"Berdiri..." Kataku.
Tubuh mereka yang kecil berdiri. Mereka bermain dan jatuh dari sepeda dengan kaki berdarah, meraung2 seperti seorang anak kehilangan ibunya.
Tapi aku ayahnya tidak mengulurkan tanganku untuk menolong mereka, sedikitpun tidak. Betapa mereka sangat benci padaku.
Suaraku yang keras membuat mereka takut untuk mengeluarkan airmata. Mereka berdiri dengan kaki terpincang dan kepala tunduk ketika berdiri di hadapanku.
Mereka melihat tanganku gemetar hebat. Mereka merasa ini sudah saatnya, aku akan memukul mereka, karena mereka  lalai. Mereka menunggu waktu dimana tanganku yang kekar itu mampir ke tubuh mereka.
"Tidak perlu minta bantuan siapapun jika kalian jatuh, apalagi menangis supaya orang simpati pada kalian. Kalian lelaki".
Mata mereka melirik ke wajahku yang tampak geram. Mereka takut, mereka menundukkan lagi wajah mereka supaya tidak menatapku.
"Satu waktu kalian akan sendiri. Tidak ada yang namanya papa, karena papa sudah pergi. Tegakkan kepala kalian. Â meski kepala kalian sudah dekat dengan tanah. Berjalanlah dengan bangga, meski seluruh tubuh kalian luka.."
Aku tidak mengajari mereka rasa nyaman, karena menurutku nyaman itu membinasakan. Aku mengajari mereka berjuang, karena perjuangan adalah simbol kemerdekaan.
Aku mengajari mereka dengan caraku, bahwa seorang lelaki tidak terlihat dari tubuhnya yang dikekarkan, dari badannya yang diberi banyak gambar, dari guratan wajah yang diseramkan.
Seorang lelaki bagiku adalah ketika mentalmu tertempa, bangkitlah.. Karena ia sejatinya dari baja. Jatuh adalah hal biasa, bukan sesuatu yang luar biasa. Tidak perlu menangisinya. Tidak perlu meratapinya.
Berdirilah cepat, karena kecepatanmu mengatasi masalah, menunjukkan bahwa engkau adalah orang yang layak diperhitungkan.
Anakku...
Betapa aku tak sabar melihat kalian tumbuh dewasa. Dan aku ingin kalian tahu, bahwa tanganku yang dulu gemetar saat kalian  jatuh, wajahku yang tampak geram saat kalian mengaduh, bukanlah karena ingin menghajar kalian.
Tapi keinginan terpendamku untuk memeluk, membelai, membersihkan tubuh kalian yang kotor tertutup debu.
Hanya aku tidak ingin melakukan itu, demi melatih kalian...
Apa kabarmu nak..??
Aku tahu kalian sekarang tersenyum melihatku, anak lelakiku, yang kini kakinya sudah kuat menapak bumi meski badai terus menerpa. Mungkin sekarang aku lega sudah bisa melepas kalian menghadapi dunia...
Selamat berjuang anakku. Baikkah dirimu disana? Ingin kutelpon diri kalian, sekedar untuk menyapa aku rindu pada kalian..
Tunggu papa nak.. Satu saat kita akan duduk bersama lagi, sambil tertawa mengingat masa lalu kalian yang terdidik dengan kemandirian dan ketegaran.