" Budaya/Tradisi 7 Bulanan/ Mitoni"
Di Desa Karangpetir Kab.Purbalingga
*Definisi 7 Bulanan/ Mitoni
  Tradisi 7 Bulanan atau sering di sebut mitoni(dalam bahasa jawa) meruapakan salah satu tradisi/upacara rakyat yang diwariskan dari nenek moyang terdahulu kepada mereka secara turun-temurun yang berasal dari suku Jawa. Tradisi 7 bulanan dilaksanakan ketika seorang ibu hamil pada anak pertamanya memasuki usia kandungan 7 bulan.
  Tradisi ini memiliki arti dan tujuan yang diyakini yaitu mendoakan bayi dalam kandungan agar anak tersebut dapat lahir lancar, normal, sehat jasmani dan rohani serta agar ibu yang hamilnya diberikan kesehatan dan keamanan. Waktu pelaksanaan tujuh bulan itu sendiri tidak bisa sembarangan, karena harus dicarikan terlebih dahulu hari baik yang sesuai dengan kepercayaan masyarakat Jawa. Namun pada umumnya, acara ini sering dilaksanakan pada siang hari maupun sore hari. Pelaksanaan tradisi 7 bulanan biasanya di lakukan di rumah, di ruang tamu/keluarga/halaman depan rumah yang bisa menampung semua tamu undangan ketika acara berlangsung. Tradisi ini biasanya di pandu/di pimpin oleh dukun bayi dan sesepuh keluarga,dll.
  Menurut ilmu sosial & budaya (Salem & Mesra, 2020), tradisi tujuh bulanan dan tradisi lainnya merupakan bentuk inisiasi, yaitu berupa cara atau sarana yang dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan atau kejadian yang tidak diinginkan (Bayati, 2021). Alasan dasar dari tradisi Jawa adalah ungkapan rasa syukur dan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk kedamaian dan keselamatan.
*Sejarah Tradisi 7 bulanan/ Mitoni
  Upacara tujuh bulanan ini sudah ada sejak zaman kerajaan Kediri di bawah pemerintahan Raja Jayabaya. Saat itu, ada seorang perempuan bernama Niken Satingkeb yang menikah dengan seorang punggawa bernama Sadiyo dan memiliki Sembilan anak yang lahir dari pernikahannya, tetapi tidak ada satu pun dari sembilan anak itu yang hidup sampai dewasa. Meski begitu, Sandiyo dan Niken Satingkeb terus berdoa agar dikaruniai anak lagi, yang diharapkan tidak bernasib sama dengan bayi mereka sebelumnya. Akhirnya mereka menghadap raja untuk mengadukan kesedihan mereka dan meminta nasihat tentang apa yang harus mereka lakukan agar mereka dikaruniai anak lagi yang tidak mengalami nasib yang sama seperti bayi mereka sebelumnya. Raja yang bijaksana langsung mendengar keluhan Niken Satingkeb dan Sadiyo hingga raja Jayabaya memberikan instruksi untuk melaksanakan tiga tugas kepada nyai Satingkeb. Tiga tugas tersebut yaitu pertama harus mandi pada setiap hari Rabu (tumbah), yang kedua mandi pada hari Sabtu (Buddha), dan yang
terakhir mandi suci, menggunakan air suci serta gayung yang terbuat dari batok kelapa. Selama mandi suci, Niken Satingkeb diminta untuk selalu berdoa agar jika dia hamil lagi, dia akan diberikan kelancaran dan bayinya akan lahir dengan selamat dan sehat. Sejak saat itu, apa yang dilakukan Niken Satingkeb menjadi tradisi yang dilakukan perempuan saat hamil di usia kehamilan tujuh bulan.
*Rangkaian Acara/ Langkah - langkah Tradisi 7 Bulanan/ Mitoni
  Di desa Karangpetir Kab.Purbalingga memiliki perbedaan sedikit dengan daerah - daerah lainnya
Berikut langkah - langkahnya:
1.Siraman
  Siraman bertujuan untuk mensucikan jiwa dan raga calon ibu dan calon bayi. Wanita hamil menggunakan pakaian kain batik, kemudian calon ibu duduk dan dimandikan dengan menggunakan sekar setaman. Sekar setaman yaitu air suci yang dicari dan diambil dari tujuh mata air (sumur pitu) dan ditaburi berbagai bunga seperti bunga kantil, bunga mawar, bunga kenanga, dan juga daun pandan wangi.
2. Â Doa Bersama
  Setelah siraman, dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh agama atau orang tua, memohon keselamatan bagi ibu dan bayi yang dikandungnya.
3.Slametan Anak dan orang dewasa
  Setelah doa bersama,  selanjutnya acara slametan anak-anak dan orang dewasa dan ibu hamil juga ikut slametan.
4. Memilih 2 anak laki -- laki dan perempuan
  Biasanya ibu hamil akan memilih 2 anak laki - laki dan perempuan, yang ganteng cantik dan baik, saleh dan salehah dll, untuk di colek bedak di campur air  di pipinya, tujuannya untuk memiliki keturunan yang baik dan saleh dan Salehah.
5. Melempar batu ke atas genteng
  Melempar batu ke atas genteng memiliki makna atau tujuan untuk menghindari calon bayi dari "kagetan" dan Melempar batu ke genteng melambangkan usaha untuk "mengangkat" atau "menghilangkan" rintangan yang mungkin dihadapi saat proses kelahiran.
6. Penutup dan pembagian berkat
  Penutup tradisi ini ditutup dengan doa bersama dan pembagian berkat kepada para warga sekitar/ tamu undangan.
DAFTAR PUSTAKA
https://ejurnal.unima.ac.id/index.php/paradigma/article/download/6594/3446/30850
 6594-Articele Text-30850-1-10-20231127-1.pdf
Narasumber: Bapak Sutarman