Matahari baru saja mengintip dari celah jendela. Induk burung pergi mencari cacing untuk mulut-mulut anak mereka yang masih lembek. Gumpalan embun melekat di ujung dedaunan dan membasahi bunga rumput liar. Namun di suatu sudut, sebuah rumah kecil sudah disibukkan dengan suara berisik. Rumah kecil itu sudah sedemikian bising dengan rengekan salah satu penghuninya. “Kapan giliranku?” isaknya. “Kapaaaan?” “Tunggu! Giliranmu belum tiba.” “Sampai kapan aku harus menunggu?” Sebagai abangnya, Merah Tua mencoba menenangkan adiknya. Sudah berhari-hari Merah Jambu membuat seisi rumah kalang kabut kebakaran jenggot dengan masalah yang itu-itu saja. Ia gusar menanti gilirannya yang tak kunjung tiba. Ia merasa masa hidupnya terbuang sia-sia setelah sekian lama menunggu. Tempo hari, saat Coklat dan Hijau mendapat giliran, Merah Jambu cemberut di pojok rumah. Terlebih ketika mengetahui Coklat dan Hijau pergi ke Brasil. Dari siaran televisi, Merah Jambu tahu tak sampai setengah hari kepergian Coklat dan Hijau, hutan tropis Amazon sudah berwarna. Tidak begitu berbeda saat Biru mendapat giliran. Biru bergegas meloncat keluar rumah dengan girang. Baru sebentar Biru pergi, bibir Merah Jambu manyun. Dimatikannya siaran televisi bersamaan dengan berita tentang Samudera Pasifik sudah berwarna biru. Lagi-lagi Merah Jambu dengki hati. Hitam adalah yang paling sering pergi. Usai Merah Tua mewarnai apel yang sudah matang di perkebunan di sekitar Kiev, atau Coklat yang mewarnai batang pohon di pinggir perbatasan Bogota, atau Biru yang mewarnai aurora di langit Reykjavik, atau abu-abu yang mewarnai cula di hidung badak di Ujung Kulon, atau hijau yang mewarnai ulat-ulat pemakan daun mawar sebelum menjadi kupu-kupu, atau Kuning yang mewarnai pantulan sinar matahari di sebersit percikan air terjun Niagara, adalah giliran Hitam. Diwarnainya bayangan-bayangan hingga serupa warna dirinya. Merah Jambu makin kesal. Abu-abu yang ia kira hanya mendapat satu giliran, alih-alih mendapat giliran lagi seminggu kemudian. Awan mendung di atas Gunung Kilimanjaro butuh warna. Sekedipan mata, Abu-abu meluncur menuju titik tertinggi di Afrika. Merah Jambu membanting pintu kamarnya lalu meraung-raung di balik guling. Merah Tua yang ingin menenangkan adiknya harus gigit jari. Baru dua langkah memasuki kamar sang adik, ia mendapat lemparan bantal. Kalau tidak berkelit, bantal sudah mengenai wajahnya. Akhirnya Merah Tua menunggu kondisi Merah Jambu sampai tenang. “Abang!” Teriaknya kencang kepada sang kakak. “Kapan giliranku?” “Sabar, kamu belum saatnya untuk keluar rumah, karena kamu istimewa!” “Ahh! Dari dulu Abang selalu bilang itu, tapi sampai sekarang aku masih saja diam di rumah!” “Sabar! Semua ada porsinya!” “Ahh!” Ia berlalu membelakangi Merah Tua dengan memberikan isyarat tangan tanda marah.
KEMBALI KE ARTIKEL