Paling parah adalah edisi Sabtu lalu. Memilih sebuah rumah bekas hunian seorang punggawa keraton Surakarta (Solo), hampir semua peserta uji nyali kesurupan, kotor lantaran bergulingan di tanah, badan terluka karena dicakari sendiri, muntah-muntah, bahkan mengamuk. Mereka yang berbicara ngelantur dan lupa diri itu bahkan masih trance saat sudah diusung ke tenda transit.
Durasi uji nyali yang pendek antarpeserta, membuat Kang Arif (digambarkan sebagai pakar supranatural) sibuk melakukan exorcisme (ritual pengusiran hantu), biarpun ia dibantu oleh beberapa krunya dan bintang tamu (yang konon indigo) Sara Wijayanto.
Sungguh miris menyaksikan MDL live yang memilih tempat-tempat 'super angker' supaya para peserta uji nyali gampang kesurupan. Lebih membuat bergidik adalah tatkala Sara dan presenter Nico Oliver (generasi ketiga presenter MDL setelah Hari Pantja dan Rudi Kawilarang) sempat-sempatnya bertanya-tanya pada obyek tentang "siapa nama" dan tetek bengek mengapa jin atau hantu itu merasuki manusia, apa keinginannya, apa pesannya, dan seterusnya, yang membuat proses pengusiran hantu terhambat, yang tentu saja membiarkan peserta uji nyali begitu lama dirasuki roh halus sehingga bisa saja jiwanya terganggu.
Pertanyaan-pertanyaan Nico sangat menggelikan. Bagaimana mungkin setiap roh halus bisa berbahasa Indonesia? Nico mungkin lupa, atau bisa saja ini hanya dramatisasi, bahwa roh halus yang merasuki peserta bisa saja roh manusia kuno asal Solo yang bisanya cuma bahasa Jawa. Atau, fakta bahwa orang kerasukan/kesurupan itu lebih sering cuma melotot kosong atau menggeram, bisa melahirkan pertanyaan: apakah benar roh yang memasuki tubuh manusia memang bisa diajak diskusi?
MDL sering mendapat kritik maupun celaan, meski tak sekencang penolakan masyarakat terhadap Yuk Keep Smile (YKS) Trans TV. Namun, acara ini tetap bergulir, dan malah menciptakan kengerian yang berlipat sejak ditayangkan langsung. Jika benar peserta uji nyali kesurupan -- bukan setingan kru dengan membawa talent-talent ke lokasi -- maka sebaiknya acara ini dihentikan saja. Atau bila memang tetap ingin menayangkan sebagai bahan kajian dan pembelajaran, mohon dikemas secara rasional dan tak memburu sensasi berlebihan.
Anda bayangkan, bila keluarga peserta uji nyali menonton acara ini, bagaimana perasaan mereka mendapati anak atau adiknya dibuat kesurupan? Bagaimana perihnya hati mereka saat menonton menantu atau pacarnya berlaku mirip macan yang merangkak menyusuri tanah seperti dalam sirkus?
Pun, apakah kru MDL bersedia bertanggungjawab sepenuhnya untuk pemulihan jiwa mereka yang kerasukan dan kejiwaannya terganggu, meski mereka (mungkin) menandatangani surat persetujuan sebelum melakoni uji nyali?
Kita tunggu Sabtu malam besok, apakah tayangan langsung Trans7 ini masih mengumbar kengerian, atau mengubahnya menjadi lebih manusiawi.
-Arief Firhanusa-