Namun, nyatanya keingintahuanku terus berlanjut dan semakin tak dapat dihentikan. Semakin sering aku –ikut-ikutan- turun ke jalan, semakin banyak pertanyaan yang timbul dalam benakku. Maka kumulai pencarian atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku itu. Mungkin karena hanya BEM UI, yang pada waktu itu kurasakan paling tepat untuk pencarianku itu, maka bergabunglah aku dengan BEM UI. Awalnya, aku senang, cerah ceria, bercampur bangga menjadi bagian dari BEM UI. Namun, hal itu ternyata tidak bertahan lama.
Elitisme dalam tubuh BEM UI telah membuatku jengah. Kebijakan BOP-B yang sempat menggemparkan seisi kampus menjadi bukti dari hal tersebut. Dimana aku, dan dan kawan-kawan lain yang hanya anggota biasa benar-benar tidak mengerti asal-usul datangnya kebijakan yang katanya hasil kesepakatan antara rektorat dan mahasiswa itu. Wajah BEM UI pun tak lebih seperti birokrat mahasiswa yang membosankan. Jangankan menjawab kegelisahanku tentang apa itu gerakan mahasiswa, pertanyaan siapa itu rakyat saja, tak pernah kutemui dari organisasi ini. Bagaimana tidak? Tradisi ilmiah kemahasiswaan tidak pernah menjadi hal yang rutin dalam organisasi ini. Ketika berdiskusi, tak pernah ada eksplorasi, karena mekanisme “abang-abangan” lebih berlaku kuat disini. Apalagi ketika turun ke jalan, heroisme atas kondisi rakyat (yang tak pernah terlihat itu pun) selalu lebih mendominasi daripada pemahaman objektif atas kondisi rakyat. Adapun community development, masih sebatas karikatif saja.
Tapi, memang tak sepenuhnya buruk. Perlawanan terhadap UU BHP misalnya, membuahkan hasil yang memuaskan. Meski tak dapat dipungkiri bahwa tidak semua anggota BEM mengerti dan memahami permasalahan tersebut. Kami juga pernah mengadvokasi penggusuran. Walaupun tak maksimal, tapi setidaknya sudah pernah ada usaha untuk berinteraksi langsung dengan perjuangan rakyat. Dan sayangnya, hal itu pun tidak berlangsung lama. Advokasi pun terhenti seiring dengan kepengurusan BEM yang harus berakhir. Tidak kuatnya dasar / landasan yang membentuk gerakan mahasiswa dalam BEM UI, membuat perjuangan advokasi itu pun tak dilanjutkan oleh BEM selanjutnya. Kekosongan pembacaan mengenai gerakan mahasiswa yang akan dibangun membuat BEM menjadi organisasi mahasiswa yang menyedihkan. Anggaran yang datang dari mahasiswa sendiri, malah lebih banyak dihabiskan untuk jalan-jalan tengah tahun atau akhir tahun, daripada untuk membayar bus saat berdemonstrasi, atau membayar spanduk dan pilok untuk perlengkapan aksi. Organisasi ini pun tak ubahnya event organizer yang “menyenangkan” mahasiswa.
Setelah kurenungkan, ternyata keprihatinan-keprihatinan itu memang tidak terlepas dari ritual pemilihan ketua dan wakil ketua umum BEM UI yang membosankan setiap tahunnya. Membosankan, karena tak ada bedanya dengan pemilihan presiden atau pileg dan pilkada negeri ini, yang lebih banyak dibungkus politik pencitraan dengan aroma karirisme yang kuat. Semua kandidat berlomba-lomba menampilkan citra diri dan bukan menawarkan landasan gerakan yang akan dibangun. Mereka yang tak pernah akrab dengan mahasiswa, tiba-tiba bisa menjadi begitu akrab. Dan mereka pun bisa tiba-tiba berpenampilan ramah dengan senyum yang selalu tersungging. Hal tersebut, tidak dapat pula dilepaskan dari logika karirisme politik yang sudah menjadi pengetahuan umum dalam tubuh BEM : tahun ini jadi anggota, tahun depan jadi kepala departemen, tahun berikutnya jadi ketua BEM. Kesuksesan diukur dengan capaian jabatan tertinggi. Sungguh menyedihkan. Awalanya kupikir, mungkin hanya di BEM UI saja, tapi ternyata aku salah. Karena di fakultas pun, setali tiga uang.
*171110. Musim pencitraan dan ajang karirisme sudah dimulai kembali...