Kasus ini bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, bagi mereka yang membela AAL, kasus ini pasti mengusik rasa keadilan mereka dimana banyak koruptor yang hasil curiannya jauh lebih besar dari apa yang dicuri AAL. Kemudian bagi yang pro polisi, ini merupakan konsekwensi dari penegakan hukum, dimana telah disepakati (dalam bentuk KUHP) bahwa setiap perbuatan melanggar hukum harus diberi sanksi hukum.
Dari sudut pandang saya, kasus ini harus direspon dengan hati-hati dan penuh dengan kearifan. AAL yang telah berusia 15 tahun saya pikir bukan lagi seorang bocah. Dia bisa dikategorikan sebagai seorang remaja yang sudah mampu membedakan yang baik dan yang buruk. Pembelaan berlebihan terhadap AAL dalam bentuk dukungan moril sampai pengumpulan sendal bisa menjelma menjadi 'amunisi' bagi anak-anak untuk berbuat sama. Tindakan berbuat melanggar hukum tidak lagi menjadi sesuatu yang perlu mereka taati karena telah dibentengi oleh kekuatan sosial. Perbuatan mencuri sendal atau sejenisnya akan berubah menjadi sesuatu yang tidak lagi dilarang bagi anak-anak karena fakta mengatakan kalau hal tersebut tidak akan diberi sanksi apa-apa.
Terlepas dari apakah perbuatan menghukum AAL mengurangi rasa keadilan masyarakat atau perbuatan tersebut tidak sebanding dengan perbuatan koruptor, itulah hukum. AAL tetap besalah di mata hukum.menurut hemat saya, bagi pelaku, sidang semestinya melibatkan keluarga dan tidak perlu dilakukan sidang secara terbuka. Yang jelas, kasus AAL ini membangungkan kita perlunya pendidikan hukum sejak dini. Larangan mencuri, berkelahi, mencaci, dan sebagainya hanya bisa didapatkan oleh sebagian anak di bangku sekolah (itu pun kalau dapat).
that's all.