Kemarin sebelum jam makan siang tiba, saya mampir di sebuah warnet di Jalan Imam Barjo, kawasan Undip. Warnet milik seorang teman, dengan belasan bilik lesehan. Bersekat kain-kain tipis setinggi leher, warnet ini jauh dari mesum.
Saat asyik bercengkerama, kami dikejutkan oleh kehadiran empat orang yang menghambur ke dalam secara tiba-tiba. Mereka sepasang suami istri dan dua anaknya. Anak yang kecil, perempuan di bawah lima tahun, digandeng ibunya setengah tergopoh. Anak yang lain, seusia murid SMP, diseret sang ayah. Yang saya sebut "ayah" ini adalah pria dengan kruk. Salah satu kakinya diamputasi.
Tanpa basa basi, si ibu bertanya kepada operator warnet: "Mas, apa betul anak saya ini tadi malam nge-net di sini?" Suaranya menggelegar, mengejutkan users warnet di ruangan yang hening.
Operator warnet terkesiap. Setelah meneliti wajah anak perempuan yang menggigil ketakutan itu, si operator berucap, "Maaf, Bu, banyak yang datang ke sini tadi malam, saya lupa ... "
Perempuan mungil yang terintimidasi itu tampaknya ingin melakukan pembelaan. "Semalem bukan mas ini yang jaga ... "
Tapi ayahnya membentak. "Ngomong terus terang saja daripada aku tempeleng kamu!"
"Sumpah aku di sini ... " Belum tuntas anak itu mengutarakan alibi, tangan si ibu sudah melayang, plak! Telak mengenai pipi kanan anak gadisnya. Si Gadis menjerit kesakitan. Tangisnya membuncah. Pilu. Belum puas memukul satu pipi, bogem ibu gemuk itu kembali menghujam pipi sebelah si gadis, bahkan bertubi-tubi ... Plak! Plak! Plak!
"Anak kurang ajar! Bapakmu gali, tapi kamu jangan coba-coba jadi bajingan!" Cerocos si ibu tanpa peduli puluhan pasang mata menyimak adegan mirip sinetron ini. Gempuran kata dan tampar-pukulan si istri tampaknya menggoda si suami untuk mengayunkan tangan. Satu dorongan keras membenturkan kepala gadis itu ke kotak pendingin minuman warnet, di sisi meja operator. Dalam limbung, satu tamparan berikutnya dari si ibu telak mengenai bibir. Darah meleleh di sudut bawah bibir anak tersebut.
Saya tak tega melihat kekejian ini. Saya rangkul si bapak, saya ajak keluar si ibu. Dia meronta, menunjukkan kilat mata marah merasa urusan keluarganya dicampuri. Tapi saya membujuknya lebih keras agar kekerasan ini disudahi saja, kasihan anak itu jadi bulan-bulanan. "Kalau anak Bapak sampai mati, siapa akhirnya yang menyesal? Tolong Pak, kasihan anaknya," bujuk saya dengan suara ditekan agar tidak larut dalam emosi.
Akhirnya mereka keluar. Berjalan tersuruk melalui trotoar depan warnet, dan hilang ditelan keramaian. Rombongan kecil yang membuat saya lemas hingga mengurungkan makan siang bersama teman.
Kekerasan dalam rumahtangga keluarga kecil itu saya perkirakan bukan kali ini saja terjadi, mengingat betapa mudahnya si ibu dan si bapak menempeleng dan menampar anaknya. Dalam kasus warnet ini, bisa saja si anak mungkin berbohong. Tetapi apa harus dipukuli sedemikian rupa? Apa perlu ditonjok hingga si putri menanggung malu tak terperi dan memungkinkan terjadi gegar otak?
Bisa pula si anak memang benar-benar berada di warnet ketika ayah ibunya cemas lantaran si anak belum juga pulang ketika malam sudah larut. Tetapi disiplin atau tidak anak-anak kita, memahami arti penting izin kepada orangtua, menghargai waktu belajar, adalah "buah tak jatuh jauh-jauh dari pohonnya". Ketika orangtua tidak menanamkan hal-hal baik, anak-anak juga keliru mengunyah makna etika. Manakala orangtua tidak memberi contoh yang elok, maka anak-anaknya juga tak beraturan meniti hidupnya.
Cara memperlakukan anak dengan keras -- bahkan menjurus sadis -- itu bisa saja dicontoh dari tontonan yang terhampar di sekeliling kita, termasuk televisi. Di TV, dalam sinetron yang kini judulnya sungguh aneh-aneh, kerap kita jumpai seorang ibu mengemplang pipi anaknya, seorang pacar menempeleng pasangan, seorang bapak menutup mulut sang anak lantaran sulit diatur.
Bisa pula dicontoh dari film-film laga yang saban malam diputar televisi kita. Atau dari lingkungan parlemen yang terisi gontok-gontokan dan dorong-dorongan saat dinihari tiba. Tangan-tangan, mulut-mulut, sikap-sikap nan kasar tidak hadir sendiri, melainkan diadopsi dari para pemimpin negeri yang salim tikam dan dendam, yang saling serang dengan kejam di tengah himpitan perekonomian yang makin layu dan menusuk hati dari hari ke hari ...
-Arief Firhanusa-