menjelma menjadi perempuan yang super feminin meski tetap dinamis. Ia kini jauh lebih ayu daripada dulu. Namun bukan itu yang membesarkan hati saya, melainkan karena ia tak lupa pada saya meski kini telah menjadi salah satu perempuan berpengaruh di bisnis perhotelan Yogyakarta! Ada kisah lain mengenai "penemuan orang-orang lama yang kini menjadi 'orang'". Awal bulan ini saya disenggol seorang pramugari. Saya kaget lantaran sedang berdoa agar pesawat tidak terjerembab ke sawah, doa yang selalu saya panjatkan tiap pesawat yang saya tumpangi sebentar lagi tinggal landas. Saya mendongak. Ia tersenyum manis. Saya kerjapkan mata, jangan-jangan ia bidadari yang hendak memeluk saya ketika ternyata saya telah mati karena pesawat yang saya naiki kecelakaan. Ternyata bukan! "Halo, Mas Arief. Apa kabar?" Ia mengangsurkan tangan. Sambil meraup telapaknya, saya bertanya-tanya. Tapi kepala saya tak lagi
'core i5' dengan memori 8 giga. Saya lupa siapa dia! "Saya Ayu, Mas, gadis Weleri (Kendal) yang
Jenengan (Anda) wawancarai di sekolah pramugari ... " Olala! Ayu? "Wah, kok jadi begini besar kamu Yu?" Selonong saya tanpa peduli mata-mata iri penumpang lain. "
Hahahaha ... Mas Arief bisa saja. Sudah setahun saya di maskapai ini, Mas. Hayo, pasti jarang naik pesawat L**n, ya? Oke, enjoy ya Mas, saya nerusin kerjaan," ucapnya. Ia pun melenggang. Dan saya hanya mengangguk-angguk saja. Ya, ya. Ayu adalah salah satu narasumber saya tatkala saya membuat profil sekolah pramugari di Jalan Pekunden, belakang Hotel Graha Santika Semarang, saat saya bekerja di
Harian Jawa Pos Radar Semarang, awal 2003. Saya heran ia masih ingat saya. Lebih mengherankan, saya menjadi tidak kesepian lagi gara-gara bekerja di media massa (kini jarang lagi meliput karena 'dimejakan' dengan embel-embel redaktur pelaksana), sebab seterpuruk-puruknya profesi ini di blantika ketenaran, masih banyak yang mengingat 'jasa-jasa' kami membesarkan mereka. Saya tersenyum, dan merasa tenteram.
-Arief Firhanusa- ***
Terima kasih untuk orang-orang yang tak pernah melupakan saya: 1. Jean Retno Ariyani (penyanyi) 2. Kurniawan Dwi Julianto (pesepakbola) 3. Ahmad Dhani (penyanyi, pencipta lagu) 4. Sukawi Sutarip (mantan Wali Kota Semarang) 5. Soraya Haque (bintang iklan, pemakalah di seminar-seminar kepribadian) 6. Alvin Lie (politikus) 7. Joko Suprianto (mantan pebulutangkis dunia) 8. Pongky Jikustik (penyanyi, pencipta lagu) 9. Duta Sheila O7 (penyanyi) 10. Jaduk Ferianto (budayawan) 11. Kholil Danoe Atmodjo (pemain sepakbola nasional 50-an asal Semarang yang pernah membawa harum persepakbolaan nasional sehingga disegani di kancah dunia) 12. Chris Jonn (petinju) 13. Tukul Arwana (komedian)
KEMBALI KE ARTIKEL