Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Malam Mencekam Rumah Panggung

16 Februari 2014   17:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:46 58 0



Sebuah rumah panggung dengan ukiran kayu berdiri dengan gagah di pinggir  jalan dekat sungai. Sungai itu dinamai Nel oleh masyarakat di sana. Tak jarang sore hari sekawanan bangau singgah melepas penat usai bertualang di langit milik pencipta-Nya.  Dengan hanya dibatasi pagar besi setinggi dua kaki orang dewasa, tidak mengganggu pemandangan ke arah sungai itu. Dua meter dari pinggir sungai dibuat jenjang berdiameter lebar yang terbuat dari beton. Di sepanjang jalan berjejer pohon beringin tinggi besar yang daunnya memberi ruang mengintip sinar matahari yang mulai gelap.


Di jenjang berdiameter lebar tadi, terlihat seorang pemuda termenung memandang ke tengah sungai. Tampak kebingungan sesaat kala ia mengernyitkan dahinya. Dia seperti memikirkan sesuatu. Pemuda itu bernama Rogh. Dia mempunyai kulit yang gelap, berbadan pendek, dan rambut panjang yang ikal. Sore itu dengan memakai kemeja putih dan bercelana hitam panjang, dia tampak seperti orang yang berfikir keras.


Tak lama berselang, muncullah seorang perempuan tua yang berjalan pelan sambil memegang dompet di tangan kanannya dan sebuah kantong plastik hitam di tangan kirinya. Kedatangan perempuan tua itu mengusik perhatian Rogh. Dia bertanya-tanya dalam hati. Siapakah perempuan tua itu? Dia merasa tak pernah melihat sosok tersebut.


Tiba-tiba muncullah perasaan yang tak menentu oleh Rogh. Walaupun hanya berjarak lima meter dari tempat Rogh duduk, dia bisa melihat dengan jelas raut wajah perempuan tua itu.  Dia bingung, tak tahu apa yang akan dilakukannya. Yang jelas wajahnya menyiratkan ketakutan yang tertahan. Dia pun bergegas masuk ke rumah panggung di dekat sungai tadi. Rumah peninggalan orang tuanya itu dia masuki dengan perasaan yang mencekam.


Rogh menyingkap tirai jendela yang menghadap ke arah sungai. Angin kencang pun merintih mengusir dedaunan yang turun. “ Dia masih ada,” ujar Rogh sambil menatap perempuan tua tadi. Dengan berjalan tertatih-tatih, perempuan itu menekurkan kepalanya kebawah. Ia tidak melihat ke depan. Sekelebat burung gagak hinggap di salah satu pohon beringin tepat di samping perempuan tua itu berjalan. Tiba-tiba  perempuan tersebut menoleh  ke arah Rogh yang mengintipnya.


-------------------------------------------------------------------------------------------------------


Tiga hari yang lalu di sebuah kedai kopi di kota Tanazyla, Rogh Bergham seorang penulis amatiran mengutak atik folder di laptopnya mencari-cari tulisan yang dibuatnya minggu lalu. Raut kekecewaan tergambar di wajahnya yang kumal dan acak-acakan. Rambut ikal panjangnya bergoyang saat dia menggaruk kepalanya.


“Berbulan bulan aku menulisnya, banyak waktuku terbuang dan sekarang sia-sia. Inilah hasilnya sekarang, tulisan itu hilang. Kurang ajar!!! ” umpatnya.


Rogh pun bertolak ke rumahnya yang jaraknya beberapa blok dari kedai kopi tadi. Sesampai di rumah, ia teringat  sebuah album foto yang pernah dilihatnya beberapa tahun silam. Album foto itu terselip di rak buku disamping lemari pakaian di kamar orang tuanya. Dia mulai mengamati dengan seksama foto-foto yang ada di album tersebut. Pandangannya berhenti pada foto sebuah rumah panggung ukiran kayu. Dia seperti mendapatkan angin segar. Naluri penulisnya membisikkan sesuatu yang membuatnya tersenyum seperti orang gila. Dia harus ke rumah itu. “Aku bisa menulis di sana, tentunya aku akan mendapatkan inspirasi disana” pikirnya.


Baru saja dua hari dia disana, wajah yang seperti memenangkan sebuah undian pun sirna sudah tatkala dia tak menemukan apa apa disana. Dia pun frustasi dan duduk di jenjang beton di depan rumah panggung tersebut.


---------------------------------------------------------------------------------------------------


Kreekk……….. Rogh pun spontan menutup tirai jendela biru ditangannya. Dia terkejut setengah mati karena tiba tiba perempuan tua itu menoleh ke arahnya. Tak dilupakannya saat di luar tadi wajah perempuan tua tersebut. Rambut putih beruban yang diikat kebelakang serta mata lelah dan kulit yang keriput menambah kesan angker wajah perempuan tua itu.


Duar………… petir menggelegar keras dan turunlah hujan lebat membasahi  suasana yang mencekam itu. Rogh mencoba mengumpulkan kesadaran akibat keterkejutannya tadi. Lalu dengan perlahan ia mencoba kembali melihat keadaan di luar. Tepatnya melihat perempuan tua tadi.


Perempuan tua tadi menghilang......


Sontak bulu kuduk Rogh berdiri samar-samar tatkala listrik padam bersamaan petir yang kembali datang. Perlahan namun pasti Rogh mencoba berpikir kemana perginya perempuan tua itu. “Bagaimana bisa ia menghilang begitu saja,” pikir Rogh kebingungan.


Walau hanya dengan sisa keberaniannya, ia mencoba mengambil telepon genggam di saku kanan celananya. Cahaya lampu telepon genggamnya itu cukup menerangi beberapa senti langkah rogh. Rogh mencoba menggapai lemari dapur dengan harapan menemukan sebuah lilin dan korek api.


Keberuntungan mulai menggapai Rogh. Di lemari dapur tampak satu pak lilin putih ukuran sedang ditemani sebuah korek api keluaran sepuluh tahun lalu. Ini dibuktikan adanya tercantum tahun 1990 disamping merek korek itu.


Hanya berbekal lilin satu pak cukup menerangi rumah panggung yang dihuni penulis berambut ikal tadi. Tiba-tiba Rogh teringat kembali pada sosok perempuan tua yang sempat hilang dari pandangannya. Dia pun bergidik ngeri, jangan-jangan perempuan tua tadi bukanlah manusia normal atau lebih tepatnya bukan manusia.


Rasa penasaran dan ketakutan pun bercampur menjadi satu tatkala Rogh mendengar suara aneh di luar sana. Rogh pun bergegas mengintip di jendela tadi.


Perlahan Rogh mengintip dengan seksama dan mencoba mendengar suara tadi. Rogh mendengar suara perempuan bernyanyi dengan bahasa yang tidak dimengertinya. Bukan bahasanya yang menarik perhatian Rogh. Tetapi iramanya menyayat hati dan seakan-akan menggapai pintu rumah panggung tersebut.


Suasana semakin mencekam tatkala suara tadi semakin dekat di telinga Rogh. Dia tak pernah berfikir akan mengalami hal seperti ini, bermimpi pun tidak.


Tiba-tiba.......


Muncul wajah perempuan tua di depan jendela Rogh mengintip tadi. Awalnya Rogh hanya diam. Beberapa detik kemudian Rogh roboh dibawah jendela bertirai biru tadi


-------------------------------------------------------------------------------------------------------


Kicauan burung pagi itu mengayun-ayun seperti alunan melodi yang berirama. Rogh yang roboh mulai bangun dan berjalan sempoyongan ke arah kamar mandi. Ia mulai mengumpulkan kesadarannya setelah pingsan tadi malam.


Sejurus kemudian, tanpa pikir panjang Rogh langsung mengemasi barang-barangnya. “Aku harus pergi dari rumah ini,” rutuknya. Setelah berkemas selama setengah jam ia pun melangkah gontai keluar rumah. Setiba di pagar rumah, ia tercekat. Di ujung kanan pagar ia melihat sebuah dompet lusuh dan kantong plastik hitam yang telah robek sisi-sisinya.


Sontak hal tersebut menambah niat Rogh meninggalkan rumah itu. Dengan bergegas ia menuju stasiun mengerjar kereta pagi tujuan ke kota Tanazyla.


Di dalam kereta ia duduk di samping seorang pria tua berjenggot putih dengan perawakan sedang. Tampak kebijaksanaannya tertulis di raut wajahnya. Rogh menyadari kalau bapak itu mulai mengamatinya. Rogh pun memberikan diri bersuara “ Maaf, kenapa anda dari tadi mengamati saya sebegitu seksamanya, “ kata Rogh kebingungan. Pria tua berjenggot tadi menjawab dengan datar. “Kau mirip dengannya,” jawabnya.


“Mirip? Maksudmu?” Rogh kembali bertanya.


“Apa kau keturunan keluarga Bergham?” ujar pria tua tadi.


“Darimana kau tahu nama keluargaku?” kata Rogh yang tambah kebingungan.


“Namaku Demian, aku pernah bekerja pada keluargamu puluhan tahun. Mungkin tepatnya kakekmu, karena ayahmu tidak begitu mirip dengan kakekmu,” aku pria tua itu.


Setelah itu mereka mulai bercengkrama dan Demian mulai bernostalgia di kala ia bekerja pada keluarga Rogh. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan ini, Rogh pun menanyakan sosok perempuan tua yang bisa dikatakan mengganggunya semalam.


Demian tertegun dan menghela napas. Ia lalu mulai bercerita panjang lebar mengenai sosok perempuan tua semalam. Ternyata dugaan Rogh benar. Perempuan itu bukan manusia, tetapi rohnya Emilia, seorang pemulung tua di saat kakeknya menempati rumah panggung itu dulu. Emilia hidup sebatang kara setelah ditinggal anak-anaknya yang tak lagi mengurusnya. “Ia ditinggalkan begitu saja oleh anak-anaknya,“ kata Demian.


“Pada suatu senja, Emilia seperti biasa memungut sampah-sampah yang bisa dijadikan uang untuk membeli makanan atau menemukan sisa makanan hanya untuk sekedar mengganjal perutnya. Tetapi tiba-tiba petir menggelegar dan hujan turun dengan derasnya. Emilia meminta pada kakekmu David untuk berteduh. Tak hentinya Emilia menghiba dari luar rumah. Namun permintaannya diacuhkan saja dan ia tak bergeming dari tempat duduknya sambil membaca buku,” kata Demian.


Demian melanjutkan ceritanya setelah menghisap cerutunya dalam-dalam dan mengeluarkan asapnya. “Kau tentunya tahu Rogh, rumah panggung itu jauh dari rumah warga lainnya. Apalah daya seorang perempuan tua berlari berteduh ke rumah yang jaraknya cukup jauh dengan perut tak terisi. Akhirnya ia mati kedinginan disamping pagar rumah kakekmu itu,” ucap Demian lirih.


Rogh kembali bertanya “Apa yang kau lakukan saat itu dan bagaimana sikap keluargaku yang lainnya?” tanya Rogh penasaran. “Nenekmu dan yang lainnya mengunjungi keluarga Santana di ujung sungai Nel dan berencana menginap semalam. Sedangkan aku tak mampu berbuat apa-apa karena tidak diberi perintah oleh kakekmu. Sempat terfikir olehku untuk membawa perempuan tua itu, tetapi mengingat dulu aku pernah dimarahi dan hampir saja dipecat oleh kakekmu, niat itupun sirna,” aku Demian.


“Lalu kau hanya diam saja dan lebih memilih untuk tidak dipecat daripada menolong perempuan tua itu?” tanya Rogh dengan nada meninggi. Demian pun menjawab dengan tenang. ”Aku tahu pilihanku salah, tetapi sungguh sulit mencari pekerjaan di masa itu”.


Rogh hanya tertegun dan mencoba mengingat kembali kejadian semalam yang mencekamnya. Setelah itu ia kembali bercerita tentang keluarganya dengan Demian hingga mereka sampai ke stasiun.


Setelah turun, mereka berpisah karena tujuan mereka berdua berbeda jalur. Sepeninggal Demian, terfikirkan oleh Rogh alasan kenapa keluarganya pindah ke kota Tanazyla ini. “Mungkin karena sering dihantui roh Emilia,” pikir Rogh.


Sesampainya dirumah, ia langsung merebahkan diri di kasur empuknya. Perjalanan yang hampir memakan waktu sehari tadi cukup menyita energinya. Jam dinding telah menunjukkan jam  11 malam. Sambil tidur-tiduran, Rogh meraba-raba saku celananya. Seketika ia bangun dan memeriksa barang-barangnya. “Astaga, telepon genggamku ketinggalan. Sialan,” umpatnya.


Dia bergegas keluar kamar dan mencoba menelpon dari telepon rumah ke nomor telepon genggamnya. Berharap dugaannya salah dan dapat menemukannya di barang-barang yang telah dibongkarnya tadi.


Tut...tut.. tut... bunyi pertanda masuk ke telpon genggamnya. Sontak Rogh terkejut ketika panggilan tersebut dijawab oleh telpon genggamnya. Awalnya tak terdengar apa-apa dibalik telpon rumah tadi.


Tiba-tiba..... beberapa detik kemudian terdengar samar-samar suara nyanyian perempuan dibalik teleponnya. Suara itu semakin lama semakin mendekat dan akhirnya.....Rogh pingsan untuk kedua kalinya.


Tamat






Sebuah rumah panggung dengan ukiran kayu berdiri dengan gagah di pinggir  jalan dekat sungai. Sungai itu dinamai Nel oleh masyarakat di sana. Tak jarang sore hari sekawanan bangau singgah melepas penat usai bertualang di langit milik pencipta-Nya.  Dengan hanya dibatasi pagar besi setinggi dua kaki orang dewasa, tidak mengganggu pemandangan ke arah sungai itu. Dua meter dari pinggir sungai dibuat jenjang berdiameter lebar yang terbuat dari beton. Di sepanjang jalan berjejer pohon beringin tinggi besar yang daunnya memberi ruang mengintip sinar matahari yang mulai gelap.


Di jenjang berdiameter lebar tadi, terlihat seorang pemuda termenung memandang ke tengah sungai. Tampak kebingungan sesaat kala ia mengernyitkan dahinya. Dia seperti memikirkan sesuatu. Pemuda itu bernama Rogh. Dia mempunyai kulit yang gelap, berbadan pendek, dan rambut panjang yang ikal. Sore itu dengan memakai kemeja putih dan bercelana hitam panjang, dia tampak seperti orang yang berfikir keras.


Tak lama berselang, muncullah seorang perempuan tua yang berjalan pelan sambil memegang dompet di tangan kanannya dan sebuah kantong plastik hitam di tangan kirinya. Kedatangan perempuan tua itu mengusik perhatian Rogh. Dia bertanya-tanya dalam hati. Siapakah perempuan tua itu? Dia merasa tak pernah melihat sosok tersebut.


Tiba-tiba muncullah perasaan yang tak menentu oleh Rogh. Walaupun hanya berjarak lima meter dari tempat Rogh duduk, dia bisa melihat dengan jelas raut wajah perempuan tua itu.  Dia bingung, tak tahu apa yang akan dilakukannya. Yang jelas wajahnya menyiratkan ketakutan yang tertahan. Dia pun bergegas masuk ke rumah panggung di dekat sungai tadi. Rumah peninggalan orang tuanya itu dia masuki dengan perasaan yang mencekam.


Rogh menyingkap tirai jendela yang menghadap ke arah sungai. Angin kencang pun merintih mengusir dedaunan yang turun. “ Dia masih ada,” ujar Rogh sambil menatap perempuan tua tadi. Dengan berjalan tertatih-tatih, perempuan itu menekurkan kepalanya kebawah. Ia tidak melihat ke depan. Sekelebat burung gagak hinggap di salah satu pohon beringin tepat di samping perempuan tua itu berjalan. Tiba-tiba  perempuan tersebut menoleh  ke arah Rogh yang mengintipnya.


-------------------------------------------------------------------------------------------------------


Tiga hari yang lalu di sebuah kedai kopi di kota Tanazyla, Rogh Bergham seorang penulis amatiran mengutak atik folder di laptopnya mencari-cari tulisan yang dibuatnya minggu lalu. Raut kekecewaan tergambar di wajahnya yang kumal dan acak-acakan. Rambut ikal panjangnya bergoyang saat dia menggaruk kepalanya.


“Berbulan bulan aku menulisnya, banyak waktuku terbuang dan sekarang sia-sia. Inilah hasilnya sekarang, tulisan itu hilang. Kurang ajar!!! ” umpatnya.


Rogh pun bertolak ke rumahnya yang jaraknya beberapa blok dari kedai kopi tadi. Sesampai di rumah, ia teringat  sebuah album foto yang pernah dilihatnya beberapa tahun silam. Album foto itu terselip di rak buku disamping lemari pakaian di kamar orang tuanya. Dia mulai mengamati dengan seksama foto-foto yang ada di album tersebut. Pandangannya berhenti pada foto sebuah rumah panggung ukiran kayu. Dia seperti mendapatkan angin segar. Naluri penulisnya membisikkan sesuatu yang membuatnya tersenyum seperti orang gila. Dia harus ke rumah itu. “Aku bisa menulis di sana, tentunya aku akan mendapatkan inspirasi disana” pikirnya.


Baru saja dua hari dia disana, wajah yang seperti memenangkan sebuah undian pun sirna sudah tatkala dia tak menemukan apa apa disana. Dia pun frustasi dan duduk di jenjang beton di depan rumah panggung tersebut.


---------------------------------------------------------------------------------------------------


Kreekk……….. Rogh pun spontan menutup tirai jendela biru ditangannya. Dia terkejut setengah mati karena tiba tiba perempuan tua itu menoleh ke arahnya. Tak dilupakannya saat di luar tadi wajah perempuan tua tersebut. Rambut putih beruban yang diikat kebelakang serta mata lelah dan kulit yang keriput menambah kesan angker wajah perempuan tua itu.


Duar………… petir menggelegar keras dan turunlah hujan lebat membasahi  suasana yang mencekam itu. Rogh mencoba mengumpulkan kesadaran akibat keterkejutannya tadi. Lalu dengan perlahan ia mencoba kembali melihat keadaan di luar. Tepatnya melihat perempuan tua tadi.


Perempuan tua tadi menghilang......


Sontak bulu kuduk Rogh berdiri samar-samar tatkala listrik padam bersamaan petir yang kembali datang. Perlahan namun pasti Rogh mencoba berpikir kemana perginya perempuan tua itu. “Bagaimana bisa ia menghilang begitu saja,” pikir Rogh kebingungan.


Walau hanya dengan sisa keberaniannya, ia mencoba mengambil telepon genggam di saku kanan celananya. Cahaya lampu telepon genggamnya itu cukup menerangi beberapa senti langkah rogh. Rogh mencoba menggapai lemari dapur dengan harapan menemukan sebuah lilin dan korek api.


Keberuntungan mulai menggapai Rogh. Di lemari dapur tampak satu pak lilin putih ukuran sedang ditemani sebuah korek api keluaran sepuluh tahun lalu. Ini dibuktikan adanya tercantum tahun 1990 disamping merek korek itu.


Hanya berbekal lilin satu pak cukup menerangi rumah panggung yang dihuni penulis berambut ikal tadi. Tiba-tiba Rogh teringat kembali pada sosok perempuan tua yang sempat hilang dari pandangannya. Dia pun bergidik ngeri, jangan-jangan perempuan tua tadi bukanlah manusia normal atau lebih tepatnya bukan manusia.


Rasa penasaran dan ketakutan pun bercampur menjadi satu tatkala Rogh mendengar suara aneh di luar sana. Rogh pun bergegas mengintip di jendela tadi.


Perlahan Rogh mengintip dengan seksama dan mencoba mendengar suara tadi. Rogh mendengar suara perempuan bernyanyi dengan bahasa yang tidak dimengertinya. Bukan bahasanya yang menarik perhatian Rogh. Tetapi iramanya menyayat hati dan seakan-akan menggapai pintu rumah panggung tersebut.


Suasana semakin mencekam tatkala suara tadi semakin dekat di telinga Rogh. Dia tak pernah berfikir akan mengalami hal seperti ini, bermimpi pun tidak.


Tiba-tiba.......


Muncul wajah perempuan tua di depan jendela Rogh mengintip tadi. Awalnya Rogh hanya diam. Beberapa detik kemudian Rogh roboh dibawah jendela bertirai biru tadi


-------------------------------------------------------------------------------------------------------


Kicauan burung pagi itu mengayun-ayun seperti alunan melodi yang berirama. Rogh yang roboh mulai bangun dan berjalan sempoyongan ke arah kamar mandi. Ia mulai mengumpulkan kesadarannya setelah pingsan tadi malam.


Sejurus kemudian, tanpa pikir panjang Rogh langsung mengemasi barang-barangnya. “Aku harus pergi dari rumah ini,” rutuknya. Setelah berkemas selama setengah jam ia pun melangkah gontai keluar rumah. Setiba di pagar rumah, ia tercekat. Di ujung kanan pagar ia melihat sebuah dompet lusuh dan kantong plastik hitam yang telah robek sisi-sisinya.


Sontak hal tersebut menambah niat Rogh meninggalkan rumah itu. Dengan bergegas ia menuju stasiun mengerjar kereta pagi tujuan ke kota Tanazyla.


Di dalam kereta ia duduk di samping seorang pria tua berjenggot putih dengan perawakan sedang. Tampak kebijaksanaannya tertulis di raut wajahnya. Rogh menyadari kalau bapak itu mulai mengamatinya. Rogh pun memberikan diri bersuara “ Maaf, kenapa anda dari tadi mengamati saya sebegitu seksamanya, “ kata Rogh kebingungan. Pria tua berjenggot tadi menjawab dengan datar. “Kau mirip dengannya,” jawabnya.


“Mirip? Maksudmu?” Rogh kembali bertanya.


“Apa kau keturunan keluarga Bergham?” ujar pria tua tadi.


“Darimana kau tahu nama keluargaku?” kata Rogh yang tambah kebingungan.


“Namaku Demian, aku pernah bekerja pada keluargamu puluhan tahun. Mungkin tepatnya kakekmu, karena ayahmu tidak begitu mirip dengan kakekmu,” aku pria tua itu.


Setelah itu mereka mulai bercengkrama dan Demian mulai bernostalgia di kala ia bekerja pada keluarga Rogh. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan ini, Rogh pun menanyakan sosok perempuan tua yang bisa dikatakan mengganggunya semalam.


Demian tertegun dan menghela napas. Ia lalu mulai bercerita panjang lebar mengenai sosok perempuan tua semalam. Ternyata dugaan Rogh benar. Perempuan itu bukan manusia, tetapi rohnya Emilia, seorang pemulung tua di saat kakeknya menempati rumah panggung itu dulu. Emilia hidup sebatang kara setelah ditinggal anak-anaknya yang tak lagi mengurusnya. “Ia ditinggalkan begitu saja oleh anak-anaknya,“ kata Demian.


“Pada suatu senja, Emilia seperti biasa memungut sampah-sampah yang bisa dijadikan uang untuk membeli makanan atau menemukan sisa makanan hanya untuk sekedar mengganjal perutnya. Tetapi tiba-tiba petir menggelegar dan hujan turun dengan derasnya. Emilia meminta pada kakekmu David untuk berteduh. Tak hentinya Emilia menghiba dari luar rumah. Namun permintaannya diacuhkan saja dan ia tak bergeming dari tempat duduknya sambil membaca buku,” kata Demian.


Demian melanjutkan ceritanya setelah menghisap cerutunya dalam-dalam dan mengeluarkan asapnya. “Kau tentunya tahu Rogh, rumah panggung itu jauh dari rumah warga lainnya. Apalah daya seorang perempuan tua berlari berteduh ke rumah yang jaraknya cukup jauh dengan perut tak terisi. Akhirnya ia mati kedinginan disamping pagar rumah kakekmu itu,” ucap Demian lirih.


Rogh kembali bertanya “Apa yang kau lakukan saat itu dan bagaimana sikap keluargaku yang lainnya?” tanya Rogh penasaran. “Nenekmu dan yang lainnya mengunjungi keluarga Santana di ujung sungai Nel dan berencana menginap semalam. Sedangkan aku tak mampu berbuat apa-apa karena tidak diberi perintah oleh kakekmu. Sempat terfikir olehku untuk membawa perempuan tua itu, tetapi mengingat dulu aku pernah dimarahi dan hampir saja dipecat oleh kakekmu, niat itupun sirna,” aku Demian.


“Lalu kau hanya diam saja dan lebih memilih untuk tidak dipecat daripada menolong perempuan tua itu?” tanya Rogh dengan nada meninggi. Demian pun menjawab dengan tenang. ”Aku tahu pilihanku salah, tetapi sungguh sulit mencari pekerjaan di masa itu”.


Rogh hanya tertegun dan mencoba mengingat kembali kejadian semalam yang mencekamnya. Setelah itu ia kembali bercerita tentang keluarganya dengan Demian hingga mereka sampai ke stasiun.


Setelah turun, mereka berpisah karena tujuan mereka berdua berbeda jalur. Sepeninggal Demian, terfikirkan oleh Rogh alasan kenapa keluarganya pindah ke kota Tanazyla ini. “Mungkin karena sering dihantui roh Emilia,” pikir Rogh.


Sesampainya dirumah, ia langsung merebahkan diri di kasur empuknya. Perjalanan yang hampir memakan waktu sehari tadi cukup menyita energinya. Jam dinding telah menunjukkan jam  11 malam. Sambil tidur-tiduran, Rogh meraba-raba saku celananya. Seketika ia bangun dan memeriksa barang-barangnya. “Astaga, telepon genggamku ketinggalan. Sialan,” umpatnya.


Dia bergegas keluar kamar dan mencoba menelpon dari telepon rumah ke nomor telepon genggamnya. Berharap dugaannya salah dan dapat menemukannya di barang-barang yang telah dibongkarnya tadi.


Tut...tut.. tut... bunyi pertanda masuk ke telpon genggamnya. Sontak Rogh terkejut ketika panggilan tersebut dijawab oleh telpon genggamnya. Awalnya tak terdengar apa-apa dibalik telpon rumah tadi.


Tiba-tiba..... beberapa detik kemudian terdengar samar-samar suara nyanyian perempuan dibalik teleponnya. Suara itu semakin lama semakin mendekat dan akhirnya.....Rogh pingsan untuk kedua kalinya.


Tamat

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun