Mari membayangkan diri kita hidup pada abad ke-9, di sebuah daratan di belahan bumi paling barat dunia Islam. Andalusia, nama negeri itu. Penguasa kita saat itu adalah ‘Abd al-Rahman al-Awsath, keturunan ke-3 dari ‘Abd al-Rahman al-Dakhil. Al-Awsath adalah seorang raja yang bijak, cerdas, enerjik, dan memiliki cita-rasa seni yang sangat tinggi. Pembangunan fisik dan budaya yang berlangsung pada zamannya, yang dengan jelas membuktikan kecintaannya yang luar biasa terhadap estetika, menjadi berkah tersendiri bagi rakyat Andalusia.
Di samping al-Awsath kita juga akan menjumpai Abu al-Hasan ‘Ali bin Nafi’, seniman multi-talenta yang dengan segera akan menyita perhatian kita. Abu al-Hasan, atau lebih dikenal dengan Ziryab, adalah biduan yang paling digemari oleh al-Awsath. Jabatan resminya sebagai musisi istana mengantarkannya menjadi artis paling favorit di negeri itu. Alunan syair yang ia nyanyikan dan denting merdu dari dawai gitar yang ia petik mengalirkan simfoni indah dari relung istana raja hingga sudut paling tersembunyi di tanah tersebut.
Tapi Ziryab hanyalah satu di antara sedikit seniman muslim yang merasakan udara bebas untuk menyalurkan bakat seninya. Di Cordova, kota paling bersinar dalam peradaban umat Islam saat itu, ia tak ubahnya sebuah kiblat bagi para artis dan pekerja seni. Bukan hanya pecandu musik, masyarakat Eropa, bahkan khalifah Umayyah Barat serta raja-raja Prancis dan Inggris pun ikut terpengaruh oleh tren musik yang diciptakannya.
Namun itu hanyalah babak masa dalam rentang sejarah umat Islam. Pada akhirnya seni, sebagai salah satu warisan paling berharga yang pernah dimiliki umat Islam, diasingkan. Masyarakat muslim pada masa-masa berikutnya (bahkan hingga masa modern sekarang) lebih tertarik untuk berbicara tentang fiqh (hukum), kalam (teologi), tasawuf (mistik), dan filsafat, itu pun bukan dalam rangka mengembangkan gagasan di dalamnya namun mengulang-ulang topik yang sudah pernah dibahas. Adapun seni, kalaupun mereka mau menyinggungnya, hanya terbatas pada syair, kaligrafi, desain masjid, atau marawis.
Pada perkembangannya, ekspresi seni baik dalam bentuk musik maupun ilustrasi makhluk hidup (dalam dua atau tiga dimensi) secara sistematis dan masif, terutama melalui karya tulis para fuqaha’, dilarang. Watak Islam sebagai agama yang berkecenderungan nomos (legal; hukum) semakin menonjol akibat meluasnya model-model pemikiran hukum yang konservatif dan kaku. Padahal, baik musik maupun lukisan manusia dan hewan, telah ada dan menjadi bagian tak terpisahkan dari produk akulturasi budaya umat Islam di beberapa kawasan.
Nabi Muhammad, seperti diberitakan dalam beberapa riwayat, memang melarang kita memainkan alat musik dan melukis makhluk bernyawa. Namun perlu dimengerti bahwa Nabi melakukan itu semua dalam setting sosial masyarakat yang secara teologis masih sangat rawan: bahwa musik, termasuk gitar, seruling, dll, dapat melalaikan kaum beriman dari kewajiban agama; dan lukisan makhluk bernyawa, dalam bentuk dua atau tiga dimensi, berpotensi melahirkan perilaku syirik. Adapun saat ini kekhawatiran bahwa musik akan memalingkan umat dari perintah agama dan gambar makhluk bernyawa dapat membangkitkan hasrat teologi primitif masyarakat (yakni menganggapnya sebagai ilustrasi dewa-dewi) tampak kurang relevan. []