- sumber gambar: http://id.wikipedia.org/wiki/Semar -
Semar ilang, tak ada lagi pengasuh para satria di negri ini. Tak ada yang bisa mengeluarkan kentut yang dahsyat hingga mampu membabar segala topeng dan kemunafikan yang meraja lela. Tapi, bagaimana mungkin ? Dewa tersakti itu kan tugasnya menjadi rakyat jelata dan mengasuh sekaligus mengingatkan para bendara nya setiap kali melakukan kekhilafan (padahal di bahasa Arab, khilaf artinya berbeda, bukan bersalah). Bukankah ada Gus Dur yang sosoknya memang mirip Semar dan tingkah lakunya pun kadang-kadang mirip Semar. Walaupun beberapa kali terkentut-kentut, tapi kok rasanya kualitas kentut Gus Dur masih belum setara dengan Semar. Alhasil, Semar tetep ilang, ngga ketemu.
Lantas, apa artinya kehadiran Gareng, Petruk dan Bagong di dunia tanpa Semar ? Mereka sebelumnya adalah para Raja Jin yang ditaklukkan Semar dan diangkat anak untuk membantu tugas Semar mempunakawani para satria. Tanpa Semar sebagai leader punakawan di Karang Tumaritis, eksistensi anak-anaknya patut dipertanyakan. Bahkan mereka pasti kehilangan energi kreatif yang selama ini mendorong mereka berpunakawan. Tanpa Semar, Gareng tak lagi juling dan pincang. Pun Ki Lurah Kanthong Bolong alias Petruk, kehilangan daya bolongnya untuk menelan dan menerima apa saja. Dan Bagong si bungsu yang di Kebumen lebih dikenal sebagai Bawor dan kembarannya di Sunda yang tak mirip bernama Cepot ikut kehilangan daya kreatif nya untuk bertanya dan mempertanyakan dengan suara khas sembernya itu.
Kalau begitu, sejak kapan Semar ilang ? Bahkan kita tidak pernah menyadari hilangnya si Lurah Badranaya ini. Atau bahkan Semar memang tak pernah ada di negri kita ? Atau bahkan lagi, negri kita bukanlah Karang Tumaritis tempat bertugasnya para punakawan pimpinan Semar ? Jangan-jangan para pemimpin kita bukanlah para satria yang seharusnya dipunakawani oleh Semar ? Jangan-jangan memang tak ada satria di negri ini untuk dipunakawani Semar ?
Negri apakah tempat kita ini ? Begitu lama kita percaya bahwa negri ini dipunakawani oleh Semar dan anak-anaknya, tapi kenapa kita tidak pernah menyadari keberadaan mereka ? Benarkah mereka bahkan pernah ada di negri ini ? Adakah jejak kepunakawanan mereka di negri kita ini ? Pernahkah kita mendengar selentingan sayup-sayup saja tentang kasus yang pernah dipunakawani oleh Semar ? Pernahkah terjadi kentut yang sedemikian dahsyat sehingga membongkar semua kepalsuan ?
Sedih sekali rasa ini,
tidak satu jawaban pun yang arahnya membenarkan pernah adanya eksistensi para punakawan dalam kehidupan kita selain di pagelaran wayang yang semakin sedikit penggemarnya.
Perih sekali rasa ini,
ketika dihadapkan hanya dua alternatif kepunakawanan, di mana tidak adanya eksistensi Semar berarti adanya eksistensi Togog.
Ya, rasanya benar.
Ternyata kita hidup di kampung Togog.
Kakak sulung Semar yang berantem dengan Ismaya memerebutkan tahta para dewa,
dan dihukum dengan bertugas di dunia sebagai pangasuh para durjana.
Karma yang dijalani Togog sungguh melelahkan. Togog bertugas untuk mengasuh para petinggi yang tak tahu budi dan tak punya nurani. Togog wajib memberikan nasihat, pertimbangan dan saran dengan konsekuensi untuk selalu tidak didengar. Togog adalah personifikasi banyak dari kita, yang bicara dengan tembok, yang mengadu pada angin, yang mengeluh pada ilalang. Togog adalah bangsa kita yang menyaksikan para pejabat memimpin menuju keterpurukan satu ke keterpurukan lain, dan kita menikmatinya karena dharma kita sebagai Togog adalah memberi bukan menanti hasil.
Hanya di negri Togog lah terjadi konspirasi perebutan kekuasaan dengan bermacam usaha legitimasi. Sejak jaman Ken Arok yang mengaku mendapat pulung dewata sewaktu melihat betis Ken Dedes, bangsa ini tak henti-hentinya mengumbar cerita persekongkolan . Ken Arok yang dalam kitab Negarakertagama disebut sebagai Rangga Rajasa diceritakan sebagai titisan Wisnu untuk menutupi sejarah kelahirannya sebagai anak haram. Pulung yang dia terima sewaktu melihat betis Ken Dedes adalah cerita perselingkuhannya dengan istri Tunggul Ametung, untuk suatu pembenaran, untuk upaya legitimasi tahta. Tokoh Kebo Ijo adalah rakyat yang senantiasa ditumbalkan dalam perebutan tahta, sedangkan Empu Gandring adalah simbolisasi pemanfaatan ilmuwan dan alim ulama dalam meraih mimpi untuk kemudian dicampakkan ketika berbeda haluan. Kisah di dalam kitab Pararaton sebagaimana biasa memerlukan tafsir dari sudut berbeda karena kebiasaan orang jawa dengan sanepa dan penjunjungan para raja.
Kebiasaan bersanepa ini lah yang kemudian melahirkan budaya tafsir di kalangan Homo Javaensis. Tafsir yang melintasi waktu terhadap karya sastra para pujangga ini kemudian menciptakan lagi budaya pembacaan karya sastra sebagai ramalan peristiwa. Gothak-gathik-gathuk adalah spesialisasi Homo Javaensis yang berkembang subur hingga kini. Alam semesta dibaca sehingga membentuk tafsir yang sesuai dengan keinginan penguasa, walaupun ada juga yang mendapatkan wahyu sehingga kemampuan tafsirnya kemudian ditafsirkan sebagai weruh sakdurunge winarah - mengetahui sebelum terjadi. Fenomena ramal-meramal ini berkembang dahsyat, dan cukup memberikan kesibukan bangsa ini dalam tafsir-menafsir karya pujangga. Sehingga hilanglah kesempatan untuk merenungi kehidupan berTogog yang tengah dijalani.
Para penguasa sungguh amat memahami eksotisme kegiatan ramal-meramal dan tafsir-menafsir. Hampir di tiap jaman dikembangkan tafsir dan ramalan baru tentang isi suatu karya sastra, dan kegiatan ini ternyata sangat didukung oleh penguasa. Dari jaman Jayabaya dengan Jangka Jayabaya nya, Ranggawarsita yang mengeluhi suasana pemerintahan saat itu dengan jaman edan nya, kegiatan ramal-meramal dan tafsir-menafsir dipupuk di alam modern dengan SDSB pada suatu ketika. Di mana-mana terlihat kerumunan rakyat sibuk meramal dan menafsir angka, bahkan waktu senggang tidak lagi tercipta karena ramalan dan tafsiran lebih bermakna. Orang gila bahkan diburu untuk mendapatkan angka, kuburan pun ditunggu untuk hal yang sama.
Ada berbagai macam tafsir ramalan terhadap karya Jayabaya. Banyak dari penafsir itu yang bahkan belum pernah membaca karya itu secara keseluruhan, hanya mengutip dari cerita banyak orang dan mencuplik tafsir dari sana-sini. Di jaman Orde Baru yang sangat kental Jawa-nya, Jangka Jayabaya ditafsirkan sebagai urutan penguasa republik dari Sukarno dan Suharto dan orang sangat menunggu urutan itu ditepati. Belum lengkapnya Nata-Nagara ditafsirkan sebagai belum munculnya Satria Piningit yang akan menjadi Ratu Adil. Hanya saja, kisahnya harus disesuaikan dengan kisah Mahabarata dan Ramayana, di mana harus ada peperangan dahsyat yang akan mengeliminasi manusia - saringan nyawa - sehingga orang Jawa tinggal separo dan orang Cina tinggal sejodo. Tafsir ini begitu mengakar selama Orde Baru. Dengan tindak represif yang struktural, Manusia Jawa disiapkan untuk keadaan munculnya goro-goro sebelum terjadinya jaman Ratu Adil.
Kebingungan sedikit muncul ketika Orde Baru runtuh, dan penguasa berganti begitu cepat. Ada tiga presiden yang berkuasa hanya dalam waktu enam tahun, suatu hal yang tidak diantisipasi dalam tafsir ramalan Jayabaya. Terlebih lagi, nama-nama presiden itu cukup membingungkan ketika akan dicocokkan dengan tafsir ramalan Jayabaya. Habibie - Gus Dur - Mega, tidak ada nama yang benar-benar berakhiran no/na. Gothak-gathik-gathuk pun diupayakan lagi dengan sepenuh hati. Ada yang menganggap Habibie bahasa Arab yang jawanya sadalah Trisno, atau mau dipakai nama depannya Baharudin, kemudian Gus Dur diambil huruf depannya, Gus. Sedangkan Megawati diambil nama akhirnya Soekarnoputri, sehingga ramalan Notonogoro telah lengkap sekali.Presiden berikutnya adalah Yudhoyono yang mengawalilagi othak-athik-gathuk ini. Maka kemaren seharusnya yang terpilih adalah Subiyanto, biar pas gitu...
Ada lagi tafsir terakhir tentang Jangka Jayabaya. Nata masih diterima sebagai kebenaran (Sukarno - Suharto), kemudian ada spasi atau jeda kepemimpinan (Habibie, Gus Dur, Mega) selama masa goro-goro (krisis multi dimensi) sehingga tiga presiden kita tidak masuk hitungan. Kemudian presiden terpilih yang kebetulan (atau teramalkan) bernama Yudhoyono memang sudah seharusnya meneruskan kelengkapan Nata Nagara, tinggal kita menunggu penguasa ga dan ra. Lha nanti bagaimana kalau presiden berikutnya tidak berakhiran go/ga ? Ya nggak masalah, kita masih punya potensi yang tak terhingga untuk gothak-gathik-gathuk lagi, membenahi tafsir lagi. Ramalannya Jayabaya tak pernah salah, hanya kita yang salah memaknai tafsirnya, gitu lho. Lha kalo dunia dah keburu kiamat sebelum ramalan terpenuhi ? Ya semangkin tidak bermasalah tho. Kalau sudah kiamat, tidak seorang manusia pun yang masih membutuhkan ramalan. Sehingga tidak seorang manusia pun yang akan mempersalahkan Jangka Jayabaya itu.
Lha terus yang disebut saringan nyawa itu gimana ? Kalimat orang Jawa tinggal separo dan orang Cina tinggal sejodho sungguh terdengar mengerikan dalam tafsir yang sangat kuat dipengaruhi cerita Wayang Purwa tentang Mahabharata dan Bharatayudha. Dalam tafsir itu, nantinya akan terjadi suatu peperangan atau kejadian dahsyat yang mengeliminasi manusia Jawa dan Cina (etnis lain tidak tersebutkan, mungkin karena Jayabaya belum pernah ketemu orang Arab, Londo dan Indian). Apakah akan terjadi perang nuklir yang meluluhlantakkan negri ini ? Wah, kalau kejadiannya perang nuklir mungkin orang Jawa benar-benar habis dan tidak bersisa separo lagi.
Ada tafsir kontemporer tentang kondisi separonya orang Jawa dan sejodhonya orang Cina. Ketika dimaknai dengan konteks globalisasi (proses penghancuran peradaban dan kebudayaan lokal dan menggantikan dengan kebudayaan yang katanya lebih canggih), saringan nyawa memperoleh tafsir baru. Kuantifikasi orang Jawa dan Cina itu hanya perlambang dari hilangnya rasa kejawaan orang Jawa dan rasa kecinaan orang Cina. Akan tetapi, paradoks yang akan terjadi adalah, ketika tindak represi yang kuat terjadi untuk menggantikan suatu budaya, kemauan untuk mempertahankan budaya itu juga akan muncul. Sehingga orang Jawa akan kehilangan kejawaannya, walaupun sebagian kecil (tidak sampai separo) akan tetap berupaya bertahan. Begitu pula orang Cina. proses mempertahankan budaya ini bukan hanya oleh pemilik kebudayaan, budaya Jawa akan bertahan bahkan di manca negara sebagai bagian dari eksotisme budaya Timur. Jumlah Homo Javaensis secara kuantitatif akan sangat berkembang, jumlah Wong Jawa yang njawani yang akan berkurang.
Ketika kita menyadari eksistensi kita sebagai Togog dalam menyaksikan silih bergantinya penguasa demi penguasa, baik yang sesuai dengan tafsir ramalan Jayabaya maupun yang meleset, ada baiknya saya sedikit mencuplik tulisan guru tassawuf Kuro Oobake yang mungkin memetik dari langit di tengah terangnya rembulan. "Para Togog harus pintar menempatkan diri dalam koordinat yang tepat di persilangan ruang dan waktu, di tengah-tengah peta sejarah yang berjalan terus, di titik tengah kedua ekstrim, di pusat kelenturan."